Podcast Bu Heni

Independensi Ala Ibu Rumah Tangga

24 komentar
 It takes nothing to join the crowd. It takes everything to stand alone

Perlu keberanian berdaya ribuan kilo Joule, untuk memutuskan sebagai "independent". Tidak mudah mengatur hati, diri dan motivasi ketika bekerja sendiri. Apalagi jika alasannya adalah segala bentuk pekerjaan dan amanahmu sebagai ibu rumah tangga.


Kok gitu sih?
Anak-anak dihandle suaminya dong, gantian.

Manja banget sih anaknya?
Suruh mereka berangkat sendiri.


Pernah mendapatkan komentar seperti ini? 
Kalau saya sudah khatam, :)

Yaa, begitulah. Yang memahami perasaan ibu rumah tangga, ya.... mereka yang mengalami sendiri sebagai ibu rumah tangga 100% persen, tanpa asisten rumah tangga, tanpa siapapun yang bisa dititipi anaknya jika ditinggal.

Yang belum pernah merasakannya, mungkin akan lebih sulit paham, kenapa IRT itu mudah banget membatalkan janjinya, HANYA karena alasan anaknya sakit.
Atau susah diajak janjian karena alasan terbentur jadwal anaknya ikut lomba mewarnai atau sedang ujian tengah semester di sekolah.

Terdengar sangat remeh temeh, bagi mereka yang tidak tahu seberapa penting hal tersebut bagi kelangsungan hidup sebuah rumah tangga.

Proses Menjadi Independent


Menerima Diri Sendiri
Saya pernah masuk dalam momen putus asa ketika tidak bisa "join the crowd". Tidak bisa berkumpul, berkarya dan bekerja bersama-sama dengan kebanyakan orang. Di komunitas blogger, saya tak punya nyali karena susah sekali bertemu muka. Alasannya apa lagi, kecuali waktunya berbenturan dengan jadwal antar jemput anak sekolah. Apalagi jika acaranya mulai ba'da Maghrib. Itu adalah hal yang mustahil.

DEPRESI banget deh, asli.
Tapi, mau gimana lagi itulah tipe rumah tangga saya. Mengubahnya tidak bisa seperti sulap. Harus ada kesepakatan, pembiasaan dan perbincangan yang cukup panjang.
Ya, saya bertipe rumah tangga jadul, kuno, konservatif dan apalah sebutannya, Just Name It.




Terinspirasi Blind Coder (Programmer Tuna Netra)

Apa iya kita harus depresi terus?
Nggak jalan kemana-mana dong.

Saya tersengat dengan cerita ketika saya ikut acaranya Female Geek tantang programnya mengajari para tuna netra membuat website.

Mbak Anne mengatakan, programmer tuna netra ini berhasil membuat website.

Wow, bayangkan.
Saya saja memahami coding web design, merasa kesulitan dan mudah berhenti. Ini mereka yang mendengarkan code dan kerja komputer lewat suara, bisa berhasil.

Mereka punya banyak keterbatasan, tapi mereka bisa melaju terus. Lah, aku ini? sehat walafiat, normal semuanya. Kenapa harus berhenti hanya gara-gara tidak bisa pergi kemana-mana?
Memangnya kerja di balik meja, di dalam rumah tidak bisa menghasilkan apa-apa?
Tidak bisa mencapai kualitas yang baik?

Fokus Pada Kekuatan Diri
Baiklah, saya sudah mengesampingkan semua kesempatan yang lewat karena saya tidak bisa leluasa "join the crowd". Maka, saya fokus meningkatkan potensi diri, menambah ilmu pendukung profesi dan mengasah skill saya sampai mumpuni.

Saya memilih fokus di satu hal. Yaitu TEKNOLOGI.
Teknologi maksudnya seputar teknologi informasi, yaitu digital learning, digital writing, coding, blogging beraroma coding dan startup. Untungnya keluarga saya mempunyai toleransi dan dukungan besar dengan proses belajar. Jadi, saya bisa mengikuti even serupa seminar dan workshop.

Berani Berkata TIDAK
Karena memilih fokus di dunia IT, maka saya harus meneguhkan hati untuk berkata tidak pada hal-hal yang diluar tema saya. Karena waktu untuk keluar rumah tidak banyak, saya harus memilih dengan hati-hati. Keberanian ini juga mendapatkan respon beragam. Ada yang menghargai, ada juga yang berkomentar melemahkan. Sudahlah, anggak saja itu hukum alam.

Kerja Keras Tak Pernah Mengkhianati
Sunatullah berlaku disini. Siapa yang bekerja bersungguh-sungguh, akan menuai hasil yang ditunggu. Saya seribu persen yakin akan hal itu. Maka, saya atur strategi agar semua yang saya hasilkan bisa meningkat kualitasnya. Ketika menulis artikel di blog, saya usahakan isinya semakin berbobot. Saya melakukan riset yang cukup banyak, membaca beberapa artikel, membaca sejarah, mencari quote, mencari sudut pandang berbeda dan hal lain penting lainnya.

Saya membeli buku tentang Copywriting. Saya mengunduh aneka jenis ebook tentang elearning, startup, web design atau apalah yang ingin saya pahami lebih. Saya lakukan itu dengan ZERO MIND. Walaupun postingan itu tidak berbayar, jika topiknya mendukung fokus saya, akan saya lakukan sepenuh hati.

Saya berhati-hati sekali mengelola sosial media. Menahan diri sekuat tenaga tidak mudah membagikan berita viral atau berkomentar, jika itu tidak berkaitan atau mendukung fokus saya. Saya memilih mengalihkan atau mengisi beranda dengan nada motivasi dan inspirasi. Biarlah dianggap tidak update berita, tidak peduli, tidak berdoa; toh cara berdoa itu tidak dengan menuliskannya di status sosial media.

Dan sedikit demi sedikit, usaha kita menunjukkan hasilnya. Orang-orang yang mau bekerjasama dan membutuhkan jasa kita, ternyata datang sendiri karena kualitas yang mereka amati selama ini.


Puncak Independensi Ala Ibu Rumah Tangga
stand alone bravefully
Ketika prestasi kita sudah mulai nampak, mulailah banyak orang yang datang menawari kerjasama. Disini kita harus tetep pasang kepala dingin, waspada tidak jumawa.
From nothing to something, dari nggak dikenal lalu disapa saja, kita bisa merasa wah. Apalagi, jika orang datang, memuja muji kita dan ingin menggunakan jasa kita dalam projeknya.

Awalnya saya merasakan itu. Mudah merasa wah. Dan mudah berkomitmen dengan siapa saja yang katanya membutuhkan bantuan saya. Tetapi dengan berjalannya waktu, saya harus berpikir lebih bijak.
Projek yang menuntut waktu yang panjang, tidak berani saya ambil. 

Saya tidak berani ikut dalam projek jangka panjang yang menuntut meeting berkali-kali, sosialiasi berhari-hari, berkeliling dan pergi kemana-mana. Jika posisi saya masih muda, anak kuliahan atau baru lulus, okelah diajak ini itu yang butuh banyak waktu. Lah, saya ini ibu rumah tangga. Prioritas terbesar masih anak dan keluarga.

Jadi mohon maaf. Daripada nanti ujung-ujungnya konflik, pada ngambek kalau saya nggak bisa meeting karena kudu antar jemput anak. Yaaa, mending saya mundur dan mempersilahkan mereka mengatur jadwal lagi jika membutuhkan saya.

Alhamdulillah, cara ini ternyata bisa juga berjalan. Ketika saya memberikan rambu-rambu, bahwa kalau ngajak saya nggak bisa meeting dadakan karena meninggalkan anak dan suami di rumah, harus dilakukan persiapan ini itu. Sebisa mungkin saya maksimalkan teknologi komunikasi berupa email, messenger atau cloud computing untuk berbagi data. Sehingga mengurangi intensitas untuk meeting kopdaran yang memakan waktu.

Saya pun punya keterbatasan untuk pergi kemana-mana. Alasannya karena saya ini ahli nyasar juga sering nervous sendiri kalau jaraknya udah kejauhan apalagi bakal pulang malam. Efek kelamaan kudu semedi di dalam rumah kali ya? :)

Makanya, teman saya di komunitas Blogger sering bercanda, kalau ngajak mbak Heni, pasti ditanya dulu, "tempatnya dekat rumah nggak?" heheheeh.
Karena mereka udah hafal, kalau lokasi acaranya cukup jauh, saya pasti melipir nggak berani daftar.

Begitulah, bagi teman-teman yang mengalami kesulitan yang sama seperti saya dalam ranah ibu rumah tangga; bisa berbagi rasa dengan saya disini. Tetaplah semangat meningkatkan kualitas diri. Dan yakinlah, kalau sudah rejeki pasti datang sendiri. 
Ibu rumah tangga, punya peluang juga berprestasi.

Salam,

Heni Prasetyorini

24 komentar

  1. Ibu Rumah Tangga bisa juga berprestasi. I like it mbak.
    Tegas lugas dan bekomitmen. Semoga aku juga bisa kyk itu mb

    BalasHapus
    Balasan
    1. Take your time, enjoy your own trip mbak Betty.
      Perjalanan kita masih panjang, 😁

      Hapus
  2. salam kenal mbak kita sama2 irt ya...semangat terus ya mbak

    BalasHapus
    Balasan
    1. Toss..sesama IRT harus saling menyengatkan heheh

      Hapus
  3. Aku baca tulisan mba heni, mak deg rasanya di hati. Aku ngerasain banget mbak,meski tinggal bareng bumer tetep aja semua dikerjain sendiri. Saya jadi lebih semangat lagi untuk bisa berprestasi juga, seperti mba heni.

    BalasHapus
    Balasan
    1. gpp itu tanggung jawab kita, makanya semua dihandle sendiri saja. Kasihan ibumer atau ibu, mereka sudah lelah ngurus kita dan suami waktu kecil dulu.
      tetep cari jalanmu yang terbaik yaa, tetep cemunguut

      Hapus
  4. Saya setuju dengan tulisannya Mba Heni ini. Apalagi yang bagian menahan diri sekuat tenaga untuk tidak reaktif berlebihan di sosial media dan fokus pada kekuatan diri. Terimakasih tulisannya, Mba.. ^_^

    BalasHapus
    Balasan
    1. kadang rasanya gregetan, tapi lebih baik do good share good aja deh. walau tulisan kita baik, belum tentu yang komen juga baik. saya nggak mau ada masalah begitu begitu

      Hapus
  5. Jadi IRT itu enggk mudh loh, apalagi kalau nyangkut urusan anak
    aku ajah juga suka ngebatalin janji, demi sama anak

    BalasHapus
    Balasan
    1. itulah kenapa, lebih baik saya jadi "sendirian". karena pasti bentrokan aja sama jadwal yang lainnya.

      Hapus
  6. Nothing wrong with a housewife. Mereka mempunyai tugas yang berat tetapi mulia. Jika dilakukan dengan ikkhlas dan diniatkan sebagai ibadah Insya Allah barokah.
    Salam sayang dari Jombang.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Inggih pakde, terima kasih supportnya.
      Butuh perjalanan panjang untuk bisa tangguh sekaligus ikhlas :)

      Hapus
  7. saya juga irt mb, lg belajar mengatur keinginan, ingin ini, ingin itu, banyak sekali. krn prioritas ttp kluarga, jadi apa mau saya ditahan2 dan dipilih2. seneng baca tulisan ini, semangat belajar jadi terpacu :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. belajar adalah pelarian terbaik atau me time terbaik yang saya pilih :)

      Hapus
  8. saya merasakan pertanyaan yang sama kok tega ninggalin anak, anak di titip Bapaknya sementara emaknya ngelap ngeblog hahaha tapi biarin aja kalau pun dijawab ga bakal nyambung pemikirannya udah beda yang penting kita dan pasangan sama-sama ngerti. setuju dengan kalimat terakhir, ibu rumah tangga bisa ga hanya ngurusi urusan rumah

    BalasHapus
    Balasan
    1. tipe rumah tangga beda-beda ya mbak Rina.
      Saya menahan diri untuk tidak berkomentar ini itu, bagi yang berbeda tipe dengan saya.
      Karena, dalam hati siapa yang tahu? hehehe

      Hapus
  9. Kalau ngajak mba Heny berarti harus sepaket sama anak anak ..itu kalau emang niat ngajak.. jadi ngga nemu alasan untuk nolak

    BalasHapus
    Balasan
    1. heheh, anakku cowok malah susaaah nggak mau ikut mbak. wistalah mbulet jaya pokoknya. cemungut qee

      Hapus
  10. Hai mbak Heni, salut buat ibu rumah tangga yang kemudian memiliki komitmen untuk independent seperti mbak Heni. Saya kadang masih sering ninggalin anak-anak sih. Tapi seijin suami, karena kalo pas saya pergi suami yang gantian jagain anak-anak

    BalasHapus
    Balasan
    1. Ini bisa karena terpaksa 😄😄.
      Kami berproses untuk menjadi independen masing masing. Jadi kalau saya nggak ada, rumah akan aman saja alurnya heheh

      Hapus
  11. Aiih keren mbaaa, berkarya hrus tapi prioritas tetep keluarga yaa 👍👍

    BalasHapus
    Balasan
    1. Bangeet maunya sih sesekali kabur jauh sih sebenarnya hahahaha

      Hapus

Terima kasih telah meninggalkan jejak dan memberikan komentar.
Pasti lebih menarik jika kita terus ngobrol. Bisa ke facebook: Heni Prasetyorini dan Twitter: @HeniPR. Sampai jumpa disana 😊