Podcast Bu Heni

Keuntungan Menjadi Perempuan Ambivert, Walau Terpaksa

Tidak ada komentar


“Mbak, bisa saya telepon sekarang?”
Permintaan seperti ini biasanya langsung saya jawab spontan, “Maaf saya sedang di jalan. Silakan tulis chat saja.”

Bisa jadi aneh kalau orang tahu perilaku saya ini. Ya, saya masih kurang nyaman untuk menerima telepon dari seseorang. Terlebih itu adalah orang baru. Bukan sahabat, bukan keluarga.

Mungkin saya termasuk tipe introvert, ya, Ma? Sepertinya iya. Saya lebih leluasa berkomunikasi lewat tulisan daripada lewat tatap muka langsung atau lewat suara dengan telepon.

Di lain hari, saya bisa tampil penuh percaya diri. Santai, humoris. Presentasi begitu mengalir ketika saya tampil di depan orang banyak. Bertemu teman baru juga bisa saya sapa dengan hangat.

Bahkan ketika ada kelas belajar baru, seorang mentor bertanya pada saya, “Mbak Hen, ini semua temannya, ya?”. Dia heran ketika saya akrab dengan semua orang di pertemuan pertama kelasnya itu. Saya jawab, “Nggak, semua baru aja kenal sekarang. Saya SKSD aja, Sok kenal sok dekat”. Idih, jadi ketahuan umurnya berapa tuh, pakai istilah SKSD. Hehehe.

Kalau perilakunya begini, apa iya saya termasuk ekstrovert? Hmmm.

Sepertinya iya juga sih.

Introvert juga. Ekstrovert juga. Yang bener nih saya itu kepribadiannya bagaimana? *ahhh pusing pala inces*

Saya bingung juga sih sebenarnya mengenali tipe kepribadian diri saya sendiri. Sampai saya mengenal istilah AMBIVERT.

Apa itu ambivert?

Jadi, ambivert adalah tipe kepribadian antara introvert dan ekstrovert.
*usap-usap dagu*

Sekali waktu dia bisa menjadi pribadi yang terbuka, ramah dan menyala-nyala sebagai ekstrovert. Namun suatu saat, dia ingin menarik diri, sendirian, bicara dengan diri sendiri, kurang suka interaksi langsung dengan orang lain lalu kembali lagi menjadi introvert.

Ada Mama yang mengalami hal serupa? Sini, toss dulu, Ma.

Jadi, apakah orang tipe ambivert itu sama saja dengan orang yang "ambigu, orang berkepribadian ganda, bipolar disorder, atau penipu kepribadian”?

Eits, nggak seperti itu keleus. Bukan gitu maksudnya.

Orang ambivert, secara alamiah saja mengalami dua kutub kecenderungan bersikap ala introvert dan ekstrovert. Dan nggak ada masalah juga dalam kinerja di otaknya seperti orang bipolar disorder.
Saya terpaksa menjadi ambivert.

Sebenarnya sejak kecil saya ini pendiam. Kutu buku. Lebih nyaman sendirian dan sibuk sendiri di dalam kamar atau di depan meja belajar. Ketika SMA dan kuliah saya berada jauh dari keluarga. Merantau. Dari sini saya belajar sesuatu. Bahwa, jika saya tetap introvert, maka saya akan ketinggalan.

So, atas nama survival journey, saya memaksakan diri menjadi ekstrovert. Saya berusaha keras membuka diri kepada teman-teman saya. Malu tidak malu, siap tidak siap, saya sering nekat saja menyambar mikrofon teman saya yang jadi moderator, lalu tampil ke depan untuk berdebat atau memberikan pendapat. Memalukan sebenarnya, tapi saya coba tahan semua itu. Saya harus berani, itu saja niatnya.

Lama kelamaan, saya mulai terbuka. Bisa ngobrol enak dengan orang lain. Bisa jadi speaker dan narasumber di depan banyak orang. Walau masih aja grogi di awal, namun saya bisa lancar saja menjadi trainer, bahkan di depan guru-guru.

Akan tetapi saya ternyata nggak sepenuhnya berubah total menjadi terbuka seperti orang ekstrovert. Masih ada satu sisi ke-introvert-an saya yang tidak bisa saya ubah. Walau saya sudah sadar dan berusaha untuk melatih keterampilan saya itu, atas nama survival.

Misalnya saja, ketika ingin berkomunikasi dengan gurunya anak-anak saya, maka saya masih memilih mengirim text, chatting, daripada datang langsung bertatap muka. Nggak tahu kenapa, nggak nyaman saja rasanya. Padahal kalau nggak sengaja ketemu di gerbang sekolah juga, saya lancar aja tuh ngobrolnya dengan beliau. Aneh juga ya ambivert itu? Hehehe.

Ketika saya utarakan keanehan saya ini kepada teman, ada yang mengomentari bahwa sejatinya deep down di dalam batin aslinya saya ini tipikal ekstrovert. Akan tetapi terpaksa menjadi introvert karena ditekan keadaan semasa masih kecil. Waktu itu saya pikir kalimat teman ada benarnya juga. Namun ternyata, setelah saya menyelami diri sendiri semakin dalam, saya semakin yakin bahwa bukan itu penjelasannya.

Entahlah ini nggak perlu digali lebih dalam penyebabnya. Karena sudah menjadi naluriah makhluk hidup untuk terus beradaptasi dengan lingkungan barunya. Menjadi ambivert adalah salah satu cara untuk beradaptasi. Asalkan itu terjadi bukan untuk memanipulasi suatu keadaan dengan tujuan buruk.

Menjadi ambivert ternyata sangat menguntungkan bagi saya sekarang. Terutama pada profesi dan karier yang sedang saya jalankan. Yaitu menjadi blogger. Sebagai blogger, saya aman menulis di balik layar, hanya bicara dengan tulisan ketika sedang ngeblog atau berkomunikasi di sosial media. Sisi introvert saya terpenuhi.

Di lain waktu, sebagai blogger, saya tetap harus tampil di depan umum. Terkadang sebagai narasumber atau trainer. Terlebih lagi, blogger harus meluaskan networking atau bicara dengan klien. Nah di sini, sisi ekstrovert saya harus muncul dan makin terasah dengan baik. Nggak mungkin kan ya, saya bertemu dengan klien, terus ngobrolnya pakai WhatsApp atau BBM, padahal hanya saling berseberangan di meja?

Dengan menerima diri sendiri berada di dua kutub kepribadian, saya makin memahami juga karakter orang lain. Ketika bertemu dengan introvert, saya akan menarik diri dan paham untuk membiarkan mereka sendirian. Saya pernah loh, ketemu blogger muda. Orangnya diam banget. Bertemu saya dua kali, nggak pernah sepatah kata pun kalimat saya dengar darinya. Menyapa saya pun tidak. Ketika saya goda, dia hanya diam tersenyum, lalu menunduk kembali pada handphone dan laptopnya. Padahal ketika bertemu di sosial media, dia menyapa ramah sekali. Amazing kan? Nih, anak adalah contoh introvert sejati. Awalnya sempat buruk sangka juga, tetapi lama-lama saya paham bahwa memang karakternya seperti itu.



Baca juga : Perempuan introvert susah sukses? Tepis mindset itu dengan melakukan 5 tips ini!



Sebaliknya, ketika saya bertemu dengan orang ekstrovert yang sikapnya spontan, menyala-nyala dan suka sekali gubrak-gubruk ke sana kemari dengan rombongan orang banyak. Maka saya memahami bahwa dia akan merasa senang dan berenergi ketika bertemu banyak orang. Saya nggak akan berpikiran lagi, nih orang ganjen banget atau gimana, karena itulah karakternya.

Dan semua kembali lagi, dari sudut mana kita melihatnya. Bener nggak, Ma?

Selain menjadi independen blogger, saya juga yang ingin mengelola sebuah media komunikasi dan belajar bersama untuk perempuan di dunia digital kreatif. Sebenarnya saya masih maju mundur ketika akan sekedar membuat fanpage di Facebook. Karena sisi introvert saya memandang aneka jenis pertemuan dengan banyak orang itu adalah mengerikan dan bikin lemas badan. Namun saya berusaha menepisnya dengan positive thinking, karena niat saya ingin sharing kepada lebih banyak orang.

Pemahaman sebagai ambivert ini, akan memudahkan saya untuk mengelola orang dan memahami karakternya. Sekaligus saya bisa mengarahkan partner kerja saya kelak di posisi yang tepat. Orang introvert saya arahkan di bagian produksi konten digital, karena nggak perlu tatap muka dengan orang lain. Sedangkan orang ekstrovert akan saya ajak berkeliling dan tampil di event yang melibatkan banyak orang.

Menurut saya pribadi, menjadi ambivert itu seperti kabel listrik.
Analoginya begini. Jika ada baterai dengan kutub positif dan negatif. Bayangkan saja kutub negatif adalah orang ekstrovert, sedangkan kutub positif adalah orang introvert. Jika ingin sebuah lampu menyala, maka perlu kabel yang menghubungkan antara kutub positif baterai, lampu dan kutub negatif baterai. Nah, kabel itu ibaratnya orang ambivert. Dia bisa ke sana kemari, menghubungkan aliran listrik dan membuat sebuah lampu bisa menyala.

Tulisan ini pernah dibuat di laman RockingMama.id

Beib, Ayo Kita Bulan Madu Ke China

6 komentar

ssst..waspadalah, tulisan ini bisa mengantarkan anda baper luar biasa terutama jika belum ada pasangan halalnya. :)

Di saat menopang dagu, bayangan itu kembali terlintas di kepalaku. Hampir 20 tahun yang lalu, takdir mengantarkan dia sehingga bisa duduk di hadapanku. Wajahnya letih. Dia memakai sweater berwarna biru dongker tua. Ada resleting di bagian dadanya yang tertutup rapat. Apakah dia tidak berkeringat? Karena suasana kereta api saat itu begitu padat.

Aku bercengkerama asyik dengan Anita dan Rini, kedua teman kos yang sama-sama berasal dari Jawa. Sesekali mataku beradu pandang dengannya, lelaki bersweater biru itu. Tapi, tiap kali itu terjadi, dia buru-buru menunduk atau menatap lurus ke depan. Atau membetulkan posisi duduknya yang bersandar di kursi seorang penumpang.

Ini kali kedua, aku akan menempuh perjalanan panjang antara Bandung dan Surabaya dengan naik kereta api Mutiara Selatan. Pertama, aku pergi dari Surabaya bersama ibu, bapak dan pakde. Mereka mengantarkanku yang akan menempuh studi di institut teknologi yang ada di jalan Ganesha.

Sekitar beberapa bulan kemudian, aku kembali naik kereta itu. Tapi kali ini aku akan pulang ke Surabaya, bersama teman kosku, yang berasal dari Jombang dan Nganjuk. Baru saja seperempat perjalanan, aku sudah menangkap kehadirannya. Pemuda itu.

Karena perjalanan sudah mulai terasa membosankan, plus pedagang keliling sudah pada turun, aku mencari kegiatan lain pengalih kejenuhan. Entah karena dorongan apa, kok tiba-tiba aku menyapanya,

"kok duduk di bawah mas, nggak kebagian tiket ya?"

Pemuda itu mengangguk dan tersenyum. Sekali lagi ia membenahi posisi duduknya. Dan kereta pun terus melaju, seiring kami yang bertukar kata menyebutkan nama, sesaat ketika aku akan turun di stasiun Gubeng Surabaya.

"Hen, Heni," sebuah suara memanggil di belakangku.

Aku kaget sekali, tak menyangka akan bertemu lagi di stasiun Bandung, ketika aku kembali lagi sendirian setelah liburan seminggu di rumah.
Tanpa diminta, dia mengangkat dua kerdus oleh-oleh dari ibu dan membantuku sampai masuk ke angkot dan menuju tempat kos.

Seperti mimpi.
Ataukah takdir?
Pertama ketemu di gerbong kereta. Lalu berpisah begitu saja.
Kedua bertemu di ujung pintu gerbong kereta. Bertemu begitu saja.
Apakah Goblin turut andil mempertemukan aku dan dia?
Ya ampun, kisahku ketemu sama jodoh kayak drama Korea aja.

Aku tertawa jika mengingatnya.
Apalagi dia, pemuda bersweater biru yang kemudian menjadi suamiku.
Dia paling demen menceritakan momen aku menyapanya di dalam gerbong kereta itu tadi. Terutama bercerita kepada dua anak lelaki kami yang sudah beranjak remaja.

"mama yang nyapa bapak duluan loh"

Paling sebel kan?
Bisa meruntuhkan pencitraanku sebagai perempuan yang harusnya manis manja meronah. Malu malu tapi mau. Lah kok ini yang menyapa duluan. Mau ditaruh dimana mukaku?
Haduuh...nggak ada penyesalan seberat itu deh.
Ngapaiin juga aku nyapa diaaa.....
Gara-gara GOBLIIIIIN....pasti ini gara-gara kamu Blin !!!

Nggak gini juga sih kejadiannya :) - [ minjem foto dari sini ]


Aih, telat banget kali kalau menyebut penyesalan. Kami sudah menikah hampir 16 tahun. Jika ditotal dengan waktunya proses pra-nikah yang 4 tahun itu, kami udah ketemu hampir 20 tahun. Teruus aja berdua. Nggak pake putus nyambung putus nyambung kayak lagunya Raffi Ahmad di grupnya BBB.

"Kok nggak bosan sih Hen?"
Selaluuu aja. Kayak wajib aja ya, pertanyaan ini muncul di semua temanku kalau udah tau kisah cintaku dengan suamiku ini. SKIP aja deh, SKIP.
Aku ini perempuan SUPER SETIA. Biarpun gaya gerakku tomboy and kayak laki banget , kesetiaanku benar-benar tidak bisa digoyahkan.

Ups, tapi. Dia bosen nggak ya sama aku?

Waduuh, Bebeiib...bosen nggak sama aku Beib?

Biar nggak bosan, kita bulan madu aja yuk Beib. Kita ke CINA. Iya, ayo kita rancang liburan kesana tahun ini. Kita kudu jadi pergi kesana. Sebelum anak sulung kita, beneran terbang ke Cina untuk nerusin kuliah.

Dari Jombang ke Cina

Kebetulan banget, hari Minggu kemarin, aku dan suamiku berkunjung ke calon sekolahnya anakku di daerah Peterongan, Jombang, Jawa Timur. Tepatnya di SMK TELKOM DARUL ULUM JOMBANG.

Ketika ngobrol dengan Kepala Sekolahnya, beliau mengatakan bahwa di sekolahan ini akan ada projek setelah lulus yang bekerjasama dengan universitas di Cina. Yaitu program beasiswa sekolah saja, atau sekolah sambil bekerja. Anakku langsung senyum tipis dengan binar mata tertarik dengan program itu. Memang dari kecil dia ingin sekali bisa kuliah di luar negeri. Biar merantaunya melebihi bapak dan ibunya gitu.

Nah kan Beib, sebelum anak kita beneran kesana, kita aja yaa yang terbang ke Cina duluan. Kita survey dulu kondisinya disana bagaimana. Kondisi masyarakat muslimnya bagaimana. Tempat ibadahnya gimana. Anak kita bakal mudah nggak nyari makanan halal. Nyari masjid buat sholat, terutama sholat jum'at. Karena dia laki kan wajib jum'atan.


Temanku bilang nih Beib, Cheria Travel ini udah terpercaya banget dijadikan rujukan untuk memfasilitasi niat kita piknik yang MUSLIM Friendly banget. Bakal ditunjukkan rute wisata yang bagus untuk lahir batin kita. Teratur untuk urusan ibadah sehari-hari seperti sholat dan gimana menjaga kebersihan. Plus selalu diberikan link untuk mendapatkan makanan yang halal. 


Cheria Wisata Tour Travel Halal Terlengkap di Indonesia 




Kalau belum jelas, coba klik video ini deh Beib. Makin pengen kan terbang ke China? Ayo beneran kita pergi kesana. Rencana bulan madu kita ke Jogja kan belum terwujud. Ya kan? ya kan?
Kita cuma sempat mampir bentar disana. Lalu nggak bisa kesana sampai anak kita ada dua dan jadi remaja. 

Udah deh, nggak jadi ke Jogjanya. Kita ke China aja dulu. Sekalian memberikan pengalaman pertama menginjak daratan China untuk anak-anak. Biar kalau udah giliran berangkat sendiri kesana, mereka udah lebih pede dan berani. Sekalian juga maksudku nih, kalau kita ikutan Cheria Travel, bisa minta link netoworking ke mereka untuk orang-orang Indonesia yang tinggal di China. Biar anak kita, makin banyak dapat orang dewasa yang bisa jadi jujukan jika terjadi apa-apa gitu loh. 

Nggak usah kuatir Beib, aku dah nemu nih Paket Tour Wisata Halal China


Add caption
Nah, paket Tour China ini jalurnya dari Jakarta ke Beijing. Biar seru, dari Surabaya, kita naik kereta api ke Jakarta. Nah waktu di kereta api itu, kita bikin photoshoot. Reka adegan waktu kamu dan aku ketemu pertama kalinya. Plus ketemu kedua kalinya secara tak sengaja. Lalu naik kereta berdua selama LDR-an itu. Ah pasti asik Beib. Biar anak-anak yang megang kameranya. Sekalian buat mengakrabkan keluarga mini kita ini.

Gimana? setuju ya. Nanti kita bulan madu ke China aja ya. 
Oke, deal !



Lomba Menulis Artikel Cheria Wisata


Perempuan, Jangan Pilih Pasangan Minder

1 komentar



Perempuan datang atas nama cinta. Tetapi jika pria pergi karena merasa kurang percaya diri, masihkah perlu perempuan menunggunya untuk kembali? Tidak ada lagi kata yang tepat untuk menggambarkan menghilangnya pria tanpa pesan karena merasa dia tak lagi berkesan selain, #kamujahat.

"Rangga, yang sudah kamu lakukan padaku empat belas tahun yang lalu itu - JAHAT!"

Begitu kata Cinta kepada Rangga yang baru ditemuinya lagi setelah terpisah selama 14 tahun. Promosi berkaitan dengan akan diluncurkannya sekuel kedua film garapan Mira Lesmana dan Riri Riza ini begitu gencar sejak beberapa bulan lalu. Bahkan, hashtag #kamujahat sempat menjadi trending topic. Film ini berhasil membangkitkan kembali kenangan sebuah generasi dari 14 tahun silam. Terutama, untuk saya pribadi, hashtag #kamujahat ini berhasil membuat sebuah memori muncul kembali ke permukaan.



Surat tak berbalas.

Dering telepon tak dihiraukan.

Puluhan ribu rupiah hilang sia-sia, sekadar mendengar dering tunggu dari panggilan-panggilan tak terjawab ke seseorang di pulau seberang sana.

Kondisi ini tentu mengherankan bagi seorang gadis yang baru saja menjalin hubungan kembali dengan kekasihnya. Kekasih, yang tiba-tiba datang ke rumahnya dan memintanya untuk kembali, lalu tak lama setelah itu, menghilang lagi. Seperti saat ini.

Mengapa?



Sang gadis untuk beberapa lama larut dalam perenungannya, namun kemudian memutuskan untuk melanjutkan hidup. Kuliah di sebuah universitas negeri terkemuka di Indonesia. Kesibukan menjadi mahasiswi baru membuatnya lupa akan kekasihnya yang menghilang tanpa pesan. Meski kadang, saat kesendirian menyergap, mau tak mau ingatan itu pun kembali. Terlebih masih tersisa rasa penasaran: Ada apa dengan kekasihnya itu? Mengapa Ia tiba-tiba menghilang?

Tak disangka, suatu hari sebuah jawab akhirnya datang. Dalam surat, kekasihnya itu menulis,

"Lebih baik kita putus. Karena aku tidak mungkin bisa melebihi dirimu. Selamat, kamu sudah di terima di ITB."

Kalimat pendek yang menorehkan luka sangat dalam di batin gadis itu, "Oh, ternyata setelah tahu aku diterima di ITB, engkau mundur lagi?"

Pernahkan Anda mengalami hal serupa? Menjalin hubungan dengan seorang pria yang kurang percaya diri. Anda berusaha keras untuk mempertahankan hubungan. Namun, begitu saja berakhir karena alasan yang sama: Lelaki itu tidak cukup percaya diri untuk melanjutkan hubungan.

Ya, saat itu hati saya sangat terluka. Bukan karena saya jadi tidak punya kekasih lagi, tetapi lebih pada perasaan tersinggung. Alasan mengapa dia memutuskan saya seolah-olah menunjukkan bahwa saya adalah seorang wanita yang sombong. Padahal sesungguhnya, saya tidaklah seperti itu. Namun seiring berjalannya waktu, saya akhirnya menyadari, putus adalah jalan yang paling baik pada saat itu.

Waktu itu kami masih SMA, dengan perbedaan usia tiga tahun jaraknya. Sesungguhnya, masih amat panjang perjalanan studi dan karier yang akan kami berdua tempuh ke depannya. Namun, saat itu Ia malah memilih untuk mengakhiri hubungan. Ia merasa saya akan lebih superior darinya karena prestasi akademik di sekolah dan nama besar universitas yang saya masuki. Sungguh konyol!

Kini, setelah saya berpikir-pikir, bagus sekali kami putus. Apa manfaatnya mempertahankan hubungan dengan pria yang tidak percaya pada dirinya sendiri? Pria yang tidak menghargai dirinya sendiri; yang dengan begitu mudah menganggap dirinya lebih rendah daripada perempuan yang dihadapinya?

Susah loh, menjalin hubungan dengan laki-laki seperti itu. Saya kadang malah merasa menjadi demotivated atau under pressure. Saya seringkali berusaha menyembunyikan kemampuan, terutama jika saya pikir kemampuan saya tersebut akan 'melebihi' dia. Misalnya nih, saya sebenarnya sudah piawai menggunakan aplikasi di komputer dan internet, tapi saya akan pura-pura tidak bisa. Bahkan, ketika saya akan mendaftar ke ITB pun, saya sembunyikan. Semata-mata menjaga agar dia tidak tersinggung, tidak terintimidasi, dan lari dari saya.



Apakah saya terlalu cinta?
Ah, tidak juga. Kalau dirunut lagi, saya hanya tidak suka dianggap sebagai orang yang tidak baik. Membuat orang jadi minder karena saya, itu sama artinya orang lain akan menganggap saya orang yang sombong. Dan saya tidak ingin dicap sebagai orang sombong. Saya ingin selalu dianggap sebagai orang yang rendah hati, baik, dan menerima apapun adanya orang; terutama orang yang dekat dengan saya.

Tetapi, jika ini diteruskan, hanya akan menjadi bumerang bagi saya pribadi. Saya jadi tidak akan berani mengambil keputusan apapun di masa depan, terutama keputusan yang baik bagi saya, namun berpotensi untuk membahayakan harga diri pasangan saya. Apakah ini adil? tentu saja tidak. Laki-laki dan perempuan mempunyai hak yang sama untuk maju dan mengembangkan diri, bukan?

Rasa-rasanya, sikap mindernya itu tidak akan berubah bahkan jika kami sudah masuk dalam lembaga pernikahan nantinya. Terbayang kan, jika kami benar-benar jadi menikah, saya harus menekan semua potensi saya dan terus menerus berada di bawah bayang-bayangnya. Sungguh menyiksa.

Seiring berjalannya waktu, saya belajar untuk menerima kepergiannya dan memperbaiki self esteem saya yang sudah sempat sedikit porak-poranda. Saya menggali semua potensi yang saya miliki dan tidak memikirkan lagi jenis pria yang mana akan menjadi jodoh saya kelak. Saya sibuk dengan diri sendiri, meningkatkan kualitas diri, menyelesaikan kuliah secepat dan sebaik mungkin.

Sampai akhirnya, Tuhan kirimkan pengganti yang jauh lebih baik.

Saya bertemu dengan seorang pria sederhana. Dari segi penampilan, jauh lebih sederhana daripada kekasih saya sebelumnya. Namun, di balik sifat diam dan sederhananya, tersimpan kepercayaan diri yang sangat besar. Jika ditinjau dari profil akademik, saya mungkin masih jauh lebih unggul darinya. Namun demikian, Ia tidak gentar untuk terus mendekati saya dan keluarga saya.

Saya merasa aman dengannya. Tidak pula saya merasa lebih tinggi darinya, karena saya memang bukan tipe perempuan seperti itu. Dan kemudian pun ternyata, Ia adalah jodoh yang paling tepat buat saya. Kami menikah. Dan, setelah dua belas tahun menikah, suami saya mengirim saya untuk kuliah lagi, pascasarjana. Ia membiayai pendidikan saya untuk sebuah gelar S2, padahal Ia sendiri masih S1. Namun, semua itu tidak menjadi masalah baginya. Karena orientasinya, jika saya semakin pintar, maka anak-anak kami pun akan menjadi jauh lebih pintar.

Saya rasa, begitulah seharusnya cara pria manapun menghadapi perempuan yang memiliki potensi yang besar, bukannya malah lari dan bersembunyi di balik harga diri yang rapuh.


Tulisan ini ditayangkan di website RibutRukun.Com
 107,5K View. 123,5K Share

Reuni Tanpa Syarat

Tidak ada komentar

Bisa ketemu lagi, dengan teman satu SMA, setelah pisah 20 tahun yang lalu itu rasanya luar biasa istimewa. Nano Nano.

Bayangkan coba, puluhan tahun nggak pernah kopdar. Alasannya, pertama, ketika lulus SMA saya kuliah di Bandung, yang jaraknya ratusan kilometer dari Jombang Jawa Timur. Kedua, walaupun setelah lulus kuliah saya balik lagi ke Surabaya, sekalipun saya nggak pernah sempat ikutan acara reuni. Lah, mereka ini sadis bener. Selalu bikin acara reuni di malam takbiran, malam menjelang hari raya Idul Fitri. Ya impossible banget bisa ikutan. Karena itu adalah jadwal saya 'terbang' ke rumah ibu  mertua. Yang ketiga, saya jarang sekali ke Jombang kecuali lebaran. Malah beberapa tahun ini, saya tidak ikut jadwal kesana karena sesuatu hal. Kali ini istimewa, karena ibu saya ingin kembali tinggal di tanah kelahirannya, Jombang, maka kesempatan saya datang lagi di kota Beriman ini, ada lagi. 

Dan, akhirnya hari itu tiba. Tanpa terlalu banyak rencana, saya akhirnya  ketemu dengan beberapa teman alumni satu sekolah di SMA Negeri 2 Jombang. Dulu kami tidak satu kelas. Malah ada beberapa teman, yang marah-marah, karena saya lupa sama sekali dengan dia. Entahlah, memori saya tentang nama dan wajah teman sekolah kok kayak didelesi oleh sesuatu. 

Sempat saya mengira, memori saya ilang karena sebagian otak saya kongslet. Error. Sejak mengalami shock yang cukup dalam, ketika anak kedua saya mendadak dinyatakan sebagai bayi prematur. Aih, nanti saya tulis lebih lengkap tentang hal ini ya. *aah jadi baper T_T

Tetapi, teman saya yang dokter, dan waktu itu datang menjemput saya di rumah ibu di Jombang, berkelakar. Dia mengatakan, bahwa memori yang hilang itu karena instruksi dari otakku sendiri. Katanya, saya memerintahkan otak untuk menghapus memori yang saya anggap tidak penting. Dan hanya menyimpan yang penting. Ah, entahlah, yang penting ketemu mereka dan mereka ingat saya temannya gitu aja deh, hehehe.




 Kopdar semakin menarik, karena dalam pertemuan itu rencananya saya akan Sharing tentang Blogger dan cara membuat BLOG. Antusias teman-teman tentang dunia yang saya geluti sekarang itu bikin hati makin semriwing aja. Seneng gitu. Walaupun pengenalan bloggingnya tak terlalu maksimal karena terbatas waktu, saya optimis bisa terus mengembangbiakkan virus blogging ini ke penjuru Jombang dan sekitarnya. Ayo Jombangers, semangat ndaaa...


That kind of short talk filled my heart enough. Menakjubkan sekali bisa bertemu teman lama. Bertemu nyata. Menyentuh mereka, memeluk, berbicara bertatapan muka. Tidak bisa digantikan dengan ratusan menit chatting di sosial media. Yes, blogger juga manusia euy. Butuh ketemu sesamanya saja, tidak hanya bergaul di dunia maya di depan laptopnya. 

Alhamdulillah, teman saya, menemui saya tanpa syarat apapun. 

Tak ada pertanyaan, saya kerja apa, berkarir apa. Semenakjubkan apa. Ataupun se-gagal apa.

 Kami hanya bertemu, bercerita ngalor-ngidul dan makan aneka rupa. Kalaupun ada cerita yang menyiratkan hal itu, kami sikapi dengan humor dan tertawa lebar. Mungkin, di usia segini, kami sudah bisa menerima jalur hidup masing-masing. 

Mau jadi dokter kek, pustakawan universitas atau ibu Lurah kek. Semua sama. Walaupun juga ada yang menjadi "icon" paling hits di Tembelang, bahkan bos mebel Jombang atau owner olshop tas branded dari Batam pun, semua melebur jadi satu. Bercerita sebagai IBU RUMAH TANGGA.

Tak ada syarat visual apapun juga. Ga pake setting dress code. Celana jins, kaos Coding Mum dan cardigan plus jilbab kucelku pun diterima dengan lapang dada. Walaupun hampir semuanya berbusana muslimah sejati, syar'i dan menawan hati. Saya tidak menerima tatapan sinis atau nyinyir dari ujung kepala ke ujung kaki, seperti yang sering saya terima jika ada dalam lingkungan itu. They don't judge me by my cover :)


Ah teman, semoga kelak bisa sering ke Jombang. Dan menebarkan manfaat disana. Sebagai tanda bakti saya pernah numpang hidup disana ketika SMA.