Podcast Bu Heni

Bisnis Bondo Nekad Bisa Masuk Tipi

Ngomongin bisnis itu ajaib bagi saya. Sejak jaman sekolah, cita-cita saya hanya seputar dua hal, menjadi Pengajar atau Peneliti. Tapi mungkin sudah garis nenek moyang, akhirnya saya kecemplung juga di dunia dagang seperti nenek saya, ibu saya dan bahkan ibu mertua saya B-) .

Singkat cerita, saya baru praktek dagang ini ketika sudah menjadi ibu rumah tangga. Waktu hamil anak pertama, saya buka usaha pengetikan dan bimbel. Pengetikan berjalan lancar sampai hamil besar pun rela begadang ngetik skripsi orang. Pas anak lahir, akhirnya saya tutup. Karena ngasuh anak bayi pertama itu, rempongnya luar binasa. Bimbel pun tutup, karena sungkan dengan muridnya. Misalnya ketika saya ngajar, eh anak saya nangis minta ASI, trus minta dikelonin. Ya udah, ikutan terlelap deh.

Ketika anak pertama udah rada gede, saya dan suami sempat nekad dagang baju produksi sendiri. Mempertimbangkan ibu mertua yang profesinya penjahit. Kami bertiga di siang bolong, keliling jalan Ampel untuk mencari toko yang menjual kain kiloan. Kabarnya murce dan bagus. Ketemu juga akhirnya. Tokonya kecil, yang dagang orang Arab, yang beli juga banyak orang Arab. Saya sampai terpana melihat orang yang hidungnya mancung-mancung disana. Kami beli beberapa jenis kain, dan memberikan kepada ibu mertua untuk membuatkan baju berbordir. Untuk contohnya kadang saya ngarang sendiri, kadang saya tunjukkan majalah. Usaha berjalan lancar di awalnya. Tetangga bahkan pernah memesan selusin gamis bordir. Karena saya maunya dicap produsen yang cekatan, ibu mertua saya kejar harus menyelesaikan dalam waktu dua minggu. Saya serahkan sebebasnya modelnya. Setelah jadi, awalnya tetangga saya senang. Namun setelah lama kelamaan gamisnya itu tidak laku terjual, dia pun mengeluh bahwa model baju saya kurang bagus. Setelah saya telaah, ternyata selera ibu mertua yang di desa beda jauh dengan selera pembeli saya di kota Surabaya. Kendala datang, suami saya harus ke Hungaria untuk training kerjaan. Kurleb 3 bulan. Alhasil nggak ada yang ngantar untuk kulakan kain dan menjahitkannya. Usaha saya pun brenti begitu saja. Uang modal pun lenyap entah kemana. Ya ke dapur lah, pake nanya :D

Note : produksi barang butuh riset, rancangan yang detil dan jelas serta pengawasan kualitas (Quality Control)

Saya pun sempat ikutan MLM jualan produk madu dan turunannya. Dasarnya saya suka sama sekolahan ya. Jadi yang saya kejar itu kelas seminarnya dll, bukan jualannya. Saya hobi browsing dan mencetak semua hal yang mendukung produk knowledge. Tapi cuma cengar-cengir kalau disuruh jualan. Upline saya aja yang cas cis cis nawarin jualan. Dan maksa orang beli aja, itu menurut saya waktu itu. Bisnis yang katanya bikin saya jadi jutawan itu pun harus diberangus total. Karena rumah tangga saya nyaris diambang bahaya. MLM menuntut saya pergi malam pulang malam. Menghabiskan uang belanja dan tabungan untuk modal. Dan tipe keluarga kecil saya, sama sekali tidak cocok dengan hal itu. Demi kesejahteraan bersama, saya pun berhenti total.

Note : tidak semua orang cocok berjualan ala MLM. Tapi dari sini saya belajar untuk tahan terhadap penolakan. "Jika tidak beli sekarang, mungkin beli besok. Jika dia tidak beli, mungkin temannya, adiknya, pakdenya atau tetangganya beli. Jadi tetaplah merespon dengan baik ketika kita menawarkan barang, apapun reaksi calon pembeli."
Selanjutnya saya ingin usaha tanpa modal. Bahasa kerennya jadi reseller nih. Awalnya membawakan baju jualan kakak ipar. Saya membawakan daster, baby doll untuk di tawarkan ke tetangga. Saya mendapatkan keuntungan 10%, sekitar Rp. 10.000,- per baju. Penjualan sistim kredit ibu-ibu, bisa satu bulan bayar di belakang atau bayar dua kali dalam satu bulan. Sesuai kesepakatan saja. Proses jualan ini mengalami kendala klasik. Yaitu yang ngutang lupa bayar :D. Atau yang janji bayar belakangan, sulit ditagihnya. Tapi saya tipe yang tidak mau merugikan orang, sekaligus tidak mau dirugikan. Jadi walau sesulit apapun, saya terus berusaha menagih, minimal uang dasar bisa saya kembalikan ke kakak ipar. Tidak masalah kalau saya tidak dapat keuntungan. Proses ini memakan waktu, hati, jantung dan paru-paru. Bahkan kalau usus bisa diambil, ambil deh.

Karena, walau saya berusaha bicaranya halus sehalus tahu sutra, yang namanya proses penagihan itu bikin nggak enak dua-duanya. Yang nagih bete, yang ditagih lebih bete lagi dan menebarkan kebeteannya dengan leluasa di udara. Situ yang utang, kok kita yang tercoreng-moreng namanya? dunia sudah kebalik. Tapi ini fakta. Maka atas nama menjaga perdamaian dunia, saya berhenti jualan sistim kridit-kridit begitu. Saya ingin hidup bertetangga saya, damai sejahtera bahagia sentosa.

note: Sebaiknya hindari bisnis ala kriditan ibu-ibu jika tidak kuat mental.
Seiring waktu, bisnis saya tidak nambah. Yang nambah malah anak saya, lahir satu lagi. Ketika dia masih bayi, saya dapat inspirasi baru. Membuat aksesoris handmade dari manik-manik. Itu karena ketemu dengan anak kos yang tinggal di rumah ibu saya. "Ayo mbak, aku lihatkan bikinannya kakakku.". Anak kos itu mengajak saya naik ke kamarnya. Dan dalam satu kerdus bekas mie instan yang besar, penuh dengan aneka jenis kalung, gelang dan bros yang sudah dikemas plastik. Semuanya handmade, bikinan kakaknya yang tinggal di Jogja. Wah menarik, pikir saya. Saya pun merasa, menjual aksesoris bisa jadi ladang usaha baru. Secara kebetulan, saudara saya, cewek, baru selesai ikutan kursus membuat aksesoris manik-manik. Dia menunjukkan hasilnya pada saya. Saya pun makin tertarik. Namun yang namanya sodara saya ini, hobi aja komentar ala-ala "ini sulit, kamu nggak akan bisa!". Saya juga lebih hobi lagi, kalau diremehkan malah kayak kepecut. Saya nyengir aja dan berbalik menghampiri si anak kos tadi. Nanya ini itu, ini onoh. Sampai akhirnya dia berucap, "ayo mbak, aku anterin beli bahannya!"

Tralala, saya pun terbang di atas sepeda motornya menuju toko bahan aksesoris. Perjalanan tak semulus dugaan. Lah iyalah, dia anak kos, asal luar kota. Mana hafal dengan jalanan Surabaya. Apesnya lagi, biarpun saya anak daerah aslii Suroboyo yooo, tapi dari jaman gadis menik-menik nggak pernah boleh dolan, alhasil saya makin nambah bikin nyasar. Untung aja nggak ditilang pak pulisi. Coba kalau.... eh sekarang lagi baek-baek sama pak pulisi yaa... #polisiganteng #kaminaksir , *nggak jadi protes deh. 

Saya pun mendapatkan segepok bahan aksesoris. Belinya banyak, kebanyakan malahan, terpaksa. Karena anak kos itu nggak tahu kalau di toko Burhani, dekat pasar Blauran Surabaya itu kalo beli manik-manik kudu serenteng, beli peniti bros kudu seplastik yang kira-kira isinya seperempat kilo. Saya habis sekitar 300 ribu deh, jaman tahun 2007 (masa moneter). Uang belanja kesedot banyak waktu itu, hiks. Maafkan adinda ya ... *pasang tampang melas depan suami. 
Nekad Bikin Aksesoris Sendiri

Untungnya di toko itu juga jualan buku tutorial membuat aksesoris manik. Saya baca sekilas. Lalu saya putuskan beli bahan sesuai isi buku, termasuk beli peralatan tang. Setelah itu dengan segenap jiwa raga, saya belajar sendiri di rumah. Saya ingat waktu itu lagi bulan Ramadhan. Jadi setiap selesai sahur, saya duduk di samping anak kedua yang masih bayi. Saya ceklak-ceklik motong kawat, nyambung lagi, masang manik. Membuat kalung, gelang dan bros. Sampai akhirnya jadi.
Buatan saya tahun 2011-2013

Lalu, dijual dimana? Keputusan cepat saya ambil untuk menawarkan ke ibu-ibu wali murid TK  sekolahnya anak pertama saya.
Tiap ditanya, harga berapa mbak? Mulai deh, kambuh penyakitnya. Deg-degan, keringat dingin. Hmm...aaahh, mmm,,..eehmm... berapa ya? 5 ribu deh. 10 ribu aja. 30 ribu gpp?. Itu yang namanya ibu-ibu megang aksesoris saya kayak megang ular aja gitu. Megang bentar, taruh. Ngamati pun enggak. Serem kan. Saya pun sempat patah arang. Brenti jualannya aja, tapi tidak berhenti belajar membuatnya.

Buatan saya tahun 2016

Penasaran berlanjut lagi ketika ketemu kain flanel. Saya pun belajar bikinnya. Bikin apa aja. Saya bikin bros kecil-kecil saya suruh jual anak pertama yang sudah kelas 4 SD. Laris manis karena dia selalu jualnya diskon 50%. Tapi segera di banned sama gurunya. Karena proses transaksi begitu heboh di sela-sela pelajaran sekolah. Bisnis duet ibu-anak mati seketika.



Hobi baca saya akhirnya membuat saya mampir ke kios koran depannya bank BTN. Itu bank adalah bank yang bersejarah buat kehidupan kami. Kenapa coba? ... *yang pernah berurusan dengan developer perumahan, pasti paham deh. 

Di situ saya pertama kali kenal dengan buletin Peluang Usaha. Buletinnya mengupas habis tentang wirausaha. Lengkap detil. Sampai perjuangan usahanya, jenisnya, bahannya, alamatnya, harganya semua ada. Saya pun tertarik dengan artikel berjudul "Moncernya Bisnis Jualan Jilbab".
Salah satu koleksi buletin PU saya.


Saya ingat, waktu itu sengaja mau ditunjukkan ke suami dan merayunya untuk ngasih modal buat jualan jilbab. Tak disangka, di senja yang mendung dan temaram, suami saya mengatakan sesuatu yang jauh lebih mengejutkan daripada niat bisnis saya. "Ma, sepertinya aku bakalan kena PHK....tapi itu belum pasti. Cuma kita harus siap-siap saja..."

Jedeeerrrr.....itu rasanya ada petir aja nyamber masuk ke sel neuron otak saya. Padahal perasaan di luar nggak hujan deh, cuma senja mendung temaram, iya kan?. Kalimat pendek itu memporak-porandakan perasaan istri manapun di dunia. Untungnya urat kegengsian saya lebih kuat daripada kelenjar air mata. Jadi tak ada tangis, tak ada melodrama. Langsung saja saya ambil tuh buletin dan menunjuk artikelnya, "kita bisnis saja. Kita jualan jilbab. Jualannya online saja."

Mungkin orang bilang ini the power of kepepet. Tapi saya menyebutnya the power of bonek. Bondo Nekad. Modal Nekat. Saat itu kami merasa perlu bersiap-siap, jika PHK benar terjadi. Dengan cara memulai usaha sendiri, bisnis sendiri dengan kondisi apa adanya saat ini. Tidak menunggu uang pesangon jika PHK benar adanya. Kami pun mulai untuk riset dan bertanya pada teman yang sudah pengalaman berjualan online. Menilik cerita mereka, sebenarnya kami benar-benar tidak siap dan tidak punya modal. Tapi rencana terus saja kami jalankan. Kami berbisnis. 

Nekad banget, karena kami tidak punya modal apapun untuk berjualan online. Tapi bisa juga bisnis ini jalan. Kronologisnya begini. Pertama, saya nekad aja pinjam modal uang ke ibu mertua dengan keyakinan saya tidak akan dipecat jadi menantunya walaupun nanti nggak bisa balikin modal.Setengah uangnya saya belikan bahan baku (jilbab paris polos, bahan payet, dan ongkos pengrajin). Setengah uangnya lagi saya simpan untuk perputaran modal selanjutnya. Setelah proses produksi selesai, saya mendapat satu kresek besar berisi jilbab paris dengan aplikasi bordir, payet, sulam pita dan lukis.






Prosedur kedua adalah cara menjualnya secara online. Saya pinjam manekin kepala bekas kursus rambut dan  kamera digital kakak. Hasilnya saya edit menggunakan komputer jadul yang sebenarnya diperuntukkan untuk anak saya main game tetris. Karena sering dipake main game, jadilah kompi itu error. Saya tak ingin berhenti begitu saja. Maka, saya ke warnet dekat rumah. Hampir setiap hari, saya ke warnet bersama anak kedua saya yang berumur 3 tahun. Sejak jam 9 pagi -11 siang, kami "piknik" di warnet. Saya lakukan semua yang diperlukan disana. Mengedit foto, mengupload foto di blog, facebook, twitter. Juga berpromosi di situs iklan gratisan, yaitu toko bagus, dinomarket, indonetwork, dan apapun jenis iklan baris gratisan. Awal berjualan pun, saya tidak punya ponsel untuk kartu GSM. Dan jaman itu, yang masih mengandalkan sms dan telpon untuk kontak langsung, orang akan mau menghubungi kita jika kartunya dari provider yang sama. Karena kartu saya CDMA, bisa dijamin bakal cuma dilirik saja. 

Tetep aja saya nekad jualan. Dengan proses komunikasi mengandalkan facebook. Sambil menunggu pesanan, saya mencari lokasi kantor Pos dan ekspedisi kirim barang. Akhirnya pesanan datang, untungnya ini dari teman saya alumni SMA yang ada di Pontianak. Kebingungan lagi tentang ongkos kirim. Jaman dulu, tahun 2010-an belum ada website atau aplikasi ongkos kirim yang bisa diakses seperti sekarang. Saya pun mondar-mandir ke kantor Pos dan ekspedisi, sekedar menanyakan Ongkos kirim, yang bikin petugasnya bete. 

Pesanan pertama membuat saya percaya diri. Saya pun terus menerus melakukan promosi dengan telaten. Mengumpulkan hasil penjualan dan keuntungan dengan tertib. Walau jilbabnya ada yang bagus, sekuat tenaga saya tidak memakainya untuk diri sendiri. Semua saya jual. Sampai akhirnya bisa balik modal, maka sebagian saya sisihkan untuk membeli ponsel yang bisa dibuat internetan menggunakan opera mini. Semua berjalan lancar, bahkan sampai ikutan bazar di acara wisuda IAIN Sunan Ampel Surabaya.


Berbagai kendala pun muncul. Saat itu yang paling laris adalah jilbab paris lukis. Itu yang pesan sudah sampai Aceh, Samarinda. Mendadak, pelukisnya meninggal dunia. Maka berhentilah produksi jilbab saya. Di tahun 2011-2012 pun booming tentang bisnis online, terutama bisnis jilbab. Saya kelabakan mengatasi fashion update. Ditambah kekurangan saya adalah nggak fashionistik sama sekali. Proses produksi pun tersendat, karena saya sulit mencari waktu untuk berkunjung ke desa mertua tempat para pengrajin berada. Suami semakin sibuk di kantor dan harus sering ke luar kota atau training ke luar negeri. Berbagai hal saya lakukan agar toko online saya tetap jalan. Salah satunya dengan kulakan secara online dan menjadi reseller. Apapun dilakukan, karena menurut saya, di jagad dunia online, kita harus tetap update hal baru dan berbeda. Maka untuk menjadi beda, saya coba lagi hal baru yaitu membuat aksesori handmade. Alhamdulillah respon cukup baik. Bahkan sampai ada reporter dari Metro TV Jatim yang mengirimkan sms-nya dan meliput saya untuk segmen tentang Inspirasi Bisnis Kreatif.





Kisah behind the scene nya bisa dilihat disini


Sebenarnya proses shooting ini berjalan ketika saya memutuskan untuk "cuti jualan" dan kuliah lagi. Karena jadi pede setelah masuk tipi, saya pun menggalang teman untuk modal bersama. Namun ini tidak berjalan dengan baik. Bisnis bersama patner itu harus dibangun dengan tingkat pemahaman yang sama terhadap rencana, ide dan praktek bisnisnya. Ada perbedaan sedikit saja, bisa menimbulkan masalah. Saya orangnya tidak mau merusak hawa baik dalam berteman. Maka saya putuskan mengembalikan modal teman-teman dan benar-benar berhenti jualan. Saya fokus pada kuliah saja.

Note : sebaiknya mulailah bisnis secara "solo" atau sendirian. Kecuali yakin mendapatkan patner yang tepat untuk bekerjasama.

Itulah liku cerita berbisnis bondo nekad saya. Hal penting yang saya dapatkan dari "belajar bisnis" adalah pantang menyerah. Kesulitan pasti ada di depan mata, apapun jenis usaha atau profesi kita. Jika dalam satu jenis usaha, kita sudah mentok dan rasanya sulit untuk diteruskan, maka kita bisa bikin usaha baru. Pelajari hal baru, sebisa mungkin kita sendiri yang membuatnya dari nol, sehingga tahu seluk beluk keperluannya atau celah untuk menjualnya dengan baik.

Sekarang sudah tahun 2016. Untuk memulai jenis usaha apapun, rasanya sangat mudah. Apalagi jika berjualan online. Jika tanpa modal apapun, bisa mencoba untuk menjadi Reseller Dropship, yaitu menjual barang secara online, dimana kita yang mempromosikan dan penjual asli yang mengirimkan ke pembeli secara langsung atas nama kita. Saya pun sampai sekarang masih melakukannya. Mengetahui ongkos kirim ekspedisi manapun bisa di website dan aplikasi android. Untuk mengirim juga banyak sekali ekspedisi baru, bahkan kurir online baru. Pokoknya tinggal niat, telaten dan berhati-hati dalam mengelola keuangannya, pasti bisnisnya berhasil.

Bagaimana dengan bisnis saya sekarang?
Untuk versi jual beli produk, saya masih "cuti jualan", sampai saya temukan makloon produksi atau suplier yang tepat. Sebenarnya ketika saya telaah lagi diri sendiri, hobi saya adalah belajar hal baru dan baru lagi. Mulai membuat aksesoris, kreasi flanel, tas, membuat blog, menulis ebook, dsb. Jika itu semua dirangkum, maka mungkin lebih tepat jika saya membuka suatu lembaga pendidikan dan ketrampilan. Atau menulis sesuatu untuk menginspirasi orang memulai bisnis kreatif, seperti halnya buletin yang menginspirasi saya dulu.

Ah, jadi ingat saat itu. Di hari pertama kuliah umum Pascasarjana UNESA tahun 2013, di gedung K10. Kuliah pengenalan. Saya berkenalan dengan seorang guru IPA dari Sidoarjo. Ketika giliran dia bertanya, " mbak Heni, ngajar dimana?". Dan saya jawab, "nggak kok, saya ibu rumah tangga".  Dia spontan menjawab, " oh, mau bikin sekolah sendiri ya?".

Ah, semoga.
Bismillah.

Dari wirausaha membuka peluang usaha baru dan hal baik lainnya. Jadi, mari kita berwirausaha :)

"Tulisan ini diikutkan dalam Giveaway Semua tentang Wirausaha yang diselenggarakan oleh Suzie Icus dan Siswa Wirausaha"