Podcast Bu Heni

Belajar Dari Ibu Kembar

Tidak ada komentar

Sri Irianingsih (Rian) dan Sri Rossiati (Rossi). Wanita yang akrab disapa Ibu Kembar ini menggawangi sekolah darurat 'Kartini', khusus bagi anak-anak putus sekolah yang hidup di kolong tol.


Belajar dari Ibu Kembar

Kemarin kulihat kembali profil ibu kembar dan anak didiknya di TV. Sebelumnya kubaca profil beliau di sebuah majalah jadul. Majalah Kartini edisi tahun 90-an. Dan sekarang, kisah kesuksesan dan kedermawanan mereka sering tampil di televisi atau media informasi lainnya.

Ibu kembar adalah sepasang ibu bersaudara, kembar, dan sama-sama cantik, plus sama-sama aktif dalam kegiatan sosial pendidikan. Mereka mendirikan sekolah dan kursus gratis untuk anak-anak dan ibu-ibu yang tidak mampu. Supaya anak-anak bisa mendapat pendidikan dan wawasan. Dan supaya para ibu mendapat ketrampilan untuk menambah penghasilan keluarga.

Yang kemarin membuatku heran. Bagaimana mungkin semua hal bisa diajarkan oleh beliau sendiri? Seperti yang tampak di tivi.

Dan ketika kemarin aku ke rumah ibu, aku kembali mengambil majalah, secara tak sengaja saja. Asal ambil saja. Dan ketika sudah kubaca, profil ibu kembar ada di situ. Dan membaca kisah hidupnya membuatku mengerti. Jadi begini ceritanya,

ibu kembar ini adalah anak yatim sejak kecil. Artinya ibu mereka adalah single mother. Single parents, yang harus bekerja sebagai ayah, dan mendidik sebagai ibu. Nah agar para anak kembar ini bisa mandiri, mereka diharuskan belajar banyak ketrampilan. Ibunya sendiri yang mengajar. Mereka belajar menjahit, merias, dll. Bahkan ketika mereka SMA, mereka sudah menjadi guru bagi ibu-ibu PKK. Dan ketika mendapatkan honor mengajar, honor itu disimpan untuk biaya kursus ketrampilan yang lainnya.

Salah satu ibu kembar, ingin menjadi guru. Sehingga kuliah di IKIP. Tetapi belum selesai kuliahnya, beliau sakit dan harus opname. Nah, ketika di rumah sakit inilah, beliau bertemu dengan dokter yang akhirnya menjadi suaminya. Karena suaminya adalah dokter bedah, yang pasti jarang berada di rumah, maka beliau melepaskan usaha salon riasnya dan kuliahnya untuk menjadi ibu rumah tangga yang tinggal di rumah. Ibu rumah tangga full time. Demi mendidik anak-anak.

Karena setelah anak sekolah, suami kerja, beliau merasa nganggur dan hampa. Akhirnya atas ijin suaminya, beliau membuka kursus salon gratis. Di lokasi dekat rumah sakit tempat suaminya berpraktek dokter. Kursus itu ramai, dan bahkan beberapa alumninya bisa mandiri dan membuka salon sendiri. Tetapi beberapa kali pula, beliau harus menutup kursus itu karena harus mengikuti suaminya pindah tugas.

Sampai suatu ketika, anak-anak beliau sudah pada besar dan kuliah. Akhirnya bersama saudara kembarnya beliau menggagas kegiatan sosial untuk mengentaskan kemiskinan dari pendidikan dan ketrampilan. Bermula dari pemukiman rumah kardus dibawah kolong jembatan. Mereka mengajarkan rias pengantin, dll. Bahkan selain mengajarkan anak-anak baca tulis,seminggu sekali beliau membawakan makanan bergizi, berupa susu , roti atau kacang hijau.

Sungguh cerita ini membuatku terperangah juga. Kupikir mereka berdua berasal dari keluarga kaya, yang iba kepada penderitaan si miskin. Ternyata mereka pun berasal dari kondisi yang sulit. Yang harus mandiri karena tiadanya figur bapak. Dan kebiasaan untuk mandiri : bekerja, bekerja dan bekerja itu malah tidak membuat mereka merasa, di masa tua, adalah masa untuk menikmati kesusahan bekerja di masa muda. Tetapi malah mereka ingin tetap berlelah-lelah ikut memotivasi dan mengentaskan kemiskinan melalu ketrampilan dan kemampuan yang mereka punya.

Membaca ini membuatku juga malu. Baru umur kepala tiga saja, aku sudah merasa di masa sekolah lalu aku sudah bekerja belajar dan berusaha begitu kerasnya. Dan ingin sekarang, mulai berleha-leha, beristirahat sebentar. Ingin bersenang-senang, melakukan semua hal yang dulu tidak bisa kulakukan karena tidak ada biaya, atau tidak ada waktu.

Masih umur kepala tiga. Sedangkan ibu kembar bersosial ketika berumur 50 tahun!
Malunya, malu aku.

Mulai sekaranglah, semua konsep lelah dan manja itu harus kuhapus benar-benar di kepalaku. Masih ada tugas demi tugas yang harus kuselesaikan. Ya untuk anak-anakku, ya untuk keinginanku berbagi ketrampilan yang kudapatkan karena aku memilih menjadi ibu rumah tangga full time itu.

Terima kasih ibu kembar. Mungkin aku punya beberapa keterbatasan. Tetapi aku yakin, setitik kemampuanku bisa jadi manfaat di tengah lautan.

aku pun teringat sebuah tulisanku setahun yang lalu, Pelangi Cita-Citaku. Di situ tertulis ada sebuah rumah belajar dan kreasi untuk ibu-ibu yang ingin kubuat, yaitu KARTINI EDUCARE.

yang tidak disangka, namanya mirip dengan sekolah dan kursus gratis yang digagas oleh ibu kembar, yaitu SEKOLAH DARURAT KARTINI,

sekarang belum bisa kulakoni. kalau ditilik posisiku, masih ada excuse, karena anakku masih kecil-kecil, sementara ibu kembar mulai berkiprah ketika anaknya sudah besar, sudah kuliah. Saat ini, kubuat diriku selalu ingin tahu, ingin tahu dan ingin bisa. entah itu ketrampilan tangan ataupun kemampuan di dunia digital. Bismillah, Biidznillah, Kartini Educare ini akan tercapai. Sebuah tempat belajar khusus kaum ibu, kaum putri, kaumku. Amin.

Tidak ada komentar

Terima kasih telah meninggalkan jejak dan memberikan komentar.
Pasti lebih menarik jika kita terus ngobrol. Bisa ke facebook: Heni Prasetyorini dan Twitter: @HeniPR. Sampai jumpa disana 😊