Podcast Bu Heni

UNAS [kok] Bikin Panas dan Was-Was ?

Tidak ada komentar
credit
Masih ramai membicarakan UNAS alias Ujian Nasional. Yang sebenarnya sekarang disingkat UN.

Tetapi lidah orang Jawa, ya lebih enak menyebut UNAS sepertinya.

Ini dunia sekolah ada apa ya? saya yang wali murid jadi bingung sendiri.
Untuk istilah ujian saja, bermacam-macam. Ada UNAS, UN, USEK, UAS, UTS, UH.

Kalau jaman emak sekolah dulu kan cuma ada sedikit saja istilah dan itu tidak berganti-ganti. Yaitu Ulangan Harian, UTS, UAS, EBTA, EBTANAS, UMPTN. sudah beres.

Sekarang ini, singkatan dan nama ujian saja ababil berganti-ganti, apalagi isi ujiannya. Belum lagi pro dan kontranya yang heboh sekali di media massa.

Jika mendengar berita tentang UNAS ini saya sering berpikir, apa ini cuma kehebohan yang sengaja diciptakan di media. Supaya tivi itu laris, ratingnya tinggi, iklannya banyak. Atau untuk menjatuhkan lawan politik satu dengan lainnya, satu sekolah dengan sekolah lainnya, satu daerah dengan daerah lainnya, satu menteri dengan menteri lainnya, dan sebagainya.

Wong UNAS saja kok diributin to?
UNAS saja kok ditakutin dan dibikin tegang sebegitu rupanya oleh murid dan guru?
Memangnya apa sih UNAS ini?

Jika diingat lagi di masa lalu. Kan UNAS ini sama saja dengan EBTANAS di jaman dulu, iya kan?
Suatu bentuk Ujian tertulis di akhir masa sekolah, sebagai syarat lulus dan diterima di jenjang sekolah selanjutnya. Kan sama saja?

Apa UNAS sekarang jauh lebih hebat tingkat kesulitannya daripada EBTANAS?
atau sekarang malah murid dan gurunya sedikit berlebihan menganggap hal ini luar biasa?

Entahlah, celakanya saya bukan guru dan tidak punya kenalan guru yang bisa diajak sharing sebanyak-banyaknya tentang UNAS ini. Jika sharing dengan wali murid, yang muncul cuma heboh agar anaknya lulus UNAS saja.

Saya ingat jaman masih sekolah itu, tidak pernah pusing dengan hasil. Saya tidak takut sama sekali untuk gagal ujian. Saya tidak akan malu untk mengulang ujian lagi, jika kelak saya gagal. Karena satu hal yang menopang diri saya saat itu adalah, saya suka belajar

Karena saya suka belajar, suka mengerjakan soal dan malah lebih aneh lagi, saya suka sekali dengan suasana ujian, maka ujian ya seperti olahraga Bungee Jumping saja. Perlu dipersiapkan sebaik mungkin, lalu terjun walau ada resiko jatuh kebawah.

Karena saya hanya fokus pada mempersiapkan diri, maka sejak pelajaran harian, UTS, UAS, itu pun saya lakukan dengan sungguh-sungguh. Setiap ujian adalah cara untuk mengukur diri saya, pelajaran mana yang sudah saya kuasai, mana yang tidak. Jika di UTS, matematika saya nilainya 6. Maka saya genjot lagi belajar matematika lebih banyak, supaya di UAS saya lebih bagus nilainya.

Juga ketika jaman EBTANAS. Dulu teman-teman saya masih SMA suka meremehkan ujian ini. Karena dulu sepertinya ya, semua pasti lulus berapapun nilai EBTANAS-nya. Tapi saya tidak menghiraukan hal itu. Ketika EBTANAS saya forsir betul diri sendiri untuk mengerjakan aneka soal latihan bahkan soal-soal latihan untuk UMPTN [jika ingat ada buku kumpulan soal tebal bersampul oranye]. Dengan asumsi saya waktu itu, jika EBTANAS saya sudah siap dan nilai saya bagus. Artinya saya sudah siap minimal 70% untuk lolos UMPTN.

Keberanian dan optimisme saya itu muncul, karena usaha untuk belajar yang luar biasa kerasnya. Namanya tiada hari tanpa memegang buku. Usaha keras untuk tidak menonton televisi dan rela hanya ditemani radio. Berusaha agar bisa terus terjaga di malam hari, tidak mengantuk dan bisa terus belajar dengan makan rujak mangga yang kecutnya minta ampun. Dan lain sebagainya cara.

Yang saya pegang dengan susah payah memang adalah KEJUJURAN. Saya anti mencontek dan anti memberikan contekan. Walau teman mencibir saya sok suci dan sebagainya. Memang waktu itu dengan egois saya berpikir, "lah kok enak saja. Saya belajar mati-matian sendiri, kok kalian tinggal metik hasilnya dengan nyontek jawaban saya".

Nah, apakah saya jujur ketika lingkungan saya mendukung? tidak juga. Bahkan keluarga pun ada sedikit intrik-intrik ketidakjujuran kecil yang dilakukan, kadang-kadang dengan dalih demi anak, demi kami.

Entah itu saya dapat kekuatan dari mana. Mungkin kejenuhan menghadapi suasana dan orang yang tidak jujur. Dan begitu inginnya saya mendapatkan pertolongan dari Alloh SWT. Saya tahu betul diri saya nggak ada apa-apanya dari segi ibadah dan lain sebagainya. Tapi setidaknya, jika saya jujur maka Alloh SWT akan melihat saya. Dan jika belajar begitu keras, Alloh SWT akan mengasihani saya. Dan saya yakin, yang namanya pertolongan itu ya sesuai dengan usaha keras kita. Ya belajarnya, ya berdoanya.

Hal yang paling penting mungkin yang membuat saya begitu punya power adalah saya ini BERANI GAGAL. Memang sih ada deg-degan, cemas takut tidak lulus, memalukan orang tua, dan di bully sama saudara dan teman. Tetapi untuk mengatasi hal itu saya kerahkan segenap tenaga untuk belajar lebih banyak lagi. Bahkan lebih sering daripada teman-teman umumnya.

Misalnya seperti ini, ketika kelas 3 SMA saya di Jombang. Sendirian. Dalam arti keluarga besar saya ada di Surabaya. Ini karena sesuatu hal. Ibu saya ingin pindah ke tanah kelahiran di Jombang. Saya ikut. Dan ketika saya kelas 3 SMA, ibu memutuskan pindah kembali ke Surabaya.

Waktu itu karena ingin menjaga kualitas dan kuantitas saya dalam belajar dan berlatih mengerjakan soal, maka saya memilih ikut Bimbingan Belajar Reguler Luar kota di Surabaya. Ini ketika kelas 3 SMA. Jadi setiap hari Sabtu jam 2 siang, sepulang sekolah, saya langsung pulang ke rumah tante tempat saya menumpang. Lalu mandi, makan siang secepatnya, dan menyambar buku dan baju kemudian berangkat ke terminal bis. Saya naik bis ke Surabaya. Karena hari Sabtu, biasanya saya sampai ke Surabaya setelah maghrib.

Sampai di rumah saya di Surabaya sudah malam. Saya mandi lagi, makan malam dan belajar sedikit untuk persiapan pre-test di bimbel. Setelah itu besoknya pagi, saya diantar ke tempat bimbel. Saya belajar bimbel dari jam 8 pagi sampai jam 2 siang. Selesai bimbel saya langsung naik bis menuju Jombang. Dan sekali lagi, saya sampai di Jombang sudah malam, lewat maghrib. Esok paginya, Senin, sudah mulai sekolah seperti biasa.

Hal ini saya lakukan selama satu tahun penuh. Tidak ada absen kecuali saya sakit atau acara keluarga yang penting sekali. Ketika Try Out atau aneka kuis dan tes lainnya, saya lakukan bersungguh-sungguh. Udah kayak gitu pun ada juga yang menyindir dan mem-bully. Biasanya anak-anak yang sekolah di Surabaya yang mencibir kami ketika belajar sebelum Try OUt. Kata mereka, "itu anak-anak luar kota. Belajarnya serius amat. Kayak mau UMPTN saja."

Lha? serius belajar , salah?

Ya begitulah, komentar miring selalu ada. Tapi fokus agar bisa lolos UMPTN membuat saya melupakan hal itu. Walaupun ingin sebenarnya maju menghampiri para komentator itu dan mengatakan, "hei mas, mbak. Aku iki arek asli Suroboyo. Sejak kecil sampai SMP, sekolah di sini. SMA aja yang diluar. Mbok jangan sok sombong gitu toh. Emangnya wong ndeso, nggak bisa lebih pinter dari sampeyan?!"

hahaha, tapi ini cuma adegan imajinatif. Saya milih diam saja dan kembali belajar.

Oke, inti dari semua ini. Menurut saya, jika setiap pribadi murid punya watak mau BELAJAR LEBIH KERAS dan TEKUN, BERANI GAGAL, BANYAK BERDOA, JUJUR

Maka kelak, mau ada UNAS kek, Ujian Nusantara kek. Ujian internasional kek. Ujian penyetaraan kek. Apapun namanya, ya SIAP saja. HADAPI saja.

Dan ketika murid yang sudah punya watak seperti ini, kelak jadi dewasa, lalu menikah dan punya anak. Maka juga sudah siap sedia. Tidak akan takut ketika anaknya ujian. Wong dari kecil mereka sudah biasa berusaha sekeras mungkin, iya kan?


Tidak ada komentar

Terima kasih telah meninggalkan jejak dan memberikan komentar.
Pasti lebih menarik jika kita terus ngobrol. Bisa ke facebook: Heni Prasetyorini dan Twitter: @HeniPR. Sampai jumpa disana 😊