Podcast Bu Heni

Pendaki Gunung Yang Murah Senyum

6 komentar
"Maaf ya Hen," kalimat itu sering diucapkan Aan sambil nyengir khas. 

foto Aan & Erna (document by Erna)
Sepertinya waktu itu kuliah Kalkulus Dasar I, di sebuah GKU (Gedung Kuliah Umum). Aku melihatnya pertama kali dan terkesan karena kelincahannya berlari turun dari deretan meja atas kebawah. Dia berjilbab tapi nyentrik juga. Jilbabnya pendek, bordirannya seperti ciri khas jilbab orang Sumatera, Sulam Bayang. Yang nyentrik, celananya pakai celana gunung yang banyak sakunya. Dia dipanggil Aan.

Aan ini kayaknya tomboy dan banyak kenalannya di kelas ini. Beda denganku yang dari Surabaya, sering bengong karena nggak punya teman lama. Aan tertawa riang, bercanda ke siapa saja. Baik laki-laki maupun perempuan, dia bersikap sama, begitu akrab.

Lama-lama aku tahu, kalau si Aan ini hobinya mendaki gunung. Wuih, super sekali, ada perempuan suka mendaki gunung. Aku langsung jatuh hati padanya. Bagiku dia wonder woman. Hobinya ini bahkan sering disindir oleh dosen kalkulus kami dengan kata-kata, "isi waktu yang baik, jangan iseng-iseng saja seperti mendaki gunung. Gunung nggak ada apa-apanya kok di daki, mau cari apa?", ujar beliau sambil tersenyum tipis. Kami yang mendengar waktu itu langsung tertawa dan bergumam sendiri, karena tahu target sindiran itu adalah Aan.

Waktu pun berlalu dengan kesibukan kami di kuliah jurusan kimia dan di organisasi himpunan. Entah sejak kapan, Aan ini mulai berubah, bisa dibilang Aan mulai hijrah. Jilbab pendeknya mulai melebar, panjang dan menutupi tubuhnya dengan rapi. Celana panjang pendakinya sudah tidak pernah dipakai sama sekali, berganti dengan rok panjang nan serasi. Kalau waktu itu aku menyebutnya, Aan sudah jadi "akhwat".

Walau sudah jadi akhwat, Aan tetap ceria dan hangat padaku yang masih berjilbab biasa saja dengan celana jins. Hanya kelihatan, Aan berusaha menjaga ketika berhadapan dengan teman kami laki-laki. Tidak ada candaan akrab seperti yang dulu kulihat.

Aku semakin dekat dengan Aan ketika menjadi panitia penerimaan mahasiswa baru. Beberapa kali begadang di himpunan, di Gedung Bengkok. Aku sering melihat Aan sholat malam walau seharian penuh kami sudah begitu lelahnya. Sering juga melihatnya melilit menahan lapar. Ketika kutanya, "loh tadi kan masih ada satu kue An? kok nggak dimakan?". Dan jawab Aan saat itu, "sudah aku kasihkan ke teman lain, Hen. Dia lapar katanya.". Aku langsung protes, "kan kamu juga lapar? tau gitu nggak usah ngasih kue ke aku juga tadi semuanya. Atau semua kita bagi rata, jadi kamu nggak kelaparan gini.". Seperti biasa, Aan hanya tersenyum nyengir sambil berkata, "maaf ya.". Dan aku pun tidak bisa menjawab lagi.

Saat ini, aku baru menyadari apa yang diperbuat Aan ini sungguh luar biasa. Walau aku nggak setuju juga, tapi dia mendahulukan orang lain, dan itu tingkatan keimanan yang tertinggi dalam islam: "Itsar, mendahulukan kepentingan saudara sebelum diri sendiri".

Aan ini orangnya bersiih sekali. Waktu di tempat kosnya, huih rapii. Dia selalu sedia tissue, dan sedikit-sedikit membersihkan apa saja yang menurutnya kotor, dan menurutku biasa saja hehehe. Bahkan di laboratorium biokimia, tempatnya praktek tugas akhir, Aan pun sedia sikat gigi, odol, sabun mandi serta gel antiseptik. Setelah makan siang, dia akan langsung sikat gigi. Ya, kebetulan saat itu dia pasang begel gigi.

Setelah kami lulus, kontak pun hilang. Karena jaman dulu, catatan database kan telepon rumah. Kami pun terhubung dari facebook. Saat itu aku baru tahu kalau Aan diterima menjadi dosen biokimia. Aduh, begitu senang aku mendengarnya. Profesi yang kuidamkan ternyata diperoleh Aan. Beberapa kali kami kontak lagi, mungkin karena kesibukan masing-masing juga sudah tidak saling berbagi cerita. Aku hanya mengamatinya dari facebook. Bahwa Aan, anaknya banyak :). Dan kegiatannya sebagai dosen yang sering tugas keluar negeri.

Aan menjadi contoh nyata, bahwa buah dari ketekunan adalah keberhasilan. Dan bahwa hidayah itu jika dirawat, maka akan semakin kuat mengakar dalam kalbu. Sampai sekarang kulihat Aan masih akhwat yang murah senyum. Kabar terbaru cukup mengangetkan kami semua, dengan diagnosa medis yang menimpa Aan. Hatiku rasanya pengen lompat ke rumah Aan, memegang tangannya erat, sambil mengajaknya bicara ngalor-ngidul, membuatnya tertawa lagi. Ingin sekali setiap hari bisa ada di sampingnya, ketika rasa sakit akan bergantian dia rasakan dalam setiap prosedur tindakan medis.

Saudariku, bertahanlah dan bersabarlah ya. Semoga disembuhkan segala penyakit sampai tuntas dan mendapatkan kebaikan dari -Nya dengan ini semua. Semoga dalam setiap luka, sakit, nyeri, sedih, takut dan khawatir, adalah butiran cara untuk menggugurkan dosa. Bertahanlah dan jadilah pendaki gunung yang murah senyum selalu.

Love you Aan .

6 komentar

  1. Semoga temannya selalu diberkahi kesehatan dan kekuatan ya mbak Hen...

    BalasHapus
  2. Aan dari jakarta yang awal awal perkuliahan diajak ke BIP dan kmudian bilang: ini mall terbesar di kota Bandung???? luasnya aja lebih luas tempat parkir di PI Mall.... hahahaha

    BalasHapus
  3. Mendaki... ortu gg pernah kasih izin...

    BalasHapus
  4. Dosen kalkulusnya waktu itu siapa ya ??

    BalasHapus

Terima kasih telah meninggalkan jejak dan memberikan komentar.
Pasti lebih menarik jika kita terus ngobrol. Bisa ke facebook: Heni Prasetyorini dan Twitter: @HeniPR. Sampai jumpa disana 😊