Anak gadis yang pemalu dan kutubuku itu sedang menepuk pundak seorang ibu berusia 43 tahun. Tepukannya riang dan berulang-ulang.
"We did it. We did it. Yes.
Kita bisa. Kita berdua bisa melakukannya, Heni. Kita hebat!"
Ibu Heni itu tersenyum senang. Dan juga tersenyum menang. Kali ini dia membiarkan rasa bangga menyinari wajahnya. Dia tidak berusaha memendam dan meredupkannya lagi, karena takut saudaranya yang lain merasa iri atau kalah.
Tapi dia sungguh merasa menang. Menang melawan keinginan besar untuk menyerah, berhenti dan putus asa. Menang pada perasaan kalah dan selalu salah. Menang menjalani waktu demi waktu dengan sebaik-baiknya.
Ibu Heni menarik tangan Si Kecil Heni. Lalu meletakkan tubuh kecilnya itu di pangkuan. Rambutnya yang terkepang dua dengan ujung rambut merah dan pecah-pecah, sempat menggelitik hidungnya dan membuatnya merasa gatal dan ingin bersin.
Hattssyiii....!!!!
Si kecil Heni terlompat kaget. Bu Heni juga kaget melihat dirinya yang masih kecil itu kaget. Lalu mereka tertawa bersama. Tertawanya sungguh renyah.
------
Ini gambaranku jika bisa kembali ke masa sekitar 35 tahun lalu dan bertemu diriku yang masih kecil. Yang selalu merasa serba salah dan serba tidak diterima di dalam keluarga.
Si kecil Heni, nak, kamu tenang saja. Kita berhasil. Walau menunggu usia kita 43 tahun lamanya.
Lihatlah ini, dua foto ini, kita dan suami kita sedang meeting online dengan beberapa calon mitra kerja. Iya, kita lakukan di rumah. Di dalam kamar. Di atas meja kerjaku dan itu macbook besar kesayanganku, pasti juga menjadi kesayanganmu.