Podcast Bu Heni

Ngobrol Dengan Anak Sepulang Dari Acara Isra' Mi'raj: Sholat Adalah The Main Keyword

3 komentar
Hikmah Isra' Mi'raj: Sholat adalah The Main Keyword. Satu kata kunci yang saya dapatkan ketika ada pengajian Isra' Mi'raj di kampung rumah saya.

Momen Isra' Mi'raj kali ini sangat istimewa buat saya. Karena setelah acara selesai, saya bisa ngobrol enak dengan si anak bujang alias anak sulung saya yang udah kelas 9. Udah berkumis yaaa nih bocah.

Kali itu, kami membicarakan tentang isi acara yang sudah kami hadiri bersama-sama.

Tepat membuka pagar, nih anak sedikit ngedumel.

"Kok pak ustadznya menjawab gitu ke pertanyaan mama sih ya? kan nggak semudah itu jawabannya.", begitu katanya.

Ya, waktu itu saya bertanya.
Bagaimana sebaiknya mengatur waktu kita sholat, ketika sedang dalam acara seperti seminar atau pelatihan. Apalagi jika kita menjadi narasumbernya. Biasanya sholat dhuhur bisa diatur. Akan tetapi untuk sholat ashar kan di tengah acara. Mau sholat duluan, takutnya dianggap nggak profesional karena berhenti di tengah acara. Atau takutnya tidak menghargai waktu peserta yang mungkin non muslim jadi tidak sholat kan? Tapi kalau ditunda sholat asharnya, biasanya bablas mepet maghrib.
Sedangkan mengambil cara sholat jama' atau qasar tidak memenuhi syarat.

Waktu itu pak Ustadz menjawab, agar kita mengingat kembali pentingnya sholat.

Bahwa sholat itu adalah perintah yang diberikan langsung oleh Alloh SWT kepada Rasulullah Muhammad SAW. Jadi itu adalah perintah yang sangat penting.

Analoginya begini:
Bandingkan jika presiden mengirimkan Surat perintah melalui pos/kurir, atau memberikan surat perintah langsung dengan kita dipanggil ke istana menghadap presiden.
Tentu, menghadap langsung adalah perintah yang lebih penting.

Begitu juga sholat.

Nah, karena sholat itu penting, maka kita harus menomorsatukannya.

credit pic


Kemudian pak Ustadz menambahkan adanya kalimat dari Alloh SWT yang tertuang dalam sebuah Hadits Qudsi,

 "siapa yang menomorduakan AKU, 
silahkan mengurus sendiri hidupnya"

Nah, jawaban ini yang makjleb banget dalam hatiku.
Siapa berani euy mengurus sendiri hidup kita ini? siapa kita? siapa saya atuuhh...

Selanjutnya beliau menekankan bahwa, Profesional kepada Alloh SWT harus didahulukan daripada profesional kita kepada manusia.

Dari situ, langsung di batin ini muncul keberanian untuk menomorsatukan sholat jika ada dalam kondisi tersebut. Sedangkan caranya, bisa dicari siasat atau kesepakatan dengan peserta atau pihak panitia.

Yang pasti, harus ada juga akal bagaimana agar waktu untuk wudhu dan sholat tidak terlalu lama. Jadi misalnya, untuk outfit atau baju saya, harus mudah dilepas dan digunakan lagi dengan rapi pasca sholat. Atau sekalian menggunakan baju yang bisa dijadikan "mukenah". Seperti gamis, outer panjang dan khimar. Bismillah, semoga bisa sampai ke level dimana berbusana karena ingin memudahkan proses sholat. Doakeun ya emak gahar yang awam ini ya kawan...amiin.

Kembali ke protes anak saya,dia mengatakan bahwa kalau gurunya menjawab pertanyaan saya akan seperti ini,"islam itu nggak hanya hablum minallah tetapi juga hablum minannas. Yang artinya, tidak hanya berhubungan dengan Alloh SWT, tetapi juga dengan manusia. Dan hablum minannas itu rumit. Karena berhubungan dengan manusia itu lebih rumit daripada berhubungan dengan Alloh SWT."

Ya, jawaban anak saya ini masuk akal juga. Waktu itu saya jelaskan, untuk kondisi pengajian saat itu dan kondisi "audience", tidak memungkinkan menjawab seperti itu atau sedetil itu. Karena pesan utama pengajian adalah menekankan kembali keutamaan shalat.

Setelah itu, saya melanjutkan obrolan ringan dengan si anak bujang ini, sambil makan nasi berkatan dari pengajian tadi. Rasa asin dari mie goreng dan ayam rica-rica tidak begitu terasa, karena ngobrol dengan anak yang sudah remaja ini sangat berharga dan manis bagi saya. *emak terharu.

"Mas, kita perbaiki sholat kita ya. Mama juga nggak sempurna, Apalagi sejak kecil mama kurang akses belajar ilmu agamanya, masih lebih bagus kamu. Apalagi nanti kalau kamu sudah mondok, mama juga pasti akan makin berbenah diri."

Anakku itu mengangguk pelan dan mengunyah makanannya dengan tenang.

"Sebentar lagi kamu ujian nasional. Yang penting sekarang kita baguskan sholatnya ya. Berdoa biar lancar ujiannya dan masuk ke sekolah yang kita tuju. Siapa tahu, makin bagus sholatmu, kamu akan diberikan berbagai kemudahan dan prestasi di luar dugaan. ya mas.."

Bagitulah percakapan saya dengan anak sulung, lelaki remaja usia hampir 15 tahun ini.
Antara jadi ibu, jadi teman, kadang kudu rada sendu manja seperti kekasihnya kelak. Begitulah utak atiknya gaya parenting saya yang lebih mengedepankan menjadi pendamping anak, dan memberitahukan kondisi saya apa adanya.

Ya, begitulah saya mamak yang awam banget ilmu agamanya.

Semoga nanti, kelak, anak-anak saya yang menjadi guru terbaik untuk saya.
Dan saya siap berproses bersama mereka, termasuk untuk meningkatkan kualitas sholat.

Bagaimana dengan anda?



Ketika Bayimu Dibilang Prematur

Tidak ada komentar
Merawat bayi prematur tidak mudah. Banyak hal yang perlu dipersiapkan. Biasanya calon ibu sudah mendapatkan gambaran bahwa bayinya akan lahir prematur karena sebab tertentu, misalnya pendarahan berlebihan sejak hamil muda atau bayi kembar. Untuk menyelamatkan bayi, akan dilakukan berbagai jenis persiapan.
Tapi bagaimana jika tiba-tiba bayi yang baru saja anda lahirkan secara normal, di vonis sebagai bayi lahir prematur?
HPL seharusnya 25 Oktober 2006, namun di tanggal 5 September 2006 sudah keluar segumpal lemak berwarna putih dengan segaris darah merah, tanda lahir?. Tanpa menunggu lama, saya memeriksakan diri ke dokter kandungan. Dan hasilnya sudah ada bukaan 1 tipis di jalan lahir. Saya disarankan pulang ke rumah, jika ada sakit kontraksi yang tak tertahankan baru kembali ke rumah sakit, langsung opname. Di sepanjang malam saya merasakan beberapa kali rasa sakit kontraksi. Esok paginya kami putuskan masuk lagi ke rumah sakit, dan benar langsung disuruh rawat inap. Setelah dicek, ada peningkatan bukaan 2. Saya diminta tiduran saja di tempat tidur, di ruang melahirkan. Benar-benar harus hanya tiduran. Ketika saya duduk untuk membaca buletin yang dibawakan oleh suami, saya ditegur oleh suster. “tidur saja bu,”. Hanya itu, tanpa penjelasan panjang.
Ini adalah anak keduasaya sudah pengalaman melahirkan secara normal. Terakhir periksa di tanggal 5 September itu, dokter mengatakan anak saya sehat dan siap dilahirkan. Atau tidak masalah jika dilahirkan dalam waktu dekat. “Bukankah jauh dari HPL ya dok? Apakah nanti dia tidak prematur?”itu sempat saya tanyakan pada dokter. Yang kemudian dijawab,”tidak. Anaknya udah gede. Udah 2,5 kg. Sehat.” Dokter menjawab menentramkan hatiku.
Maka, ketika dua malam merasakan kontraksi, hatiku bahagia. Segera melahirkan. Segera bisa bertemu dengan anak yang sudah kukandung selama berbulan-bulan. Sebelum berangkat ke RS pun, aku banyak berjalan-jalan di perumahan bersama anak sulungku yang berumur 4 tahun. Segala tetek bengek urusan rumah juga kubereskan. Mengisi air tandon dengan menarik selang dari warung di kampung sebelah, sekaligus mencuci piring, mencuci baju dan mengepel, semua kulakukan secara paralel seperti biasa.
Kata orang Jawa, semakin giat bekerja, semakin mudah melahirkan normal, tambah gangsar. Aku tak menghiraukan rasa lelah. Yang penting ketika aku melahirkan, rumah bisa ditinggal dalam keadaan bersih.
Proses melahirkan anak kedua ini berjalan cukup lama. Saya masuk kamar bersalin tanggal 6 September 2006, disuruh bedrest disana sekitar pukul 8 pagi. Masuk pukul 2 siang, kontraksi mulai kuat. Sempat keluar darah menetes ketika aku berjalan ke kamar mandi untuk buang air. Suster dan dokter menyarankan untuk banyak berjalan di sekitar bed. Saya turuti juga walau sakitnya luar biasa. Sampai menjelang malam, sudah sampai bukaan 7 belum ada perubahan berarti. Kebetulan, ada calon ibu yang sama dengan saya kasusnya, sudah bukaan 7. Ibaratnya sparring patner, siapa yang duluan melahirkan?
Celakanya, calon ibu muda itu teriak-teriak sepanjang kontraksi terjadi. "Ambilkan pisau, bunuh aku saja!" Begitu katanya. Gimana kita nggak keder ya? Sama-sama kontraksi, sakit, denger ancaman serem gitu pula. Ya itulah resiko melahirkan di rumah sakit umum. Saya malah merasakan melahirkan normal lebih private di bilik kecil seorang bidan, waktu melahirkan anak pertama.
Perjuangan menembus malam kala itu sungguh luar biasa. Aku nyaris putus asa, menangis, namun suami menguatkan. Akhirnya sekitar pukul 5 pagi, setelah shubuh, anak keduaku lahir dengan cara normal. Suara tangisnya pecah keras sekali, aku menarik nafas bahagia. Rasa sakit sehari semalam kemarin, langsung hilang musnah. "Laki-laki bu, sehat" kata suster. Alhamdulillah.
Prosedur pasca melahirkan kemudian berjalan lebih lambat. Dokter break untuk solat subuh,mandi dan sarapan. Semuanya berjalan normal sampai saya bisa mandi keramas dan istirahat di ruangan lain. Karena tak sabar, saya pun berjalan ke ruangan bayi. Dan tertegun melihat anak saya dipasang selang oksigen di hidungnya. Kulitnya coklat matang cenderung gelap. Di pipinya ada tompel biru tua besar. Dadanya bergerak naik turun dengan cepat. Matanya terpejam.
Oh, anakku berkulit gelap dan bertompel tanda lahir di pipi, gumamku sendirian. Eh, tapi kenapa dia memakai selang oksigen? Kutanyakan hal itunpada dokter, jawabannya ringan saja. "Biasalah bu, kayak kita pakai kacamata baru. Belum terbiasa. Anakmu kan belum biasa hirup oksigen campur di udara bebas ini. Makanya dikasih selang. Paling cuma 2 jam." 
Aku manggut-manggut, memutuskan kembali ke ruangan untuk beristirahat. Hampir satu jam kemudian, datanglah suster keruanganku. Di depan pintu dia berteriak, "ada yang namanya bu Heni?"
Aku tersentak kaget, "ya saya", jawabku dari balik korden. Perlahan aku turun dari kasur. Belum juga sampai menyibak korden, suster itu berteriak lagi, "anaknya mau diinfus bu, ini harus ada yang ditandatangani!".
Hah, diinfus?
Anakku yang baru berumur 2 jam, akan diinfus? Ada apa?
Singkat cerita, dokter spesialis anak pun datang dan menjelaskan bahwa bayi yang baru saya lahirkan itu prematur. Nafasnya tersengal-sengal. Jika nanti diberi minum lewat ASI ataupun dot susu, dikhawatirkan akan kesedak dan cairan masuk ke paru-paru, lebih berbahaya. Maka diinfus untuk pengganti ASI serta obat untuk pertahanan tubuh, sampai masa kritisnya berlalu.


Sungguh aku tak percaya dengan penjelasan dokter spesialis anak ini. Aku menentangnya, " dokter kandungan bilang anaka saya normal saja kok dok!", kilahku. Namun dokter menunjukkan telapak tangan anakku. "Lihat bu, tipis sekali kulitnya, juga berkerut. Anak ibu prematur."
Allahu Akbar. Aku pun diam saja mendengar penjelasan dokter. Walaupun jam kehidupan rasanya berhenti berdetak, aku memilih untuk tetap berkepala dingin. Jika bisa pingsan, mending pingsan sampai bayiku sehat dan aku baru siuman. Namun aku ingat suamiku dan anak pertamaku, mereka jelas membutuhkanku. Apalagi ingat bayi yang baru saja kulahirkan. Jika ibunya tumbang, dari siapa lagi dia bisa mendapatkan perhatian. Maka, aku memilih tegak berdiri walau air mata ini mengalir tiada henti.

***
tulisan ini dimuat di http://rumpibayi.com/posts/ketika-bayimu-divonis-lahir-prematur

Apakah ada teman yang mengalami?
Apakah ingin tahu kelanjutan kisahnya?
Jika iya silahkan tulis komentar di bawah postingan ini, atau langsung email ke saya: heni.prasetyorini@gmail.com

Warna Warni Naik Kereta Api Kelas Ekonomi

Tidak ada komentar
Naik kereta api tut..tut..tut, siapa hendak turut.
Kesana...kemari, awas ada zombie....

Ahahaha, ini lagu Naik Kereta Api yang terkontaminasi film zombie Train To Busan.
> Haduh mbak Heni, move on kek dari Gong Yoo...<

Ah, iya baiklah.
FYI, Train to Busan itu film Korea, yang dibintangi Gong Yoo pemeran Goblin, dan ceritanya dia nggendong anaknya kesana kemari sambil dikejar-kejar Zombie.
#sekian
kereta api kelas ekonomi


Kembali ke kisah istimewa dan warna warni naik kereta api kelas ekonomi.
Sejak ibu dan adik bungsuku sekeluarga pindah ke Jombang, akhirnya saya kembali bisa merasakan naik kereta api sambil ngajak anak-anak.

Mereka seneng banget, karena udah lamaa sekali mendambakan bisa merasakan naik kendaraan tanpa roda bundar. Dan menjelang tahun baru 2017 kemarin, Saya dan keluarga kakak berhasil naik kereta menuju Jombang.


Ke Stasiun Sejak Sebelum Subuh

Dari Surabaya ke Jombang, saya naik kereta api ekonomi Penataran Dhoho. Jadwalnya kalau naik dari Stasiun Gubeng, berangkatnya sekitar pukul 04.30 WIB. Pas setengah jam setelah adzan shubuh. Karena rumah saya di Surabaya Barat nun jauh disana, maka kami berangkat sebelum shubuh. 

Saya dan suami bangun sekitar setengah 3 pagi. Lalu saya siapkan bekal makanan, karena bawa anak-anak laki itu biasanya "nyemego" alias suka makan nasi. Anak pertama suka roti, saya bekal juga roti beberapa tangkup. Anak kedua saya siapkan bekal nasi dan krengsengan daging yang saya beli kemarin sore trus diangetkan lagi. 

Sekitar jam 3 pagi kami berangkat ke stasiun Gubeng dengan kendaraan pribadi. Sampai di stasiun pas adzan shubuh. Kami sholat dulu di sebelah kanan stasiun, sebelah kanan Alfamart itu ada musholla kecil yang maaf kurang bersih sebenarnya. 

Kenapa kami berangkat sebelum shubuh?
Pertama, karena rumah cukup jauh, jadi takutnya telat kalau nunggu shubuhan dulu di rumah. Yang kedua, karena saya belum beli tiket kereta untuk anak pertama saya yang mendadak pengen ikut. Karena beli tiket Go SHOW alias dadakan, maka saya ancang-ancang beli pertama saat loket buka. Alhamdulillah masih ada tiket. Akhirnya, setelah ketemu rombongan keluarga kakak, kami siap naik kereta api ekonomi menuju Jombang Beriman. 


Sebuah kiriman dibagikan oleh Heni Prasetyorini (@heniprasetyorini) pada


Warna Warni Naik Kereta Api Ekonomi

Sebenarnya, waktu jaman kuliah di Bandung, saya hampir 98% naik kereta api Mutiara Selatan dari Surabaya-Bandung. Kadang saya naik dari stasiun Semut, kadang dari Stasiun Gubeng. Waktu sekolah SMA di Jombang juga, sering naik kereta api ekonomi, kadang Dhoho, kadang KRD.

Nah waktu masih ada kereta KRD, itu kelas ekonomi banget, parah banget deh. Kadang jendela kereta bolong karena ada yang melempar. Kadang malah ditutup triplek, jadi pengap. Penumpang bebas dan penuh. Rebutan tempat duduk gitu. Pedagang asongan juga bebas keluar masuk dari stasiun ke stasiun. Toilet atau kamar mandi, haduuh, bau hamster kalau kata anak bontot saya, pesing banget. Ibarat kata, walau kebelet mending menahan diri sekuat hati daripada masuk toilet. Udah gitu, sering berhenti dan lamaa. 

Artinya, gambaran kereta api kelas ekonomi itu sangat menyedihkan bagi saya.

Ternyata oh ternyata sekarang berubah. Kereta ekonomi itu bersih. Nggak ada pedagang asongan. Semua penumpang bisa duduk. Toilet juga (relatif) bersih --> karena saya masih nggak tega aja masuk kesana :). Plus yang istimewa adalah di dalam tiap gerbong dipasang AC, jadi dingiiinn...

Dengan kondisi kereta ekonomi Dhoho seperti ini, anak saya jadi keranjingan ingin naik lagi naik lagi. Akhirnya, karena suami saya nggak tahan rengekannya, saya berdua aja sama dia diantar ke stasiun Gubeng subuh-subuh, untuk pergi ke Jombang dengan tiket go show, yang mendadak beli di stasiun. 

Anak saya sempet deg-degan dan sedih, ketika tahu nomer tiket tidak urut. Dia takut berpisah dari saya. Ditawarin makan ini itu nggak mau saking cemasnya. Padahal di dalam gerbong, kita bisa kongkalikong aja tukeran tempat duduk sama penumpang lain. Lucu juga nih anak. Saking cemasnya sejak nunggu di peron kali ya, akhirnya pas naik kereta langsung pules tidur. 

Sebuah kiriman dibagikan oleh Heni Prasetyorini (@heniprasetyorini) pada

Tentang TIKET 

Harga tiket Surabaya-Jombang hanya 12ribu, murah banget ya. Yang mahal jajannya :D
Karena udah rada santai naik kereta, waktu balik ke Surabaya lagi, anak saya ini jadi banyak maunya. Beli coklat, minuman yoghurt, dll. Tekor deh emaknye.

Sebenarnya dari segi keamanan dan kenyamanan, mending naik kereta deh ya. Sekeluarga juga malah asyik. Tapi usahakan beli tiket jauh-jauh hari, biar bisa mesen tempat duduk yang hadap-hadapan. Jadi anaknya nggak takut lagi jauh dari ortunya kayak anak saya tadi.

Trus kalau ingin pulangnya naik kereta juga, usahakan juga sekalian beli tiket pulangnya. Tapi ada yang berbeda kalau beli tiket langsung mendadak loh. Kalau misalnya, berangkat hari Minggu subuh, pulangnya hari itu juga, Minggu sore, bisa langsung beli tiket go-show pulang pergi, di subuh itu juga.

Tapi, kalau pulangnya besoknya, Senin sore misalnya, loket tiket pemesanan baru buka jam 9 pagi. 

Nah, kemarin waktu saya mau pesan, dilarang deh. Kudu nunggu loket buka jam 9 pagi, kan mustahil. Wong saya naik kereta ke Jombang jam 4.30 kan? 
Seharusnya ketika sampai di stasiun Jombang, saya langsung beli tiket pulang untuk besoknya. Ehlahdalah lupa!
Langsung aja ngacir ke pintu keluar, cari bentor (becak motor), trus ngacir deh ke rumah ibu di Jombang. Lain kali, emak-emak waspada yaa, takutnya kehabisan tiket kayak saya nih, jadi anak kudu bolos sehari demi tiket kereta api hihihi.

ohya jadwal naik kereta api Dhoho bisa dicek disini ya, 
http://keretaapikita.com/jadwal-kereta-api-rapih-dhoho/


Pelajaran Hidup di Kereta Ekonomi

Namanya naik kereta api ekonomi yang tiketnya 12-15 ribu ya, jangan mengharapkan fasilitas mewah atau karakter penumpang yang wah juga. Bener-bener grass root. Super duper kudu sabar menghadapi aneka karakter orang.

Yang saya hadapi juga macem-macem, misalnya:

Ada kakek-kakek yang masang ring tone hape keraaas banget. Udah gitu, anaknya mungkin ya, karena panik, dikit-dikit nelpon ini kakek. Dan si kakek yang seringnya ketiduran, kalau ringtone udah bunyi hampir 5 menit lebih, baru deh bangun dan hapenya di angkat. Atau baru ngeh kalau itu ringtone hapenya. Nggak ada satupun yang menegur dengan kondisi ini, tau diri loh, ini kelas ekonomi. Jangan banyak protes ah. Sabaar. 

Kalau kita sebel, paling sesama penumpang cuma saling pandang-pandangan lalu nyengir, kemudian berusaha keras tidur atau mengalihkan perhatian.

Kalau nggak kakek atau nenek, yang kedua adalah tangisan anak-anak dan bayi. Kalau mereka ketawa, masih seneng ya suasananya. Ini udah kereta brenti lamaa di tiap stasiun karena harus ngalah dengan kereta api luar kota, kelas bisnis, eh ini ada suara anak nangis. Atau bayi nangis,  muntah pula. Kalau nggak kuat iman, bisa marah kan?

Tapi ternyata nggak loh. Bukannya ibu si bayi dimarahin, malah banyak yang pengen nolong untuk nggendong nih bayi biar diem. Banyak yang ngasih nasihat juga ini itu. Rame deh. Tapi penuh cinta kasih. Suka kan lihatnya? 

Ngomong-ngomong tentang bayi nangis, saya jadi ingat dengan satu anak perempuan kecil yang digendong ibunya. Ibunya berdiri di depan saya. Anak itu umurnya sekitar 2 tahun. Air matanya berlinang. Gerak bibirnya menangis. Tapi nggak ada suaranya sama sekali.

Waktu itu saya heran, nih anak kok nangis nggak ada suaranya ya?
Mulai deh, naluri emak-emak muncul, yaitu antara kasihan dan berprasangka buruk. Haduh, maaf jujur, mak.

Saya bicara dalam hati. Nih anak udah kurus gitu, nggak diurus apa sama ibunya?
Saya buruk sangka, karena lihat ibunya cuek banget gayanya. Pake celana pendek jins selutut, kemeja pendek. Rambutnya dicat merah, kering dan dikuncir sekenanya. Dengan cueknya juga dia menyusui anaknya di depan kami semua, tanpa ada upaya apapun menutupi bagian tubuhnya yang memberikan ASI. Jadi ingat kampanye breastfeedingwithlove di instagram deh, banyak ibu-ibu bule yang memamerkan foto menyusui bayi.


Sambil menyusui, nih ibu muda mondar-mandir juga dengan cueknya kesana kemari. Memang juga hari itu lagi apes. AC gerbong error, jadi panasnya minta ampun. Nih anak pasti gerah. Tapi kok nangisnya tanpa suara?

Perlahan anak kecil itu berganti orang yang menggendong. Kali ini sosok laki-laki, melihat wajahnya cukup berumur. Apa ini kakeknya ya? kalau kakeknya kok mirip banget sama nih anak? kalau itu bapaknya kok tua banget?
Ya Tuhan, ampuni hamba, kok kayak infotainment too isi kepala ini. 

Saya berusaha mengalihkan perhatian. Sebenarnya pengen curi-curi foto. Memotret mereka. Tapi pasti ketauan karena hape saya ukuran 7 inchi. Saya juga sungkan. 

Ketika hampir sampai di Surabaya, sekitar stasiun Mojokerto, seorang ibu yang duduk tepat di depan saya mulai ngajak ngobrol. Dari beliau saya tahu cerita anak yang menangis tanpa suara itu. Ternyata dia mengalami kebocoran jantung sejak bayi. Seharusnya dirawat setahun di RS. Dr. Soetomo Surabaya. Tetapi karena tidak ada biaya, diambil rawat jalan. Syaratnya tiap bulan harus kontrol. Nah, sekarang adalah jadwal mereka kontrol ke rumah sakit. Asal mereka dari Tulungagung. 

Astaghfirullah hal adziim...langsung lemas hati ini...lunglai...dosanya aku...dosa banget.
Sedari tadi mbatin sendiri menduga yang enggak-enggak ke ibunya anak ini. Ternyata anaknya sakit. 

Saya pun menatap lagi wajah si ibu muda yang cuek itu. Di bawah matanya cekung banget, kelihatan kalau kurang tidur. Pasti anaknya rewel, karena tampak juga nafasnya berat. Pantesan anak ini nggak ada suaranya waktu nangis, ternyata jantungnya nggak kuat buat memacu suara nangis. 

Karena merasa berdosa, saya mohon ampuuun di dalam hati tanpa putusnya, sambil mendoakan nih anak dan keluarganya dapat yang terbaik. Amiin Ya Alloh, amiin. Kasihan kamu deekk...

"Pandangan pertama awal aku berjumpa,"...
jedeeerr mendadak ada lagu diputar kenceng banget dari hape seseorang. Siapa sih? penumpang lain mulai gelisah. 

Aduh berisik, seseorang protes dengan berbisik.

Tapi lagu Slank itu nggak brenti juga, nggak dikecilin juga volumenya dan nggak ada satu pun yang protes ke orang yang memutarnya.

Saat saya berdiri menyiapkan tas ransel untuk turun ke stasiun Gubeng, barulah saya tahu, oh ternyata yang muter lagu keras-keras itu ibu muda si anak yang bocor jantungnya tadi. Pantesan semua menahan diri.

Oh betapa penuh kasih sayangnya naik kereta api kelas ekonomi.
Saya berniat untuk mengajak anak dan suami untuk pergi lagi, naik kereta api. Karena banyak pelajaran moral yang bisa dipetik disana. Ini masih sebagian saja yang terjadi. 

Bagaimana dengan pengalaman teman-teman waktu naik kereta api?



Keuntungan Menjadi Perempuan Ambivert, Walau Terpaksa

Tidak ada komentar


“Mbak, bisa saya telepon sekarang?”
Permintaan seperti ini biasanya langsung saya jawab spontan, “Maaf saya sedang di jalan. Silakan tulis chat saja.”

Bisa jadi aneh kalau orang tahu perilaku saya ini. Ya, saya masih kurang nyaman untuk menerima telepon dari seseorang. Terlebih itu adalah orang baru. Bukan sahabat, bukan keluarga.

Mungkin saya termasuk tipe introvert, ya, Ma? Sepertinya iya. Saya lebih leluasa berkomunikasi lewat tulisan daripada lewat tatap muka langsung atau lewat suara dengan telepon.

Di lain hari, saya bisa tampil penuh percaya diri. Santai, humoris. Presentasi begitu mengalir ketika saya tampil di depan orang banyak. Bertemu teman baru juga bisa saya sapa dengan hangat.

Bahkan ketika ada kelas belajar baru, seorang mentor bertanya pada saya, “Mbak Hen, ini semua temannya, ya?”. Dia heran ketika saya akrab dengan semua orang di pertemuan pertama kelasnya itu. Saya jawab, “Nggak, semua baru aja kenal sekarang. Saya SKSD aja, Sok kenal sok dekat”. Idih, jadi ketahuan umurnya berapa tuh, pakai istilah SKSD. Hehehe.

Kalau perilakunya begini, apa iya saya termasuk ekstrovert? Hmmm.

Sepertinya iya juga sih.

Introvert juga. Ekstrovert juga. Yang bener nih saya itu kepribadiannya bagaimana? *ahhh pusing pala inces*

Saya bingung juga sih sebenarnya mengenali tipe kepribadian diri saya sendiri. Sampai saya mengenal istilah AMBIVERT.

Apa itu ambivert?

Jadi, ambivert adalah tipe kepribadian antara introvert dan ekstrovert.
*usap-usap dagu*

Sekali waktu dia bisa menjadi pribadi yang terbuka, ramah dan menyala-nyala sebagai ekstrovert. Namun suatu saat, dia ingin menarik diri, sendirian, bicara dengan diri sendiri, kurang suka interaksi langsung dengan orang lain lalu kembali lagi menjadi introvert.

Ada Mama yang mengalami hal serupa? Sini, toss dulu, Ma.

Jadi, apakah orang tipe ambivert itu sama saja dengan orang yang "ambigu, orang berkepribadian ganda, bipolar disorder, atau penipu kepribadian”?

Eits, nggak seperti itu keleus. Bukan gitu maksudnya.

Orang ambivert, secara alamiah saja mengalami dua kutub kecenderungan bersikap ala introvert dan ekstrovert. Dan nggak ada masalah juga dalam kinerja di otaknya seperti orang bipolar disorder.
Saya terpaksa menjadi ambivert.

Sebenarnya sejak kecil saya ini pendiam. Kutu buku. Lebih nyaman sendirian dan sibuk sendiri di dalam kamar atau di depan meja belajar. Ketika SMA dan kuliah saya berada jauh dari keluarga. Merantau. Dari sini saya belajar sesuatu. Bahwa, jika saya tetap introvert, maka saya akan ketinggalan.

So, atas nama survival journey, saya memaksakan diri menjadi ekstrovert. Saya berusaha keras membuka diri kepada teman-teman saya. Malu tidak malu, siap tidak siap, saya sering nekat saja menyambar mikrofon teman saya yang jadi moderator, lalu tampil ke depan untuk berdebat atau memberikan pendapat. Memalukan sebenarnya, tapi saya coba tahan semua itu. Saya harus berani, itu saja niatnya.

Lama kelamaan, saya mulai terbuka. Bisa ngobrol enak dengan orang lain. Bisa jadi speaker dan narasumber di depan banyak orang. Walau masih aja grogi di awal, namun saya bisa lancar saja menjadi trainer, bahkan di depan guru-guru.

Akan tetapi saya ternyata nggak sepenuhnya berubah total menjadi terbuka seperti orang ekstrovert. Masih ada satu sisi ke-introvert-an saya yang tidak bisa saya ubah. Walau saya sudah sadar dan berusaha untuk melatih keterampilan saya itu, atas nama survival.

Misalnya saja, ketika ingin berkomunikasi dengan gurunya anak-anak saya, maka saya masih memilih mengirim text, chatting, daripada datang langsung bertatap muka. Nggak tahu kenapa, nggak nyaman saja rasanya. Padahal kalau nggak sengaja ketemu di gerbang sekolah juga, saya lancar aja tuh ngobrolnya dengan beliau. Aneh juga ya ambivert itu? Hehehe.

Ketika saya utarakan keanehan saya ini kepada teman, ada yang mengomentari bahwa sejatinya deep down di dalam batin aslinya saya ini tipikal ekstrovert. Akan tetapi terpaksa menjadi introvert karena ditekan keadaan semasa masih kecil. Waktu itu saya pikir kalimat teman ada benarnya juga. Namun ternyata, setelah saya menyelami diri sendiri semakin dalam, saya semakin yakin bahwa bukan itu penjelasannya.

Entahlah ini nggak perlu digali lebih dalam penyebabnya. Karena sudah menjadi naluriah makhluk hidup untuk terus beradaptasi dengan lingkungan barunya. Menjadi ambivert adalah salah satu cara untuk beradaptasi. Asalkan itu terjadi bukan untuk memanipulasi suatu keadaan dengan tujuan buruk.

Menjadi ambivert ternyata sangat menguntungkan bagi saya sekarang. Terutama pada profesi dan karier yang sedang saya jalankan. Yaitu menjadi blogger. Sebagai blogger, saya aman menulis di balik layar, hanya bicara dengan tulisan ketika sedang ngeblog atau berkomunikasi di sosial media. Sisi introvert saya terpenuhi.

Di lain waktu, sebagai blogger, saya tetap harus tampil di depan umum. Terkadang sebagai narasumber atau trainer. Terlebih lagi, blogger harus meluaskan networking atau bicara dengan klien. Nah di sini, sisi ekstrovert saya harus muncul dan makin terasah dengan baik. Nggak mungkin kan ya, saya bertemu dengan klien, terus ngobrolnya pakai WhatsApp atau BBM, padahal hanya saling berseberangan di meja?

Dengan menerima diri sendiri berada di dua kutub kepribadian, saya makin memahami juga karakter orang lain. Ketika bertemu dengan introvert, saya akan menarik diri dan paham untuk membiarkan mereka sendirian. Saya pernah loh, ketemu blogger muda. Orangnya diam banget. Bertemu saya dua kali, nggak pernah sepatah kata pun kalimat saya dengar darinya. Menyapa saya pun tidak. Ketika saya goda, dia hanya diam tersenyum, lalu menunduk kembali pada handphone dan laptopnya. Padahal ketika bertemu di sosial media, dia menyapa ramah sekali. Amazing kan? Nih, anak adalah contoh introvert sejati. Awalnya sempat buruk sangka juga, tetapi lama-lama saya paham bahwa memang karakternya seperti itu.



Baca juga : Perempuan introvert susah sukses? Tepis mindset itu dengan melakukan 5 tips ini!



Sebaliknya, ketika saya bertemu dengan orang ekstrovert yang sikapnya spontan, menyala-nyala dan suka sekali gubrak-gubruk ke sana kemari dengan rombongan orang banyak. Maka saya memahami bahwa dia akan merasa senang dan berenergi ketika bertemu banyak orang. Saya nggak akan berpikiran lagi, nih orang ganjen banget atau gimana, karena itulah karakternya.

Dan semua kembali lagi, dari sudut mana kita melihatnya. Bener nggak, Ma?

Selain menjadi independen blogger, saya juga yang ingin mengelola sebuah media komunikasi dan belajar bersama untuk perempuan di dunia digital kreatif. Sebenarnya saya masih maju mundur ketika akan sekedar membuat fanpage di Facebook. Karena sisi introvert saya memandang aneka jenis pertemuan dengan banyak orang itu adalah mengerikan dan bikin lemas badan. Namun saya berusaha menepisnya dengan positive thinking, karena niat saya ingin sharing kepada lebih banyak orang.

Pemahaman sebagai ambivert ini, akan memudahkan saya untuk mengelola orang dan memahami karakternya. Sekaligus saya bisa mengarahkan partner kerja saya kelak di posisi yang tepat. Orang introvert saya arahkan di bagian produksi konten digital, karena nggak perlu tatap muka dengan orang lain. Sedangkan orang ekstrovert akan saya ajak berkeliling dan tampil di event yang melibatkan banyak orang.

Menurut saya pribadi, menjadi ambivert itu seperti kabel listrik.
Analoginya begini. Jika ada baterai dengan kutub positif dan negatif. Bayangkan saja kutub negatif adalah orang ekstrovert, sedangkan kutub positif adalah orang introvert. Jika ingin sebuah lampu menyala, maka perlu kabel yang menghubungkan antara kutub positif baterai, lampu dan kutub negatif baterai. Nah, kabel itu ibaratnya orang ambivert. Dia bisa ke sana kemari, menghubungkan aliran listrik dan membuat sebuah lampu bisa menyala.

Tulisan ini pernah dibuat di laman RockingMama.id

Beib, Ayo Kita Bulan Madu Ke China

6 komentar

ssst..waspadalah, tulisan ini bisa mengantarkan anda baper luar biasa terutama jika belum ada pasangan halalnya. :)

Di saat menopang dagu, bayangan itu kembali terlintas di kepalaku. Hampir 20 tahun yang lalu, takdir mengantarkan dia sehingga bisa duduk di hadapanku. Wajahnya letih. Dia memakai sweater berwarna biru dongker tua. Ada resleting di bagian dadanya yang tertutup rapat. Apakah dia tidak berkeringat? Karena suasana kereta api saat itu begitu padat.

Aku bercengkerama asyik dengan Anita dan Rini, kedua teman kos yang sama-sama berasal dari Jawa. Sesekali mataku beradu pandang dengannya, lelaki bersweater biru itu. Tapi, tiap kali itu terjadi, dia buru-buru menunduk atau menatap lurus ke depan. Atau membetulkan posisi duduknya yang bersandar di kursi seorang penumpang.

Ini kali kedua, aku akan menempuh perjalanan panjang antara Bandung dan Surabaya dengan naik kereta api Mutiara Selatan. Pertama, aku pergi dari Surabaya bersama ibu, bapak dan pakde. Mereka mengantarkanku yang akan menempuh studi di institut teknologi yang ada di jalan Ganesha.

Sekitar beberapa bulan kemudian, aku kembali naik kereta itu. Tapi kali ini aku akan pulang ke Surabaya, bersama teman kosku, yang berasal dari Jombang dan Nganjuk. Baru saja seperempat perjalanan, aku sudah menangkap kehadirannya. Pemuda itu.

Karena perjalanan sudah mulai terasa membosankan, plus pedagang keliling sudah pada turun, aku mencari kegiatan lain pengalih kejenuhan. Entah karena dorongan apa, kok tiba-tiba aku menyapanya,

"kok duduk di bawah mas, nggak kebagian tiket ya?"

Pemuda itu mengangguk dan tersenyum. Sekali lagi ia membenahi posisi duduknya. Dan kereta pun terus melaju, seiring kami yang bertukar kata menyebutkan nama, sesaat ketika aku akan turun di stasiun Gubeng Surabaya.

"Hen, Heni," sebuah suara memanggil di belakangku.

Aku kaget sekali, tak menyangka akan bertemu lagi di stasiun Bandung, ketika aku kembali lagi sendirian setelah liburan seminggu di rumah.
Tanpa diminta, dia mengangkat dua kerdus oleh-oleh dari ibu dan membantuku sampai masuk ke angkot dan menuju tempat kos.

Seperti mimpi.
Ataukah takdir?
Pertama ketemu di gerbong kereta. Lalu berpisah begitu saja.
Kedua bertemu di ujung pintu gerbong kereta. Bertemu begitu saja.
Apakah Goblin turut andil mempertemukan aku dan dia?
Ya ampun, kisahku ketemu sama jodoh kayak drama Korea aja.

Aku tertawa jika mengingatnya.
Apalagi dia, pemuda bersweater biru yang kemudian menjadi suamiku.
Dia paling demen menceritakan momen aku menyapanya di dalam gerbong kereta itu tadi. Terutama bercerita kepada dua anak lelaki kami yang sudah beranjak remaja.

"mama yang nyapa bapak duluan loh"

Paling sebel kan?
Bisa meruntuhkan pencitraanku sebagai perempuan yang harusnya manis manja meronah. Malu malu tapi mau. Lah kok ini yang menyapa duluan. Mau ditaruh dimana mukaku?
Haduuh...nggak ada penyesalan seberat itu deh.
Ngapaiin juga aku nyapa diaaa.....
Gara-gara GOBLIIIIIN....pasti ini gara-gara kamu Blin !!!

Nggak gini juga sih kejadiannya :) - [ minjem foto dari sini ]


Aih, telat banget kali kalau menyebut penyesalan. Kami sudah menikah hampir 16 tahun. Jika ditotal dengan waktunya proses pra-nikah yang 4 tahun itu, kami udah ketemu hampir 20 tahun. Teruus aja berdua. Nggak pake putus nyambung putus nyambung kayak lagunya Raffi Ahmad di grupnya BBB.

"Kok nggak bosan sih Hen?"
Selaluuu aja. Kayak wajib aja ya, pertanyaan ini muncul di semua temanku kalau udah tau kisah cintaku dengan suamiku ini. SKIP aja deh, SKIP.
Aku ini perempuan SUPER SETIA. Biarpun gaya gerakku tomboy and kayak laki banget , kesetiaanku benar-benar tidak bisa digoyahkan.

Ups, tapi. Dia bosen nggak ya sama aku?

Waduuh, Bebeiib...bosen nggak sama aku Beib?

Biar nggak bosan, kita bulan madu aja yuk Beib. Kita ke CINA. Iya, ayo kita rancang liburan kesana tahun ini. Kita kudu jadi pergi kesana. Sebelum anak sulung kita, beneran terbang ke Cina untuk nerusin kuliah.

Dari Jombang ke Cina

Kebetulan banget, hari Minggu kemarin, aku dan suamiku berkunjung ke calon sekolahnya anakku di daerah Peterongan, Jombang, Jawa Timur. Tepatnya di SMK TELKOM DARUL ULUM JOMBANG.

Ketika ngobrol dengan Kepala Sekolahnya, beliau mengatakan bahwa di sekolahan ini akan ada projek setelah lulus yang bekerjasama dengan universitas di Cina. Yaitu program beasiswa sekolah saja, atau sekolah sambil bekerja. Anakku langsung senyum tipis dengan binar mata tertarik dengan program itu. Memang dari kecil dia ingin sekali bisa kuliah di luar negeri. Biar merantaunya melebihi bapak dan ibunya gitu.

Nah kan Beib, sebelum anak kita beneran kesana, kita aja yaa yang terbang ke Cina duluan. Kita survey dulu kondisinya disana bagaimana. Kondisi masyarakat muslimnya bagaimana. Tempat ibadahnya gimana. Anak kita bakal mudah nggak nyari makanan halal. Nyari masjid buat sholat, terutama sholat jum'at. Karena dia laki kan wajib jum'atan.


Temanku bilang nih Beib, Cheria Travel ini udah terpercaya banget dijadikan rujukan untuk memfasilitasi niat kita piknik yang MUSLIM Friendly banget. Bakal ditunjukkan rute wisata yang bagus untuk lahir batin kita. Teratur untuk urusan ibadah sehari-hari seperti sholat dan gimana menjaga kebersihan. Plus selalu diberikan link untuk mendapatkan makanan yang halal. 


Cheria Wisata Tour Travel Halal Terlengkap di Indonesia 




Kalau belum jelas, coba klik video ini deh Beib. Makin pengen kan terbang ke China? Ayo beneran kita pergi kesana. Rencana bulan madu kita ke Jogja kan belum terwujud. Ya kan? ya kan?
Kita cuma sempat mampir bentar disana. Lalu nggak bisa kesana sampai anak kita ada dua dan jadi remaja. 

Udah deh, nggak jadi ke Jogjanya. Kita ke China aja dulu. Sekalian memberikan pengalaman pertama menginjak daratan China untuk anak-anak. Biar kalau udah giliran berangkat sendiri kesana, mereka udah lebih pede dan berani. Sekalian juga maksudku nih, kalau kita ikutan Cheria Travel, bisa minta link netoworking ke mereka untuk orang-orang Indonesia yang tinggal di China. Biar anak kita, makin banyak dapat orang dewasa yang bisa jadi jujukan jika terjadi apa-apa gitu loh. 

Nggak usah kuatir Beib, aku dah nemu nih Paket Tour Wisata Halal China


Add caption
Nah, paket Tour China ini jalurnya dari Jakarta ke Beijing. Biar seru, dari Surabaya, kita naik kereta api ke Jakarta. Nah waktu di kereta api itu, kita bikin photoshoot. Reka adegan waktu kamu dan aku ketemu pertama kalinya. Plus ketemu kedua kalinya secara tak sengaja. Lalu naik kereta berdua selama LDR-an itu. Ah pasti asik Beib. Biar anak-anak yang megang kameranya. Sekalian buat mengakrabkan keluarga mini kita ini.

Gimana? setuju ya. Nanti kita bulan madu ke China aja ya. 
Oke, deal !



Lomba Menulis Artikel Cheria Wisata


Perempuan, Jangan Pilih Pasangan Minder

1 komentar



Perempuan datang atas nama cinta. Tetapi jika pria pergi karena merasa kurang percaya diri, masihkah perlu perempuan menunggunya untuk kembali? Tidak ada lagi kata yang tepat untuk menggambarkan menghilangnya pria tanpa pesan karena merasa dia tak lagi berkesan selain, #kamujahat.

"Rangga, yang sudah kamu lakukan padaku empat belas tahun yang lalu itu - JAHAT!"

Begitu kata Cinta kepada Rangga yang baru ditemuinya lagi setelah terpisah selama 14 tahun. Promosi berkaitan dengan akan diluncurkannya sekuel kedua film garapan Mira Lesmana dan Riri Riza ini begitu gencar sejak beberapa bulan lalu. Bahkan, hashtag #kamujahat sempat menjadi trending topic. Film ini berhasil membangkitkan kembali kenangan sebuah generasi dari 14 tahun silam. Terutama, untuk saya pribadi, hashtag #kamujahat ini berhasil membuat sebuah memori muncul kembali ke permukaan.



Surat tak berbalas.

Dering telepon tak dihiraukan.

Puluhan ribu rupiah hilang sia-sia, sekadar mendengar dering tunggu dari panggilan-panggilan tak terjawab ke seseorang di pulau seberang sana.

Kondisi ini tentu mengherankan bagi seorang gadis yang baru saja menjalin hubungan kembali dengan kekasihnya. Kekasih, yang tiba-tiba datang ke rumahnya dan memintanya untuk kembali, lalu tak lama setelah itu, menghilang lagi. Seperti saat ini.

Mengapa?



Sang gadis untuk beberapa lama larut dalam perenungannya, namun kemudian memutuskan untuk melanjutkan hidup. Kuliah di sebuah universitas negeri terkemuka di Indonesia. Kesibukan menjadi mahasiswi baru membuatnya lupa akan kekasihnya yang menghilang tanpa pesan. Meski kadang, saat kesendirian menyergap, mau tak mau ingatan itu pun kembali. Terlebih masih tersisa rasa penasaran: Ada apa dengan kekasihnya itu? Mengapa Ia tiba-tiba menghilang?

Tak disangka, suatu hari sebuah jawab akhirnya datang. Dalam surat, kekasihnya itu menulis,

"Lebih baik kita putus. Karena aku tidak mungkin bisa melebihi dirimu. Selamat, kamu sudah di terima di ITB."

Kalimat pendek yang menorehkan luka sangat dalam di batin gadis itu, "Oh, ternyata setelah tahu aku diterima di ITB, engkau mundur lagi?"

Pernahkan Anda mengalami hal serupa? Menjalin hubungan dengan seorang pria yang kurang percaya diri. Anda berusaha keras untuk mempertahankan hubungan. Namun, begitu saja berakhir karena alasan yang sama: Lelaki itu tidak cukup percaya diri untuk melanjutkan hubungan.

Ya, saat itu hati saya sangat terluka. Bukan karena saya jadi tidak punya kekasih lagi, tetapi lebih pada perasaan tersinggung. Alasan mengapa dia memutuskan saya seolah-olah menunjukkan bahwa saya adalah seorang wanita yang sombong. Padahal sesungguhnya, saya tidaklah seperti itu. Namun seiring berjalannya waktu, saya akhirnya menyadari, putus adalah jalan yang paling baik pada saat itu.

Waktu itu kami masih SMA, dengan perbedaan usia tiga tahun jaraknya. Sesungguhnya, masih amat panjang perjalanan studi dan karier yang akan kami berdua tempuh ke depannya. Namun, saat itu Ia malah memilih untuk mengakhiri hubungan. Ia merasa saya akan lebih superior darinya karena prestasi akademik di sekolah dan nama besar universitas yang saya masuki. Sungguh konyol!

Kini, setelah saya berpikir-pikir, bagus sekali kami putus. Apa manfaatnya mempertahankan hubungan dengan pria yang tidak percaya pada dirinya sendiri? Pria yang tidak menghargai dirinya sendiri; yang dengan begitu mudah menganggap dirinya lebih rendah daripada perempuan yang dihadapinya?

Susah loh, menjalin hubungan dengan laki-laki seperti itu. Saya kadang malah merasa menjadi demotivated atau under pressure. Saya seringkali berusaha menyembunyikan kemampuan, terutama jika saya pikir kemampuan saya tersebut akan 'melebihi' dia. Misalnya nih, saya sebenarnya sudah piawai menggunakan aplikasi di komputer dan internet, tapi saya akan pura-pura tidak bisa. Bahkan, ketika saya akan mendaftar ke ITB pun, saya sembunyikan. Semata-mata menjaga agar dia tidak tersinggung, tidak terintimidasi, dan lari dari saya.



Apakah saya terlalu cinta?
Ah, tidak juga. Kalau dirunut lagi, saya hanya tidak suka dianggap sebagai orang yang tidak baik. Membuat orang jadi minder karena saya, itu sama artinya orang lain akan menganggap saya orang yang sombong. Dan saya tidak ingin dicap sebagai orang sombong. Saya ingin selalu dianggap sebagai orang yang rendah hati, baik, dan menerima apapun adanya orang; terutama orang yang dekat dengan saya.

Tetapi, jika ini diteruskan, hanya akan menjadi bumerang bagi saya pribadi. Saya jadi tidak akan berani mengambil keputusan apapun di masa depan, terutama keputusan yang baik bagi saya, namun berpotensi untuk membahayakan harga diri pasangan saya. Apakah ini adil? tentu saja tidak. Laki-laki dan perempuan mempunyai hak yang sama untuk maju dan mengembangkan diri, bukan?

Rasa-rasanya, sikap mindernya itu tidak akan berubah bahkan jika kami sudah masuk dalam lembaga pernikahan nantinya. Terbayang kan, jika kami benar-benar jadi menikah, saya harus menekan semua potensi saya dan terus menerus berada di bawah bayang-bayangnya. Sungguh menyiksa.

Seiring berjalannya waktu, saya belajar untuk menerima kepergiannya dan memperbaiki self esteem saya yang sudah sempat sedikit porak-poranda. Saya menggali semua potensi yang saya miliki dan tidak memikirkan lagi jenis pria yang mana akan menjadi jodoh saya kelak. Saya sibuk dengan diri sendiri, meningkatkan kualitas diri, menyelesaikan kuliah secepat dan sebaik mungkin.

Sampai akhirnya, Tuhan kirimkan pengganti yang jauh lebih baik.

Saya bertemu dengan seorang pria sederhana. Dari segi penampilan, jauh lebih sederhana daripada kekasih saya sebelumnya. Namun, di balik sifat diam dan sederhananya, tersimpan kepercayaan diri yang sangat besar. Jika ditinjau dari profil akademik, saya mungkin masih jauh lebih unggul darinya. Namun demikian, Ia tidak gentar untuk terus mendekati saya dan keluarga saya.

Saya merasa aman dengannya. Tidak pula saya merasa lebih tinggi darinya, karena saya memang bukan tipe perempuan seperti itu. Dan kemudian pun ternyata, Ia adalah jodoh yang paling tepat buat saya. Kami menikah. Dan, setelah dua belas tahun menikah, suami saya mengirim saya untuk kuliah lagi, pascasarjana. Ia membiayai pendidikan saya untuk sebuah gelar S2, padahal Ia sendiri masih S1. Namun, semua itu tidak menjadi masalah baginya. Karena orientasinya, jika saya semakin pintar, maka anak-anak kami pun akan menjadi jauh lebih pintar.

Saya rasa, begitulah seharusnya cara pria manapun menghadapi perempuan yang memiliki potensi yang besar, bukannya malah lari dan bersembunyi di balik harga diri yang rapuh.


Tulisan ini ditayangkan di website RibutRukun.Com
 107,5K View. 123,5K Share

Reuni Tanpa Syarat

Tidak ada komentar

Bisa ketemu lagi, dengan teman satu SMA, setelah pisah 20 tahun yang lalu itu rasanya luar biasa istimewa. Nano Nano.

Bayangkan coba, puluhan tahun nggak pernah kopdar. Alasannya, pertama, ketika lulus SMA saya kuliah di Bandung, yang jaraknya ratusan kilometer dari Jombang Jawa Timur. Kedua, walaupun setelah lulus kuliah saya balik lagi ke Surabaya, sekalipun saya nggak pernah sempat ikutan acara reuni. Lah, mereka ini sadis bener. Selalu bikin acara reuni di malam takbiran, malam menjelang hari raya Idul Fitri. Ya impossible banget bisa ikutan. Karena itu adalah jadwal saya 'terbang' ke rumah ibu  mertua. Yang ketiga, saya jarang sekali ke Jombang kecuali lebaran. Malah beberapa tahun ini, saya tidak ikut jadwal kesana karena sesuatu hal. Kali ini istimewa, karena ibu saya ingin kembali tinggal di tanah kelahirannya, Jombang, maka kesempatan saya datang lagi di kota Beriman ini, ada lagi. 

Dan, akhirnya hari itu tiba. Tanpa terlalu banyak rencana, saya akhirnya  ketemu dengan beberapa teman alumni satu sekolah di SMA Negeri 2 Jombang. Dulu kami tidak satu kelas. Malah ada beberapa teman, yang marah-marah, karena saya lupa sama sekali dengan dia. Entahlah, memori saya tentang nama dan wajah teman sekolah kok kayak didelesi oleh sesuatu. 

Sempat saya mengira, memori saya ilang karena sebagian otak saya kongslet. Error. Sejak mengalami shock yang cukup dalam, ketika anak kedua saya mendadak dinyatakan sebagai bayi prematur. Aih, nanti saya tulis lebih lengkap tentang hal ini ya. *aah jadi baper T_T

Tetapi, teman saya yang dokter, dan waktu itu datang menjemput saya di rumah ibu di Jombang, berkelakar. Dia mengatakan, bahwa memori yang hilang itu karena instruksi dari otakku sendiri. Katanya, saya memerintahkan otak untuk menghapus memori yang saya anggap tidak penting. Dan hanya menyimpan yang penting. Ah, entahlah, yang penting ketemu mereka dan mereka ingat saya temannya gitu aja deh, hehehe.




 Kopdar semakin menarik, karena dalam pertemuan itu rencananya saya akan Sharing tentang Blogger dan cara membuat BLOG. Antusias teman-teman tentang dunia yang saya geluti sekarang itu bikin hati makin semriwing aja. Seneng gitu. Walaupun pengenalan bloggingnya tak terlalu maksimal karena terbatas waktu, saya optimis bisa terus mengembangbiakkan virus blogging ini ke penjuru Jombang dan sekitarnya. Ayo Jombangers, semangat ndaaa...


That kind of short talk filled my heart enough. Menakjubkan sekali bisa bertemu teman lama. Bertemu nyata. Menyentuh mereka, memeluk, berbicara bertatapan muka. Tidak bisa digantikan dengan ratusan menit chatting di sosial media. Yes, blogger juga manusia euy. Butuh ketemu sesamanya saja, tidak hanya bergaul di dunia maya di depan laptopnya. 

Alhamdulillah, teman saya, menemui saya tanpa syarat apapun. 

Tak ada pertanyaan, saya kerja apa, berkarir apa. Semenakjubkan apa. Ataupun se-gagal apa.

 Kami hanya bertemu, bercerita ngalor-ngidul dan makan aneka rupa. Kalaupun ada cerita yang menyiratkan hal itu, kami sikapi dengan humor dan tertawa lebar. Mungkin, di usia segini, kami sudah bisa menerima jalur hidup masing-masing. 

Mau jadi dokter kek, pustakawan universitas atau ibu Lurah kek. Semua sama. Walaupun juga ada yang menjadi "icon" paling hits di Tembelang, bahkan bos mebel Jombang atau owner olshop tas branded dari Batam pun, semua melebur jadi satu. Bercerita sebagai IBU RUMAH TANGGA.

Tak ada syarat visual apapun juga. Ga pake setting dress code. Celana jins, kaos Coding Mum dan cardigan plus jilbab kucelku pun diterima dengan lapang dada. Walaupun hampir semuanya berbusana muslimah sejati, syar'i dan menawan hati. Saya tidak menerima tatapan sinis atau nyinyir dari ujung kepala ke ujung kaki, seperti yang sering saya terima jika ada dalam lingkungan itu. They don't judge me by my cover :)


Ah teman, semoga kelak bisa sering ke Jombang. Dan menebarkan manfaat disana. Sebagai tanda bakti saya pernah numpang hidup disana ketika SMA.