Podcast Bu Heni

Small Surprise Does Matter

3 komentar
Motor kumatikan, setelah berhenti dengan perlahan-lahan. Kunci kontak kucabut dan kumasukkan ke dalam kantung celana jeans super duper bututku. Tangan kiriku masih menyangga kepala si kecil Aji, yang sudah terantuk-antuk sejak di sepertiga perjalanan tadi. Dengan gaya kaki yang pasti tidak sedap dipandang mata, aku turun dari motor melewati jok, dengan meregangkan kaki selebar-lebarnya. Dan tangan kiriku masih di kepala anakku. Menyangga.

Lalu kuberingsut dengan cara yang sukar jika dituliskan dengan kata-kata. Intinya, aku menunduk, merengkuh tubuh anakku yang sudah memejamkan matanya. Tubuhnya yang hangat kuangkat hati-hati dari celah sepeda motor matic yang dijejaknya dari tadi. Jaketnya masih terpasang, juga kacamata hitamnya yang sudah naik ke dahi. Tidak berada di lekuk hidungnya lagi. Hup! Kupanggul anakku dan aku berjalan menuju sebuah beton kecil di pinggir kelas lima. Aku duduk di sana dengan posisi yang sangat tidak nyaman. Anakku kuatur, kuputar supaya berubah menjadi posisi di pangku.

Kepalanya semakin berat, karena anak yang mengantuk tentu tidak bisa menyangga dirinya sendiri. Terik matahari tidak mau membantuku sedikit pun. Tetap saja menyinar garang dan membiarkan tengkuk sweater kaos hitamku semakin lembab dibasahi keringat. Aku tak sempat melirik jam dinding atau hape ketika mau berangkat tadi. Ah kira-kira, anakku sulung akan pulang lima belas menit lagi.

Ya begitulah rutinitasku hampir setiap hari. Di tengah hari, aku dan mungkin beberapa puluh ibu-ibu, sedikit bapak-bapak dan lebih banyak kakek-kakek, yang turun ke jalan untuk menjemput dari sekolah, anak atau cucunya. Ya juga bisa dibilang beberapa orang yang mencari nafkah sebagai Pengantar Jemput, ikutan meramaikan suasana siang di hari efektif.

Tidak banyak yang menyertakan anak kecil lainnya untuk menjemput. Karena hari biasanya sangat terik dan panas. Atau malah sering hujan lebat dan petir menyambar-nyambar. Tetapi, walau tak hanya aku seorang, yang rutin membawa serta si kecil, toh komunitas kami ada juga. Komunitas driver cantik yang buntutnya dua atau bahkan tiga kemana-mana… "rombongan" :))

Jika beruntung, anakku kecil ini akan sehat sentosa mengawal perjalanan dari rumah sampai sekolah. Tetapi jika ada prosedur yang terlewati atau malah dobel, misalnya makan dua kali, atau mau jemput baru saja mandi pagi, biasanya menghasilkan kantuk yang luar biasa dan anakku akan terangguk-angguk kepalanya bahkan hanya beberapa ratus meter dari rumah. Nah itu terjadi juga hari ini. Si adik tidur, kakak belum kelar sholat dhuhur berjamaah, dan aku menunggunya di sebelah taman kecil yang penuh dengan tahi kucing.

Seorang wali murid menyapaku,”tidur dari tadi ta?”
Aku mengangguk. “Biasa, tadi makan dua kali, trus mandi. Ngantuk deh. Sini lho mbak, duduk di sebelahku. Ngapain jongkok disitu”.
Aku menganjurkan dia duduk di beton kecil tepat di sebelahku. “Panas banget ya?” keluhnya.
Aku mengangguk. “iya, lumayan jemuran kering. Jangan-jangan mendadak nanti hujan deres, kayak kemarin.”

“Adiknya kok gak ikut mbak?” tanyaku membuka percakapan biar pegal di tangan kiriku tidak terasa. Kepala anakku nih keras sekali rasanya, dan berat.

“Tadi jam sepuluh sudah aku keloni. Trus kutitipkan sama kakeknya.”

“Rumahnya berjajar?”
“Nggak kita serumah sama nenek-kakeknya anak-anak,”jawabnya pendek.
“oooh, lumayan lah, ada yang dititipin. Kadang juga kalau si adek ini asyik main, ga mau ikut jemput mas-nya. Tapi tadi tetangga pada sudah tutup pintu semua, pada tidur siang mungkin. Anaknya kecil-kecil juga soalnya.”
Dan percakapan kami bergulir dari Harga gamis katun grosir, gamis kaos, sampai apakah kemarin ikut sowan ke salah satu wali murid yang baru pulang berhaji.

“ibuuu,,,!” suaranya melengking banget. Aku nyengir kuda, “dulu nyidam apa se mbak, suara anaknya nyaring banget,” aku ketawa dan teman menungguku ini pun tertawa.

“bu, aku beli bros dua. Aldo lho beli juga, itu dipakai di bajunya,” si suara nyaring ini bercerita pada ibunya dan menunjuk ke Aldo-anakku, yang melintas di depan kami. Aku mengayunkan tangan memanggil. “Hey mas.”

Aldo menoleh dan berbicara tanpa suara, “aku beli mainan dulu ma,”
Dan aku tidak bisa protes atau memaksanya langsung naik ke motor, seperti biasanya. Aku masih duduk dengan adiknya yang tertidur di pangkuanku. Kulirik di bajunya, iya nih, anakku cowok kok beli bros ya?

“itu lho bu, bu, lihat, Aldo pakai brosnya, “ si nyaring ini mengulangi kalimatnya. Mungkin dia heran dan maksud hati mengolok-olok, kok temannya cowok beli bros, dipakai pula.

Cengiranku semakin lebar. Rada malu juga sih. Apa maksudnya anakku ya? Ah mungkin brosnya gambar kuda atau laba-laba, kan style cowok juga, kataku dalam hati, menentramkan diri.

“Udah ya Do…kita pulang dulu. Gimana nanti kamu pulangnya, bawa selendang ta?” si ibu temanku tadi berpamitan sambil menstarter motornya.

“Ya selendangnya lupa kemarin aku keluarkan dari jok. Gpp dah, ditunggu dulu, nanti aku bangunin si kecil. “ dan mereka pun berpamitan.

Aldo-anak sulungku yang kujemput ini datang. di tangan kirinya ada sebuah kartu bergambar …mm…lupa deh, pokoknya kartun monster. Lalu tangan kanannya meletakkan sesuatu di pundak kiriku. “Nih,” katanya. “Buat mama”.

Aku menoleh ke kiri, dan mengambil benda kecil di pundakku itu.
Sebuah bros.
Kecil.
Berbentuk hati berwarna kuning. Dengan lingkaran putih tersenyum di pinggirnya. Dari plastik.

“Ini buat mama?”tanyaku.
“Iya.”
“wah makasih ya. Beli dimana?” tanyaku, sambil memasang bros itu di jilbab kaosku yang berwarna putih,

“beli tadi sama teman-teman di kelas.” Jawabnya.

“Cantik deh. Lucu. Makasih mas Aldooo…” aku mengulangi ucapan terima kasihku. Dan wajah anakku sih lempeng-lempeng saja, lurus. Flat. Begitulah gaya anak lelaki kali ya?

Bros kecil ini.
Ah , pemberian bros kecil ini membuat hati senang sekali. Kejutan kecil. Aku jadi ingat beberapa benda yang diberikan Aldo sepulang sekolah ketika dia kelas 1 dan 2 SD :
1. Bunga dari kertas : sayang fotonya hilang
2. Hiasan ibu dan anak dari kerang, masih ada di atas rak buku dinding
3. Cincin logam bertuliskan huruf H
4. Dan yang terbaru adalah Bros Hati kuning tadi,

Malamnya aku menunjukkan bros ini kepada suamiku. “Pak, ini aku dikasih Aldo. Dibelikan….”dan kuceritakan kronologi cerita tadi siang. Suamiku tersenyum tipis. Mungkin dia senang anaknya menunjukkan rasa sayang pada ibunya. Mungkin juga dia senang melihatku senang. Mungkin juga dia keki karena merasa dia memberiku lebih banyak, tapi respon wajah hepi dariku gak sedramatis kalau aku diberi kado kecil dari anaknya. Hehehe…bener kan para suami?

Entahlah. Bagi saya pribadi, atau bahkan mewakili hati beberapa kaum perempuan di dunia ini. Bahwa kami ini begitu senang dengan KEJUTAN MANIS.

Jika suami membelikan baju mahal, misalnya, tetapi mengajak kita untuk memilih, it feels so different. Sangat beda.
Dibanding dia pulang ke rumah, lalu memberiku sebuah bros kecil, seperti yang dilakukan anakku tadi. Harganya cuman seribu lima ratus rupiah. Dan cincin itu malah hanya seribuan. Tapi aku menyimpan semuanya hingga sekarang.

Ah aku ingat, suamiku juga memberiku kejutan kecil yang manis.

sebuah jepit kupu-kupu yang ada per-nya.

Ketika dia pertama kali datang ke tempat kosku bersama teman lelaki kosnya [masih pedekate, jadi ngajak temennya ceritanya nih]. Dia datang, lalu mengambil sesuatu dari kantung jaketnya. Dan memberikan jepit kupu-kupu itu kepadaku. So Sweet.


SMALL SURPRISE DOES MATTER.

HENI PRASETYORINI
[Meja Oshin, 1 Februari 2011, 3:25 WIB]

3 komentar

  1. hihi iyo mbak Vita, anakku romantis kie :))

    BalasHapus
  2. Aduh so sweetnya si Aldo :*
    Jadi pengen punya anak juga :) tapi gak mau nikah dulu :p

    BalasHapus

Terima kasih telah meninggalkan jejak dan memberikan komentar.
Pasti lebih menarik jika kita terus ngobrol. Bisa ke facebook: Heni Prasetyorini dan Twitter: @HeniPR. Sampai jumpa disana 😊