“Mbak, bisa saya telepon sekarang?”
Permintaan seperti ini biasanya langsung saya jawab spontan, “Maaf saya sedang di jalan. Silakan tulis chat saja.”
Bisa jadi aneh kalau orang tahu perilaku saya ini. Ya, saya masih kurang nyaman untuk menerima telepon dari seseorang. Terlebih itu adalah orang baru. Bukan sahabat, bukan keluarga.
Mungkin saya termasuk tipe introvert, ya, Ma? Sepertinya iya. Saya lebih leluasa berkomunikasi lewat tulisan daripada lewat tatap muka langsung atau lewat suara dengan telepon.
Di lain hari, saya bisa tampil penuh percaya diri. Santai, humoris. Presentasi begitu mengalir ketika saya tampil di depan orang banyak. Bertemu teman baru juga bisa saya sapa dengan hangat.
Bahkan ketika ada kelas belajar baru, seorang mentor bertanya pada saya, “Mbak Hen, ini semua temannya, ya?”. Dia heran ketika saya akrab dengan semua orang di pertemuan pertama kelasnya itu. Saya jawab, “Nggak, semua baru aja kenal sekarang. Saya SKSD aja, Sok kenal sok dekat”. Idih, jadi ketahuan umurnya berapa tuh, pakai istilah SKSD. Hehehe.
Kalau perilakunya begini, apa iya saya termasuk ekstrovert? Hmmm.
Sepertinya iya juga sih.
Introvert juga. Ekstrovert juga. Yang bener nih saya itu kepribadiannya bagaimana? *ahhh pusing pala inces*
Saya bingung juga sih sebenarnya mengenali tipe kepribadian diri saya sendiri. Sampai saya mengenal istilah AMBIVERT.
Apa itu ambivert?
Jadi, ambivert adalah tipe kepribadian antara introvert dan ekstrovert.*usap-usap dagu*
Sekali waktu dia bisa menjadi pribadi yang terbuka, ramah dan menyala-nyala sebagai ekstrovert. Namun suatu saat, dia ingin menarik diri, sendirian, bicara dengan diri sendiri, kurang suka interaksi langsung dengan orang lain lalu kembali lagi menjadi introvert.
Ada Mama yang mengalami hal serupa? Sini, toss dulu, Ma.
Jadi, apakah orang tipe ambivert itu sama saja dengan orang yang "ambigu, orang berkepribadian ganda, bipolar disorder, atau penipu kepribadian”?
Eits, nggak seperti itu keleus. Bukan gitu maksudnya.
Orang ambivert, secara alamiah saja mengalami dua kutub kecenderungan bersikap ala introvert dan ekstrovert. Dan nggak ada masalah juga dalam kinerja di otaknya seperti orang bipolar disorder.
Saya terpaksa menjadi ambivert.
Sebenarnya sejak kecil saya ini pendiam. Kutu buku. Lebih nyaman sendirian dan sibuk sendiri di dalam kamar atau di depan meja belajar. Ketika SMA dan kuliah saya berada jauh dari keluarga. Merantau. Dari sini saya belajar sesuatu. Bahwa, jika saya tetap introvert, maka saya akan ketinggalan.
So, atas nama survival journey, saya memaksakan diri menjadi ekstrovert. Saya berusaha keras membuka diri kepada teman-teman saya. Malu tidak malu, siap tidak siap, saya sering nekat saja menyambar mikrofon teman saya yang jadi moderator, lalu tampil ke depan untuk berdebat atau memberikan pendapat. Memalukan sebenarnya, tapi saya coba tahan semua itu. Saya harus berani, itu saja niatnya.
Lama kelamaan, saya mulai terbuka. Bisa ngobrol enak dengan orang lain. Bisa jadi speaker dan narasumber di depan banyak orang. Walau masih aja grogi di awal, namun saya bisa lancar saja menjadi trainer, bahkan di depan guru-guru.
Akan tetapi saya ternyata nggak sepenuhnya berubah total menjadi terbuka seperti orang ekstrovert. Masih ada satu sisi ke-introvert-an saya yang tidak bisa saya ubah. Walau saya sudah sadar dan berusaha untuk melatih keterampilan saya itu, atas nama survival.
Misalnya saja, ketika ingin berkomunikasi dengan gurunya anak-anak saya, maka saya masih memilih mengirim text, chatting, daripada datang langsung bertatap muka. Nggak tahu kenapa, nggak nyaman saja rasanya. Padahal kalau nggak sengaja ketemu di gerbang sekolah juga, saya lancar aja tuh ngobrolnya dengan beliau. Aneh juga ya ambivert itu? Hehehe.
Ketika saya utarakan keanehan saya ini kepada teman, ada yang mengomentari bahwa sejatinya deep down di dalam batin aslinya saya ini tipikal ekstrovert. Akan tetapi terpaksa menjadi introvert karena ditekan keadaan semasa masih kecil. Waktu itu saya pikir kalimat teman ada benarnya juga. Namun ternyata, setelah saya menyelami diri sendiri semakin dalam, saya semakin yakin bahwa bukan itu penjelasannya.
Entahlah ini nggak perlu digali lebih dalam penyebabnya. Karena sudah menjadi naluriah makhluk hidup untuk terus beradaptasi dengan lingkungan barunya. Menjadi ambivert adalah salah satu cara untuk beradaptasi. Asalkan itu terjadi bukan untuk memanipulasi suatu keadaan dengan tujuan buruk.
Menjadi ambivert ternyata sangat menguntungkan bagi saya sekarang. Terutama pada profesi dan karier yang sedang saya jalankan. Yaitu menjadi blogger. Sebagai blogger, saya aman menulis di balik layar, hanya bicara dengan tulisan ketika sedang ngeblog atau berkomunikasi di sosial media. Sisi introvert saya terpenuhi.
Di lain waktu, sebagai blogger, saya tetap harus tampil di depan umum. Terkadang sebagai narasumber atau trainer. Terlebih lagi, blogger harus meluaskan networking atau bicara dengan klien. Nah di sini, sisi ekstrovert saya harus muncul dan makin terasah dengan baik. Nggak mungkin kan ya, saya bertemu dengan klien, terus ngobrolnya pakai WhatsApp atau BBM, padahal hanya saling berseberangan di meja?
Dengan menerima diri sendiri berada di dua kutub kepribadian, saya makin memahami juga karakter orang lain. Ketika bertemu dengan introvert, saya akan menarik diri dan paham untuk membiarkan mereka sendirian. Saya pernah loh, ketemu blogger muda. Orangnya diam banget. Bertemu saya dua kali, nggak pernah sepatah kata pun kalimat saya dengar darinya. Menyapa saya pun tidak. Ketika saya goda, dia hanya diam tersenyum, lalu menunduk kembali pada handphone dan laptopnya. Padahal ketika bertemu di sosial media, dia menyapa ramah sekali. Amazing kan? Nih, anak adalah contoh introvert sejati. Awalnya sempat buruk sangka juga, tetapi lama-lama saya paham bahwa memang karakternya seperti itu.
Baca juga : Perempuan introvert susah sukses? Tepis mindset itu dengan melakukan 5 tips ini!
Sebaliknya, ketika saya bertemu dengan orang ekstrovert yang sikapnya spontan, menyala-nyala dan suka sekali gubrak-gubruk ke sana kemari dengan rombongan orang banyak. Maka saya memahami bahwa dia akan merasa senang dan berenergi ketika bertemu banyak orang. Saya nggak akan berpikiran lagi, nih orang ganjen banget atau gimana, karena itulah karakternya.
Dan semua kembali lagi, dari sudut mana kita melihatnya. Bener nggak, Ma?
Selain menjadi independen blogger, saya juga yang ingin mengelola sebuah media komunikasi dan belajar bersama untuk perempuan di dunia digital kreatif. Sebenarnya saya masih maju mundur ketika akan sekedar membuat fanpage di Facebook. Karena sisi introvert saya memandang aneka jenis pertemuan dengan banyak orang itu adalah mengerikan dan bikin lemas badan. Namun saya berusaha menepisnya dengan positive thinking, karena niat saya ingin sharing kepada lebih banyak orang.
Pemahaman sebagai ambivert ini, akan memudahkan saya untuk mengelola orang dan memahami karakternya. Sekaligus saya bisa mengarahkan partner kerja saya kelak di posisi yang tepat. Orang introvert saya arahkan di bagian produksi konten digital, karena nggak perlu tatap muka dengan orang lain. Sedangkan orang ekstrovert akan saya ajak berkeliling dan tampil di event yang melibatkan banyak orang.
Menurut saya pribadi, menjadi ambivert itu seperti kabel listrik.
Analoginya begini. Jika ada baterai dengan kutub positif dan negatif. Bayangkan saja kutub negatif adalah orang ekstrovert, sedangkan kutub positif adalah orang introvert. Jika ingin sebuah lampu menyala, maka perlu kabel yang menghubungkan antara kutub positif baterai, lampu dan kutub negatif baterai. Nah, kabel itu ibaratnya orang ambivert. Dia bisa ke sana kemari, menghubungkan aliran listrik dan membuat sebuah lampu bisa menyala.
Tulisan ini pernah dibuat di laman RockingMama.id