Podcast Bu Heni

Refleksi Hidup: Semestinya Bisa Secerah Bunga Ini

1 komentar

 Makin berumur makin kusadari, tidak apa-apa jika kamu memilih hal yang berbeda dengan yang diyakini oleh banyak orang, dan kamu sendirian. Setidaknya kamu bisa tersenyum ceria dan bisa secerah bunga kuning ini.

Tadi pagi, ingin melepaskan beban hati dengan menulis banyak tweet, yang tiba-tiba menjadi sebuah utas di twitter. 

Buah dari deep thinking yang kulakukan sejak kemarin. 

Buah lagi dari pertanyaan, "Emang apa sih yang aku cari di hidup ini?", kemarinnya kemarin. 

Kejadian HP jatuh lalu earphone iphone original milikku rusak, putus. Sementara paparan Dipta, muridku yang kutunjuk sebagai Tutor Sebaya di kelas Bootcamp coding, tidak kusimak dan kudengarkan sama sekali. 

Kulihat viewer dari acara IG Live itu hanya 27 orang dari ratusan ribu follower pihak yang mengajakku talkshow secara streaming itu. 

Pertanyaan berulang, sama, membosankan, dan jawabanku yang juga berulang, sama dan membosankan itu seperti menyekat liang tenggorokanku. Enggan sekali rasanya berbicara itu-itu saja. 

Panik ketika earphone itu rusak, setelah 2 tahun lebih aman-aman saja di tanganku. Ini cukup membuatku shock. Kaget. Dan setiap kejadian seperti ini, aku selalu yakin, Allah SWT sedang menegurku. 

Sepele banget earphone seharga 120ribuan aja bikin shock. 

Ya kalau dilihat untung rugi. Percakapan live itu gratisan, tidak dibayar. Karena terburu-buru mengiyakan, aku pun lupa sudah ada jadwal mengajar kelas coding, walaupun ada Tutor Sebaya, namun aku biasanya hadir untuk menyimak dan memberi semangat. Atau mengingatkan tutor jangan bicara terlalu cepat. 

Aku pun tak bisa menyiarkan streaming ke facebook group tertutup, karena suaraku ketika live akan terdengar. 

Aku pun terpaksa berbohong kepada murid-muridku itu, kalau sedang ada tugas briefing dengan pihak penting. Padahal itu sudah selesai barusan. 

Hatiku tak terbiasa dengan hal-hal manipulatif seperti ini. Jadi kejadian HP jatuh dan earphone patah membuatku terpana.

Tuhan, aku salah. Aku bersalah. Mohon maafkan aku. Aku segera akan memperbaikinya. 

Saat itu juga aku ingat kembali dengan cerita dari Dee Lestari, saat launching novel barunya berjudul Inteligensia Embun Pagi. 

Yang kuingat adalah ucapannya bahwa ketika novelnya resmi diumumkan telah terbit, dia sudah menyiapkan template email penolakan menjadi narasumber di berbagai talkshow dan seminar. Juga menolak menjadi instruktur pelatihan menulis. 

Saat itu kupikir, kenapa ya, kan bisa promosi. Kan bisa dapat duit lain lagi. Lumayan kan. Saat itu yang kuasumsikan adalah, ya iyalah Dee udah banyak duitnya, menolak ajakan ini itu ya wajar, itu recehan aja. 

Waktu berlalu, semakin kurasakan bahwa Dee bersikap begitu pasti ada alasan lainnya. Dan itu sedikit banyak kualami sendiri. 


Aku sedang ada di titik, lelah sekali menjadi narasumber untuk topik yang sama. Pertanyaan berulang. Dan aku harus menjawab lagi hal yang sama. Sudah mentok banget. Walau aku tak tega mengatakan, sudah muak. Tidak berani. Mungkin kelak aku butuh promosi lagi, aku belum sehebat dan sekaya Dee, bukan?

Jalan tengahnya sepertinya, aku harus mengatur jadwalku dengan baik. Aku masih butuh dipromosikan sukarela oleh mereka yang mengundangku tanpa bayaran. Atau aku lebih baik me-monetize sekalian urusan ini, sehingga bisa resmi jadi bentuk pekerjaan. 

Hal ini terus bergantian muncul di benakku dan kepalaku. Menimbang ini itu. Untung rugi. Duit dan bukan duit. 

Sampai akhirnya bertanya dengan kalimat terdalam yang suka dikatakan oleh almarhum bapak padaku dan anak-anak lainnya. 

"Karepmu opo? Opo sing mbok goleki?"

Yang artinya, "Keinginanmu apa? Apa yang sebenarnya kau cari (dalam hidup) ini?"

 

Semakin lama, semakin terngiang suara bapak di telingaku dan mata batinku. 

Setelah sholat, aku pun bisa meluangkan waktu lebih lama untuk duduk, memikirkan jawaban atas pertanyaan itu. 

"Untuk apa semua ini?"

"Yang sudah kudapatkan ini, apakah belum cukup?"

"Apa benar undangan itu karena mereka membutuhkanmu, atau sekadar konten memenuhi rencana program bisnis mereka? komunitas mereka? keuntungan mereka?"

 

Tentu saja, aku sangat ahli menciptakan aneka jenis pertanyaan seperti ini. 

Dan aku yakin, muara jawabannya akan kupilih di bagian mana aku bisa lebih dekat dengan Sang Ilahi. 

Di masa pandemi ini, di mana berita orang meninggal seperti lalu lalang biasa saja berita harga cabe hari ini. Di mana tiba-tiba istri kehilangan suami, anak kehilangan bapak. 

Tentu saja, aku harus pakai akal sehat juga untuk tetap bisa membangun pertahanan diri ke depan. Jalan karir sudah kurintis dengan susah payah. Dan itu juga jadi jalan rejeki dan nafkah untuk keluarga. 

Walau keimanan atas Qadha dan Qadar harus kuyakini sepenuh hati, aku pun yakin bersiap menjadi istri dan ibu yang mandiri finansial, juga kebaikan yang bisa kupersembahkan kepada Tuhanku nanti. 

Selama masih diparingi hidup, badan sehat, pikiran sehat, aku harus bertahan untuk tetap waras dan bekerja dengan baik. Minimal tidak menyisakan kesusahan pada anak-anakku nanti. 

Gusti Allah SWT Mugi paringi ridho barokah. Amiin. 

Credit gambar dari https://unsplash.com/photos/5yDDiMcbnHM

1 komentar

Terima kasih telah meninggalkan jejak dan memberikan komentar.
Pasti lebih menarik jika kita terus ngobrol. Bisa ke facebook: Heni Prasetyorini dan Twitter: @HeniPR. Sampai jumpa disana 😊