Selamat pagi di 1 Januari.
Suamiku pergi nggowes dengan sepeda listrik kesayangannya.
Aku sudah mandi dan berlipstik merah ceria, lalu kembali beberes rumah dan membuat kopi.
Ngopi berdua dan membahas lagi tentang gaji anggota tim Heztek.
Selamat pagi di 1 Januari.
Suamiku pergi nggowes dengan sepeda listrik kesayangannya.
Aku sudah mandi dan berlipstik merah ceria, lalu kembali beberes rumah dan membuat kopi.
Ngopi berdua dan membahas lagi tentang gaji anggota tim Heztek.
Anak gadis yang pemalu dan kutubuku itu sedang menepuk pundak seorang ibu berusia 43 tahun. Tepukannya riang dan berulang-ulang.
"We did it. We did it. Yes.
Kita bisa. Kita berdua bisa melakukannya, Heni. Kita hebat!"
Ibu Heni itu tersenyum senang. Dan juga tersenyum menang. Kali ini dia membiarkan rasa bangga menyinari wajahnya. Dia tidak berusaha memendam dan meredupkannya lagi, karena takut saudaranya yang lain merasa iri atau kalah.
Tapi dia sungguh merasa menang. Menang melawan keinginan besar untuk menyerah, berhenti dan putus asa. Menang pada perasaan kalah dan selalu salah. Menang menjalani waktu demi waktu dengan sebaik-baiknya.
Ibu Heni menarik tangan Si Kecil Heni. Lalu meletakkan tubuh kecilnya itu di pangkuan. Rambutnya yang terkepang dua dengan ujung rambut merah dan pecah-pecah, sempat menggelitik hidungnya dan membuatnya merasa gatal dan ingin bersin.
Hattssyiii....!!!!
Si kecil Heni terlompat kaget. Bu Heni juga kaget melihat dirinya yang masih kecil itu kaget. Lalu mereka tertawa bersama. Tertawanya sungguh renyah.
------
Ini gambaranku jika bisa kembali ke masa sekitar 35 tahun lalu dan bertemu diriku yang masih kecil. Yang selalu merasa serba salah dan serba tidak diterima di dalam keluarga.
Si kecil Heni, nak, kamu tenang saja. Kita berhasil. Walau menunggu usia kita 43 tahun lamanya.
Lihatlah ini, dua foto ini, kita dan suami kita sedang meeting online dengan beberapa calon mitra kerja. Iya, kita lakukan di rumah. Di dalam kamar. Di atas meja kerjaku dan itu macbook besar kesayanganku, pasti juga menjadi kesayanganmu.
selfie pertama ketika baru sampai lokasi dan masuk ruang workshop |
sering bertanya karena kepo dan kasihan kalau peserta lain pada diem :) |
foto bersama di akhir acara, saya di 2 sebelah kanan |
pengumuman lolos jadi tenant |
saat sambutan pertama |
biar ga asik posenya, tapi ini foto berharga |
hanya sekali kumpul makan dan foto bareng, selanjutnya saya makan di ruangann dalam karena di luar panas banget |
resmi tanda tangan kontrak menjadi tenant selama 1 tahun |
Kuliah di ITB sekarang jadi impian hampir semua anak-anak dan orang tua, karena ITB termasuk kampus impian di Indonesia. Kalau saya memilih ITB, pada waktu itu, karena ingin menantang diri sendiri saja. Masuk ITS yang ada di tempat kelahiran saya, biasa aja pastinya. Gimana kalau kuliah lebih jauh? dan yang passing grade untuk masuk kuliahnya lebih sulit?
Menantang diri sendiri seperti hobi aneh, yang ternyata berguna juga sampai saat ini. *LOL
Sebelumnya, saya ingin membagi kisah perjuangan atau perjalanan saya belajar dari SMA sampai bisa diterima di ITB jalur UMPTN, di tahun 1997 waktu itu.
Disclaimer: tulisan ini murni berdasarkan pengalaman saya yang belum tahu segala trik tentang Learning How To Learn, Smart Learning dan semacamnya.
*sebenarnya mau share ini duluan di Live Youtube, tapi batal, karena SDN di belakang rumah lagi ada kegiatan akhir sekolah untuk anak kelas 6 SD, jadi rame banget :) |
Pasti bakal seru kalau saya bisa menyampaikan cerita ini lewat video, namun ada kendala tadi pagi. Maka ditunda dulu bercerita lewat suara. Saya dulukan cerita lewat blog ini ya. Semoga bisa jadi referensi untuk memotivasi anak-anaknya yang ingin belajar di jenjang lebih tinggi.
Ohya, di gambar itu ada Macbook Pro besar yang lumayan harganya. Jangan bikin jiper duluan dan menganggap cerita mbak Heni ini, MBA (Modal Bacot Aja), iya bisa ini itu karena kaya dan banyak duitnya.
Oh tidak, Alhamdulillah, saya berasal dari keluarga menengah ke bawah, cenderung miskin. Yang kalau diceritain bisa bikin kalian meneteskan air mata. Canda guys.
Silahkan simak dulu sejenak cerita ini, nanti lebih seru lewat video atau suara emang ya. Sabar dulu. Daripada mood hilang, saya tangkap di blog ini aja dulu.
Singkat cerita, keluarga saya itu mewajibkan anaknya sekolah atau kuliah negeri karena satu alasan. Yaitu murah bayarnya.
Bapak saya, sudah pensiun sejak saya SMP, sebagai Purnawirawan TNI Angkatan Laut, yang waktu pensiun baru dinaikkan sebagai SERMA (Sersan Mayor). Bapak masuk dari jalur Bintara, kalau tak salah itu sebutannya. Lulus SD saja waktu itu. Sayang tak sempat bertanya ke bapak sebelum beliau wafat. Intinya bukan tentara berjabatan tinggi, melainkan biasa-biasa saja. Uang pensiunan juga tidak besar.
Ketika bapak pensiun, dengan sedikit uang pensiun bulanan, yang menjadi tonggak nafkah keluarga adalah usahanya ibu di rumah. Berbagai hal ibu lakukan, emang sejak dulu sih, yaitu berjualan rujak, nasi, jamu, menerima pesanan tumpeng, menjahit, berjualan dan seputar itu.
Kesulitan ekonomi ini yang juga membuat saya pindah sekolah, yang sebelumnya sejak TK-SMP di Surabaya, harus ke Jombang untuk melanjutkan SMA.
Nilai saya cukup untuk bisa diterima di SMA Negeri 5 Surabaya, sekolah terfavorit di Surabaya dulu sampai sekarang. Namun saat itu, yang saya tahu, ibu ingin kembali ke kampung halaman yaitu di Jombang. Maka saya dan adik bungsu, ikut pindah ke sana. Termasuk sekolah.
Usia remaja segitu, apalagi orang Jawa ya, kami atau saya dan adik tidak diberitahu alasan kepindahan ke Jombang itu kenapa. Hanya nurut saja begitu.
Yang saya ingat, waktu mengambil Raport SMP Negeri 1 Surabaya, tempat saya sekolah untuk mengurus kepindahan di Diknas Surabaya ke Diknas Jombang, ada guru yang nyeletuk, "Kok pindah nang ndeso se Hen? kan isok ketrimo nang SMA Limo (5)?".
Saya ingat kalimat itu, tapi lupa siapa yang bicara. Dan saya tidak bereaksi atau merasakan apa-apa. Hanya nurut saja, lupa apa saya senyum atau sedih atau senang atau gimana. Hanya ingat langsung mengikuti langkah ibu untuk balik badan dan pulang naik bemo lyn W dari pinggir Jalan Pacar Surabaya.
Sampailah saya di Jombang dan diterima di SMA Negeri 2 Jombang. Yang kabarnya juga sekolah favorit negeri di sana.
Sejak SD ke SMP, SMP ke SMA, saya tak pernah risau dengan akan sekolah di mana. Mikirnya gampang. Sekali berangkat dengan naik satu kali jalur bemo, biar murah. Tidak terlalu terobsesi dengan sekolah favorit. Itulah cara berpikir kami, keluarga miskin ini. Sederhana.
Dan saya, sejak kecil memang suka sekali belajar. Maka asal bisa belajar, dan pasti suka belajar, sekolah di mana saja, ga masalah. Kalau harus negeri, emang benar, sekali lagi karena biar ibu bapak bisa bayar biaya yang murah untuk sekolah anaknya. Kami keluarga besar, saya anak ke-8. Terbayang besarnya tugas ibu bapak ya, semua sekolah dan hampir semua juga kuliah di kampus negeri. Dengan gaji tentara, sudah pensiun pula, ditambah kerja serabutan seorang ibu rumah tangga.
Saya sekolah di Jombang, terhitung sebagai sekolah "ndeso" atau desa. Jauh banget dari perkembangan di Surabaya. Belum ada bimbel seperti Primagama dll pada waktu itu, sekitar tahun 1996. Maka ketika naik kelas 3 SMA, saya ikutan teman-teman juga sepertinya, saya putuskan ikut Bimbel Luar kota di Surabaya.
Saya mendaftar di Phi Beta, bimbelnya ada di Jalan Bali Surabaya. Ikut bimbel luar kota itu maksudnya, belajarnya hanya hari Minggu, mulai jam 8 pagi sampai 1 siang. Terhitung 5 jam untuk 5 materi belajar persiapan EBTANAS dan UMPTN. Yaitu Kimia, Matematika, Fisika, Bahasa Indonesia dan Bahasa Inggris.
Jadi selama 1 tahun, di kelas 3 SMA, setiap hari Sabtu itu saya pulang sekolah jam 12 siang. Pulang di rumah tante (adiknya ibu), makan siang sebentar, mandi, menyiapkan buku untuk bimbel dan baju ganti. Lalu naik bemo menuju terminal bis kota, di depan rumah tante. Perjalanan naik bis kota dari Jombang ke Surabaya, ganti beberapa kali, lalu naik bemo lagi sampai ke rumah ibu di Surabaya, itu rata-rata dari siang sampai jam 7 malam. Karena harus nunggu bemo/bis penuh, istilahnya nge-tem dulu. Ganti bis. Nge-tem lagi. Ganti bemo. Nge-tem lagi. Begitu terus. Apalagi hari Sabtu adalah hari macet jalur luar kota. Hari orang yang kerja di Surabaya akan pulang ke desa/daerahnya karena libur kerja. Ditambah hari liburan atau piknik atau malam mingguan orang yang tinggal di Surabaya. Macet pokoknya.
Sampai di rumah ibu di Surabaya, sekitar jam 7 malam, saya akan mandi, makan, naik ke kamar kakak dan adik perempuan, lalu belajar karena di bimbel selalu ada pre-test sebelum kelas dimulai.
Esoknya, hari Minggu, saya akan diantar kakak ke Jalan Bali, tempat bimbel. Lalu ditinggal. Saya belajar di sana selama 5 jam. Untuk makan siang, kadang bawa bekal dari ibu. Kadang membeli tahu isi aja yang gede dan bikin kenyang di kantin bimbel.
Bimbel selesai sekitar jam 2 siang, saya akan berjalan di pinggir jalan untuk mencegat bis DAMRI menuju ke terminal Bungurasih untuk naik bis luar kota ke Jombang.
Sampai di Jombang, rumah tante, sekitar jam 7 atau 8 malam. Saya akan mandi, makan malam, dan sekali lagi belajar sebelum tidur. Mengulang lagi pelajaran di bimbel. Mengatur buku dengan baik. Dan juga kroscek dengan tugas dan materi pelajaran untuk sekolah besok Senin.
Ini berputar terus rutin, selama satu tahun utuh tanpa jeda karena saya lelah atau bosan.
Dan anehnya, nggak ada lelah dan bosan. Dan tidak juga saya berhenti karena sakit.
Kalau sakit flu, panas, batuk, itu saja akan saya abaikan.
Pulang ke Surabaya setiap hari Sabtu juga untuk melipur rindu. Bisa makan masakan ibu. Ketika seminggu makan di rumah tante.
Kenapa kok tiba-tiba di rumah tante, mbak Hen?
Karena ketika saya kelas 3 SMA, ibu memutuskan kembali tinggal di Surabaya. Adik saya sudah lulus SMP jadi bisa ikut ibu ke sana. Giliran saya yang tinggal setahun lagi SMA di Jombang, jadinya terpaksa ditinggal.
Sekali lagi, saya tidak pernah risau dengan kondisi begini. Karena fokus saya hanya di belajar dan lulus EBTANAS bagus, siap dan lolos UMPTN lalu bisa diterima kuliah di kampus negeri. Itu saja. Lainnya boleh terjadi apa saja saya terima dan jalani saja.
Wah capek juga nih, ngos-ngosan nulisnya. Lanjut nanti ya. Sekalian udah bisa live streaming. Nanti saya sertakan videonya di bawah ini.
Tarik nafas dulu juga kalian... :)
Makin berumur makin kusadari, tidak apa-apa jika kamu memilih hal yang berbeda dengan yang diyakini oleh banyak orang, dan kamu sendirian. Setidaknya kamu bisa tersenyum ceria dan bisa secerah bunga kuning ini.
Tadi pagi, ingin melepaskan beban hati dengan menulis banyak tweet, yang tiba-tiba menjadi sebuah utas di twitter.
Buah dari deep thinking yang kulakukan sejak kemarin.
Buah lagi dari pertanyaan, "Emang apa sih yang aku cari di hidup ini?", kemarinnya kemarin.
Kejadian HP jatuh lalu earphone iphone original milikku rusak, putus. Sementara paparan Dipta, muridku yang kutunjuk sebagai Tutor Sebaya di kelas Bootcamp coding, tidak kusimak dan kudengarkan sama sekali.
Kulihat viewer dari acara IG Live itu hanya 27 orang dari ratusan ribu follower pihak yang mengajakku talkshow secara streaming itu.
Pertanyaan berulang, sama, membosankan, dan jawabanku yang juga berulang, sama dan membosankan itu seperti menyekat liang tenggorokanku. Enggan sekali rasanya berbicara itu-itu saja.
Panik ketika earphone itu rusak, setelah 2 tahun lebih aman-aman saja di tanganku. Ini cukup membuatku shock. Kaget. Dan setiap kejadian seperti ini, aku selalu yakin, Allah SWT sedang menegurku.
Sepele banget earphone seharga 120ribuan aja bikin shock.
Ya kalau dilihat untung rugi. Percakapan live itu gratisan, tidak dibayar. Karena terburu-buru mengiyakan, aku pun lupa sudah ada jadwal mengajar kelas coding, walaupun ada Tutor Sebaya, namun aku biasanya hadir untuk menyimak dan memberi semangat. Atau mengingatkan tutor jangan bicara terlalu cepat.
Aku pun tak bisa menyiarkan streaming ke facebook group tertutup, karena suaraku ketika live akan terdengar.
Aku pun terpaksa berbohong kepada murid-muridku itu, kalau sedang ada tugas briefing dengan pihak penting. Padahal itu sudah selesai barusan.
Hatiku tak terbiasa dengan hal-hal manipulatif seperti ini. Jadi kejadian HP jatuh dan earphone patah membuatku terpana.
Tuhan, aku salah. Aku bersalah. Mohon maafkan aku. Aku segera akan memperbaikinya.
Saat itu juga aku ingat kembali dengan cerita dari Dee Lestari, saat launching novel barunya berjudul Inteligensia Embun Pagi.
Yang kuingat adalah ucapannya bahwa ketika novelnya resmi diumumkan telah terbit, dia sudah menyiapkan template email penolakan menjadi narasumber di berbagai talkshow dan seminar. Juga menolak menjadi instruktur pelatihan menulis.
Saat itu kupikir, kenapa ya, kan bisa promosi. Kan bisa dapat duit lain lagi. Lumayan kan. Saat itu yang kuasumsikan adalah, ya iyalah Dee udah banyak duitnya, menolak ajakan ini itu ya wajar, itu recehan aja.
Waktu berlalu, semakin kurasakan bahwa Dee bersikap begitu pasti ada alasan lainnya. Dan itu sedikit banyak kualami sendiri.
Aku sedang ada di titik, lelah sekali menjadi narasumber untuk topik yang sama. Pertanyaan berulang. Dan aku harus menjawab lagi hal yang sama. Sudah mentok banget. Walau aku tak tega mengatakan, sudah muak. Tidak berani. Mungkin kelak aku butuh promosi lagi, aku belum sehebat dan sekaya Dee, bukan?
Jalan tengahnya sepertinya, aku harus mengatur jadwalku dengan baik. Aku masih butuh dipromosikan sukarela oleh mereka yang mengundangku tanpa bayaran. Atau aku lebih baik me-monetize sekalian urusan ini, sehingga bisa resmi jadi bentuk pekerjaan.
Hal ini terus bergantian muncul di benakku dan kepalaku. Menimbang ini itu. Untung rugi. Duit dan bukan duit.
Sampai akhirnya bertanya dengan kalimat terdalam yang suka dikatakan oleh almarhum bapak padaku dan anak-anak lainnya.
"Karepmu opo? Opo sing mbok goleki?"
Yang artinya, "Keinginanmu apa? Apa yang sebenarnya kau cari (dalam hidup) ini?"
Semakin lama, semakin terngiang suara bapak di telingaku dan mata batinku.
Setelah sholat, aku pun bisa meluangkan waktu lebih lama untuk duduk, memikirkan jawaban atas pertanyaan itu.
"Untuk apa semua ini?"
"Yang sudah kudapatkan ini, apakah belum cukup?"
"Apa benar undangan itu karena mereka membutuhkanmu, atau sekadar konten memenuhi rencana program bisnis mereka? komunitas mereka? keuntungan mereka?"
Tentu saja, aku sangat ahli menciptakan aneka jenis pertanyaan seperti ini.
Dan aku yakin, muara jawabannya akan kupilih di bagian mana aku bisa lebih dekat dengan Sang Ilahi.
Di masa pandemi ini, di mana berita orang meninggal seperti lalu lalang biasa saja berita harga cabe hari ini. Di mana tiba-tiba istri kehilangan suami, anak kehilangan bapak.
Tentu saja, aku harus pakai akal sehat juga untuk tetap bisa membangun pertahanan diri ke depan. Jalan karir sudah kurintis dengan susah payah. Dan itu juga jadi jalan rejeki dan nafkah untuk keluarga.
Walau keimanan atas Qadha dan Qadar harus kuyakini sepenuh hati, aku pun yakin bersiap menjadi istri dan ibu yang mandiri finansial, juga kebaikan yang bisa kupersembahkan kepada Tuhanku nanti.
Selama masih diparingi hidup, badan sehat, pikiran sehat, aku harus bertahan untuk tetap waras dan bekerja dengan baik. Minimal tidak menyisakan kesusahan pada anak-anakku nanti.
Gusti Allah SWT Mugi paringi ridho barokah. Amiin.
Credit gambar dari https://unsplash.com/photos/5yDDiMcbnHM