Podcast Bu Heni

Perempuan, Jangan Pilih Pasangan Minder

1 komentar



Perempuan datang atas nama cinta. Tetapi jika pria pergi karena merasa kurang percaya diri, masihkah perlu perempuan menunggunya untuk kembali? Tidak ada lagi kata yang tepat untuk menggambarkan menghilangnya pria tanpa pesan karena merasa dia tak lagi berkesan selain, #kamujahat.

"Rangga, yang sudah kamu lakukan padaku empat belas tahun yang lalu itu - JAHAT!"

Begitu kata Cinta kepada Rangga yang baru ditemuinya lagi setelah terpisah selama 14 tahun. Promosi berkaitan dengan akan diluncurkannya sekuel kedua film garapan Mira Lesmana dan Riri Riza ini begitu gencar sejak beberapa bulan lalu. Bahkan, hashtag #kamujahat sempat menjadi trending topic. Film ini berhasil membangkitkan kembali kenangan sebuah generasi dari 14 tahun silam. Terutama, untuk saya pribadi, hashtag #kamujahat ini berhasil membuat sebuah memori muncul kembali ke permukaan.



Surat tak berbalas.

Dering telepon tak dihiraukan.

Puluhan ribu rupiah hilang sia-sia, sekadar mendengar dering tunggu dari panggilan-panggilan tak terjawab ke seseorang di pulau seberang sana.

Kondisi ini tentu mengherankan bagi seorang gadis yang baru saja menjalin hubungan kembali dengan kekasihnya. Kekasih, yang tiba-tiba datang ke rumahnya dan memintanya untuk kembali, lalu tak lama setelah itu, menghilang lagi. Seperti saat ini.

Mengapa?



Sang gadis untuk beberapa lama larut dalam perenungannya, namun kemudian memutuskan untuk melanjutkan hidup. Kuliah di sebuah universitas negeri terkemuka di Indonesia. Kesibukan menjadi mahasiswi baru membuatnya lupa akan kekasihnya yang menghilang tanpa pesan. Meski kadang, saat kesendirian menyergap, mau tak mau ingatan itu pun kembali. Terlebih masih tersisa rasa penasaran: Ada apa dengan kekasihnya itu? Mengapa Ia tiba-tiba menghilang?

Tak disangka, suatu hari sebuah jawab akhirnya datang. Dalam surat, kekasihnya itu menulis,

"Lebih baik kita putus. Karena aku tidak mungkin bisa melebihi dirimu. Selamat, kamu sudah di terima di ITB."

Kalimat pendek yang menorehkan luka sangat dalam di batin gadis itu, "Oh, ternyata setelah tahu aku diterima di ITB, engkau mundur lagi?"

Pernahkan Anda mengalami hal serupa? Menjalin hubungan dengan seorang pria yang kurang percaya diri. Anda berusaha keras untuk mempertahankan hubungan. Namun, begitu saja berakhir karena alasan yang sama: Lelaki itu tidak cukup percaya diri untuk melanjutkan hubungan.

Ya, saat itu hati saya sangat terluka. Bukan karena saya jadi tidak punya kekasih lagi, tetapi lebih pada perasaan tersinggung. Alasan mengapa dia memutuskan saya seolah-olah menunjukkan bahwa saya adalah seorang wanita yang sombong. Padahal sesungguhnya, saya tidaklah seperti itu. Namun seiring berjalannya waktu, saya akhirnya menyadari, putus adalah jalan yang paling baik pada saat itu.

Waktu itu kami masih SMA, dengan perbedaan usia tiga tahun jaraknya. Sesungguhnya, masih amat panjang perjalanan studi dan karier yang akan kami berdua tempuh ke depannya. Namun, saat itu Ia malah memilih untuk mengakhiri hubungan. Ia merasa saya akan lebih superior darinya karena prestasi akademik di sekolah dan nama besar universitas yang saya masuki. Sungguh konyol!

Kini, setelah saya berpikir-pikir, bagus sekali kami putus. Apa manfaatnya mempertahankan hubungan dengan pria yang tidak percaya pada dirinya sendiri? Pria yang tidak menghargai dirinya sendiri; yang dengan begitu mudah menganggap dirinya lebih rendah daripada perempuan yang dihadapinya?

Susah loh, menjalin hubungan dengan laki-laki seperti itu. Saya kadang malah merasa menjadi demotivated atau under pressure. Saya seringkali berusaha menyembunyikan kemampuan, terutama jika saya pikir kemampuan saya tersebut akan 'melebihi' dia. Misalnya nih, saya sebenarnya sudah piawai menggunakan aplikasi di komputer dan internet, tapi saya akan pura-pura tidak bisa. Bahkan, ketika saya akan mendaftar ke ITB pun, saya sembunyikan. Semata-mata menjaga agar dia tidak tersinggung, tidak terintimidasi, dan lari dari saya.



Apakah saya terlalu cinta?
Ah, tidak juga. Kalau dirunut lagi, saya hanya tidak suka dianggap sebagai orang yang tidak baik. Membuat orang jadi minder karena saya, itu sama artinya orang lain akan menganggap saya orang yang sombong. Dan saya tidak ingin dicap sebagai orang sombong. Saya ingin selalu dianggap sebagai orang yang rendah hati, baik, dan menerima apapun adanya orang; terutama orang yang dekat dengan saya.

Tetapi, jika ini diteruskan, hanya akan menjadi bumerang bagi saya pribadi. Saya jadi tidak akan berani mengambil keputusan apapun di masa depan, terutama keputusan yang baik bagi saya, namun berpotensi untuk membahayakan harga diri pasangan saya. Apakah ini adil? tentu saja tidak. Laki-laki dan perempuan mempunyai hak yang sama untuk maju dan mengembangkan diri, bukan?

Rasa-rasanya, sikap mindernya itu tidak akan berubah bahkan jika kami sudah masuk dalam lembaga pernikahan nantinya. Terbayang kan, jika kami benar-benar jadi menikah, saya harus menekan semua potensi saya dan terus menerus berada di bawah bayang-bayangnya. Sungguh menyiksa.

Seiring berjalannya waktu, saya belajar untuk menerima kepergiannya dan memperbaiki self esteem saya yang sudah sempat sedikit porak-poranda. Saya menggali semua potensi yang saya miliki dan tidak memikirkan lagi jenis pria yang mana akan menjadi jodoh saya kelak. Saya sibuk dengan diri sendiri, meningkatkan kualitas diri, menyelesaikan kuliah secepat dan sebaik mungkin.

Sampai akhirnya, Tuhan kirimkan pengganti yang jauh lebih baik.

Saya bertemu dengan seorang pria sederhana. Dari segi penampilan, jauh lebih sederhana daripada kekasih saya sebelumnya. Namun, di balik sifat diam dan sederhananya, tersimpan kepercayaan diri yang sangat besar. Jika ditinjau dari profil akademik, saya mungkin masih jauh lebih unggul darinya. Namun demikian, Ia tidak gentar untuk terus mendekati saya dan keluarga saya.

Saya merasa aman dengannya. Tidak pula saya merasa lebih tinggi darinya, karena saya memang bukan tipe perempuan seperti itu. Dan kemudian pun ternyata, Ia adalah jodoh yang paling tepat buat saya. Kami menikah. Dan, setelah dua belas tahun menikah, suami saya mengirim saya untuk kuliah lagi, pascasarjana. Ia membiayai pendidikan saya untuk sebuah gelar S2, padahal Ia sendiri masih S1. Namun, semua itu tidak menjadi masalah baginya. Karena orientasinya, jika saya semakin pintar, maka anak-anak kami pun akan menjadi jauh lebih pintar.

Saya rasa, begitulah seharusnya cara pria manapun menghadapi perempuan yang memiliki potensi yang besar, bukannya malah lari dan bersembunyi di balik harga diri yang rapuh.


Tulisan ini ditayangkan di website RibutRukun.Com
 107,5K View. 123,5K Share

1 komentar

  1. I blog often and I really appreciate your content.
    The article has really peaked my interest. I will take a note of your blog and keep checking for
    new details about once per week. I subscribed to your Feed too.

    BalasHapus

Terima kasih telah meninggalkan jejak dan memberikan komentar.
Pasti lebih menarik jika kita terus ngobrol. Bisa ke facebook: Heni Prasetyorini dan Twitter: @HeniPR. Sampai jumpa disana 😊