Podcast Bu Heni

AKHIR BULAN

Tidak ada komentar
Akhir bulan. Tinggal dua hari lagi suamiku gajian. Feni menghela nafas panjang. Selembar surat pemberitahuan dari sekolah anaknya digenggaman.
Besok memperingati Hari Kartini 21 April 2008, anak-anak memakai pakaian nasional untuk karnaval di sekolah. Masuk pukul 07.00 WIB.
Dalam dompet tinggal dua lembar lima ribuan. Dua kali belanja harian biasanya dua puluh ribu. Atau mepet ya pas sepuluh ribu. Tiap lima ribu mungkin bisa dapat tempe sepotong, sayur sop seplastik, cabe seribu, krupuk sebungkus dan jagung tiga biji. Per item tadi harganya seribu. Tidak bisa beli udang seons pun, ikan mujair paling sedikit empat ribu, apalagi ayam dan daging. Lima ribu saja Cuma dapat berapa potong daging. Feni sekali lagi menarik nafas berat. Jika besok harus karnaval, sewa baju minimal lima belas ribu. Mana cukup.
Feni memandang wajah anaknya yang sedang menonton televise sambil makan siang. Sepiring nasi putih ditambah beberapa sendok sayur asem dan sepotong tempe goring dimakannya dengan lahap. Sesekali anaknya tertawa melihat tokoh kartun di hadapannya meloncat dan terjun bebas, badannya hancur seperti puzzle lalu bisa terbentuk lagi seperti semula.
Kalau dipaksa sewa kostum tetap saja kurang lima ribu. Apa aku harus minjam baju ke mantan kepala sekolah playgroupnya dulu ya, tapi apa boleh bayarnya dua hari lagi. Feni bertanya-tanya dalam hati. “Ma…habis. Aku pinter kan,” tiba-tiba anaknya berdiri di depannya sambil mengacungkan piring kosong dengan sedikit butir-butir nasi tersisa. Feni mengangguk dan tersenyum menyaksikan buah hatinya melangkah ke dapur dan meletakkan piring kotor itu di bak cuci piring tanpa dia pinta. Feni mengacungkan jempolnya ketika anaknya kembali. “Hebat…!”pujinya. “Mas Aldo, besok ada apa ayo kok bu Guru nulis surat ke mama,” Tanya Feni untuk memancing kepekaan anaknya menerima informasi dari Gurunya. “Mmm….itu pakai baju..karnaval..jam tujuh, ah sini ma biar kubaca.” Dia menarik kertas kecil di tangan Femi. Dan membacanya persis dengan tepat. Feni bertanya lagi, “kalau besok nggak ikut bagaimana mas ?”. “Pakai baju tank saja ma. Kan belum pernah dipakai,” jawab anaknya polos. “Baju tank kan baju biasa. Ini harus baju nasional, seperti waktu karnaval kemarin lho mas.” Ingin Feni melanjutkan “ …mama nggakk punya uang untuk pinjem baju.” Seperti yang biasa dia katakana terus terang pada anaknya tiap kali tidak bisa memenuhi keinginannya. Tapi Feni mengurungkan niat. Dia memutar otak lagi. Pinjem tetangga ? terlintas sedikit dalam pikirannya. Lima belas ribu saja masa tidak mau. Toh mereka tahu aku jujur dalam mengelola uang arisan dan PKK di kelurahan. Tapi, apa mereka tidak mentertawakan suamiku. Wong bisa mendaftarkan anaknya ke sekolah SD Islam favorit yang uang pangkalnya saja hamper tiga juta kok minjem lima belas ribu buat karnaval. Nekad minjem bisa coreng moreng wajah suamiku. Feni didera dilemma. Sebelum keputusan dapat diambil dia sudah tidak bisa berpikir realistis lagi. Pokoknya jika masih belum ada jalan, lebih baik besok tidak masuk. Toh masih TK B ini. Apa ruginya bolos. Apalagi anakku sudah diterima di SD Islam favorit di daerah ini. Nggak rugi. Bertekad mengesampingkan perasaan anaknya besok, Feni menutup kasus itu di hatinya. “Ammma..!!!” anak keduanya bangun dan berteriak keras memanggilnya. Feni bangkit dan menyibukkan diri mengurus Aji yang badannya basah karena ompol.
“Aldo…!!! Aku punya mainan nih. Kamu beli nggak ,” suara Salma muncul di depan pintu pagar. Aldo meloncat menghampiri anak kecil yang tinggal di sebelah rumah. Keluar rumah lalu kembali lagi. “Ma beliin mainan itu ya. Harganya dua ribu kata pak-nya,” Aldo berdiri di depan pintu dengan kaki telanjang. “Kok nggak pakai sandal sih mas. Kemarin sudah baca buku sama mama gitu kalau telurnya cacing bisa masuk lewat kaki,” Feni mencoba mengalihkan pembicaraan. Aldo segera mengenakan sandal jepitnya. “Ma beliin ..!” suaranya sedikit keras. “Waduh mas, tadi pas belanja minta beliin bola plastic harganya tiga ribu lima ratus. Itu mama sudah maksa. Sekarang beli mainan lagi ya nggak bisa. Kalau mau tunggu tanggal dua lima, bapak dapat uang,” jelas Feni. Feni biasa berkata apa adanya kepada anaknya. Masalah keuangan juga dia latih anaknya pandai berhitung dan memahami makna dan nilai uang. Serta bisa menahan diri dan berhemat. Dengan gaji yang pas sekali karena harus membayar angsuran rumah dan ini itu Feni nekad menyekolahkan anaknya di sekolah swasta. Yang notabene lebih mahal daripada sekolah negeri. Tapi dia sudah memperikrakan resikonya. Salah satunya adalah sekeluarga harus berhemat. Makan hanya yang pokok saja asal memenuhi empat sehat lima sempurna. Bangsanya snack, bakso, rekreasi dan lain-lain harus melalui perhitungan anggaran yang tepat dan ketat. Feni tidak mau uang gaji suaminya meleset karena memenuhi nafsu perut. Dia mendidik anaknya juga begitu. Hemat. Tidak sedikit-sedikit minta jajan dan mainan. Karena sejak kecil sudah dibiasakan dengan percakapan model begitu, tanpa kesukaran berarti anaknya menurut. Lalu kembali ke temannya bermain berama. Malah dia berinisiatif membuat mainan sendiri meniru acara si Bolang di televise. Dia memetik daun pohon jarak, mematahkan batangnya dan meniup getahnya sehingga terbanglah gelembung-gelembung kecil seperti gelembung sabun. Feni meunjukkan sapu lidi yang bisa dia gunakan untuk menyambung dedaunan itu menjadi wayang-wayangan atau pistol-pistolan.
Esok harinya Feni didera panic. Masalah karnaval belum diputuskan. Semalam dia ingin mengatakan hal ini pada suaminya, tapi dia tidak tega. Suaminya sudah tertidur pulas jam tujuh malam. Adegan mempersiapkan Aldo sekolah menjadi menegangkan. Di pikirannya masih muncul berbagai macam pilihan. Tetapi Feni berusaha keras tidak membuat pilihan yang bisa membuat orang lain berprasangka buruk kepada keluarganya. Dengan hati masih gamang, distarternya sepeda motor Star bututnya. Suaranya yang keras memecah kesunyian perumahan yang penghuninya lebih suka berdiam di dalam rumah. Sesampai di sekolah diturunkannya Aldo di depan pagar sekolah. Setelah anaknya mencium tangannya seperti biasa dia harus putar balik dengan cepat. Harus secepat mngkin karena dia meninggalkan anak keduanya yang sedang tidur sendirian di rumah. Hanya dititipkan pada tetangga. Belum sempat dia injak gigi satu, suara pak Frans – penjaga sekolah memanggilnya. “Mbak Feni, nggak pinjem baju karnaval.” Feni menoleh cepat, “Dimana pak ?”. “Itu di dalam, ibu-ibu sudah pada milih.” Pak Frans menunjuk beberapa ibu yang sibuk mengepaskan kostum ke tubuh anaknya. “Tapi aku nggak bawa uang,” dalihku. “Ah, semua juga belum langsung bayar. Lusa juga nggak papa kok.” Mendengar jawaban pak Frans, Feni langsung mematikan mesin motornya. Dan meloncat masuk ke dalam kantor guru. disana tanpa banyak basa-basi dia mengambil sebungkus kostum lelaki Aceh yang dipilih anaknya. Dan setelah berpamitan pada guru dan kepala sekolah yang ada di situ dia kembali melesat ke rumahnya. Melesat seperti angin lembut. Hatinya ringan melayang. Beban pikirannya seketika lenyap. Dia tidak perlu malu karena belum bisa bayar uang pinjam kostum langsung. Karena di sekolah bisa menunggu sampai Sabtu. Sedangkan Jum’at saja uang gaji suaminya sudah bisa diambil. Dan anaknya tidak akan kecewa. Aldo bisa berkumpul bersama temannya dan bergembira merayakan hari Kartini. Alhamdulillah. Benar kiranya, sungguh pertolongan ALLAH itu ada di jalan yang tidak disangka-sangka. Sekecil apapun itu. Feni tersenyum , hatinya sungguh lega hari ini.

OEEKK!!!!

Tidak ada komentar
Oeekkk…suara manusia kecil yang baru terpisah dari pelukan hangat rahim ibunya terdengar di malam itu. Pukul 22.15 tepat.

“Pak San. Laki-laki.” 

Suster pembantu bidan di rumah sakit Sayang Ibu mengantarkan seorang bayi yang terbungkus selimut putih keluar ruang bersalin. Untuk menunjukkan bayi berkulit putih kemerahan itu pada keluarga yang setia menunggunya lahir sejak maghrib tadi.

“Alhamdulillah..alhamdulillah. San, San, anakmu wis lahir. Duh Gusti, alhamdulillah.” Ibuku berlari menuju pintu ruang bersalin yang terang benderang itu. Aku segera berdiri tanpa sempat membereskan sajadah yang sejak maghrib tadi menemaniku berdzikir tiada henti. Aku meloncat dan berpekik lirih, “Subhanallah, alhamdulillah anakku selamat.”

Aku dan ibu berdiri merapat di depan boks bayi yang masih dipegang oleh Suster Asisten. “Ini bu, silahkan dilihat dulu. Anda bapaknya ? kalau mau diadzani silahkan.” Tanganku gemetar tidak karuan ketika ibu meletakkan bayi itu di gendonganku. Aku menatap ibu. Beliau tersenyum sangat manis. Semanis bait-bait do’anya yang turut diberikannya tadi ketika menunggu istriku melahirkan. 

“Masih ada wudhu kan ? langsung kamu adzani di telinga kanan dan iqomah di telinga kirinya. Yang khusyu’,”kata ibu. Aku mengangguk dan mundur tiga langkah menjauh. Kudekatkan bibirku pada telinga anakku. Sedikit terpejam kulantunkan adzan dan iqomah bergantian. Perasaanku terguncang tidak karuan. Berdebar-debar. Senang. Haru yang begitu sangat. Sebenarnya lenganku sangat gemetar. Tapi kutahan. Aku harus bisa menyelesaikan tugas pertamaku sebagai bapak.
Alhamdulillah, gumamku dalam hati. 

Kuserahkan lagi bayiku kepada ibuku. “ibu, ucapkan shalawat juga ya ke adek. Biar kenal suara neneknya,”pintaku pada beliau. Ibu mengangguk dengan tersenyum sangat lebar. Permintaanku membuatnya sangat berarti agaknya . “Sudah bu, pak ? bayinya saya antarkan dulu ke ruang bayi ya. 
Oh ya untuk malam ini istri bapak tidak usah ditunggu dulu. Semua sudah jadi tugas suster ruangan. Ibu dan bapak istirahat di rumah saja. Besok pagi baru kesini, jangan lupa bawa perlengkapan ibu dan bayi lebih banyak.” Permintaan suster menghentikan belaian lembutku pada pipi montok bayiku.
“Ari-arinya, Sus..?”tanya ibu tiba-tiba. “Oh iya sudah dimasukkan ke kendil tanah liat yang ibu siapkan tadi. Nanti dibersihkan lagi di rumah. Silahkan diambil di ruangan itu bu,” suster menunjuk ke ruangan kecil bercat putih bersih di belakang kami. Tak lama kemudian aku dan ibu sudah dalam perjalanan pulang. Dinginnya angin malam yang begitu menusuk kulitku yang tidak ditutupi jaket itu tak terasa lagi. Kebahagiaan dan kebanggaanku sebagai lelaki menghangatkanku lebih dari sekedar jaket kulit.

“Assalamualaikum sayang.” 

Dua belahan jiwaku sedang asyik duduk di atas tempat tidur berukuran kecil. Sapaan lembutku membuat belahan jiwaku yang cantik menoleh. “Waalaikum salam. Eh, itu bapak datang dik.” Perlahan Sastri menepuk pipi anakku yang sedang menyusu. “Belum terlalu bisa menghisap ASI-ku mas,”keluh Sastri setelah mengambil tissue basah yang kubawakan dari rumah. Dia membersihkan sudut mata bayiku yang masih ada kulit arinya yang berwarna putih-putih seperti bercak kapas tertinggal di kulitnya. Mungkin itu sisa lemak yang melindungi tubuh anakku sewaktu masih di dalam perut seperti yang kubaca di majalah ibu itu.

“Baru sehari dik. Belum pengalaman kali,”selorohku. 

Maklum pengetahuanku tentang bayi dan ASI masih sebatas buku. “Katanya kalau dicoba terus dia bakal bisa menghisap dengan baik kok.” Sastri tersenyum. “Iya kali ya. Mungkin juga dia sama capeknya kayak aku. Dari tadi cuma tidur. Waktu aku susui pertama kali. Dia membuka mata sebentar, lalu tersenyum trus tidur lagi.”

Pembicaraan kami terputus sebentar ketika ada seorang lelaki masuk ke ruangan yang sama dengan kami. Lelaki itu berpakaian rapi sekali. Dengan jas dan handphonenya yang model terbaru tampak berpegangan erat di pinggangnya. Dia menatap kami. Tersenyum. Kami membalasnya. Lelaki itu kemudian berjalan ke tempat tidur yang ada di seberang tempat tidur istriku.

“Istrinya itu sejak tadi malam menangis mencari suaminya,”bisik istriku pelan-pelan. “Biarin saja. Kangen kali.” Aku menjawab bisikan istriku dengan bercanda. Tidak berminat untuk melanjutkannya, khawatir jadi ghibah.

“Sudah sayang. Jangan cemberut terus toh. Kan sudah dijenguk.” Waduh nggak pengen ngurusi orang lain sebenarnya. Tapi kok suara lelaki yang baru datang itu keras sekali. Aku pura-pura tidak mendengar. Dengan isyarat aku meminta istriku mendekat. “aku bawa cd player portable sama murotal juz-ammah. Aku mau memperdengarkan lantunan kalimat-kalimat Ilahi pada anak kita.” Aku berbisik pada Sastri, dan dia mengangguk senang. Sebentar kemudian kami bertiga larut dalam hening. Mendengar lantunan surat Ar-Rahman. Nikmat sekali mendengarkannya di ruangan ini. Pada saat ini. Entah mengapa rasanya jauh lebih nikmat daripada ketika aku mendengarkannya setiap hari di ruang kerjaku sejak lima tahun yang lalu. Mungkin sekarang karena ada si kecil. Yang ikut bergerak pelan ketika murottal ini kuperdengarkan. Lima tahun yang lalu jagoan kecilku itu belum datang.

“Iya. Tapi kenapa kemarin mas nggak datang!” Suara perempuan di seberang tempat tidur istriku mengagetkan kami. Dengan tenang Sastri membelai rambutku, menjagaku supaya tidak jadi emosi. Aku yang hendak protes jadi mengurungkan niatku dan meletakkan kepalaku lebih dekat ke perut si bayi yang tergeletak di samping Sastri.

“Mas kan meeting di luar kota. Selesainya baru jam delapan sore. Sudah ya jangan marah.” Rupanya kedua suami istri itu mempunyai jenis suara yang super vokal. Keras sekali kalau bicara. “Bawa apa ?!” suara istrinya masih terdengar ketus. “Baju, selimut, tisue sama apa ya nggak tahu tadi mami yang nyiapin,” jawab suaminya. “Bawa dot sama susunya nggak ? coba periksa di tasnya,” pinta sang istri.
“Nggak ada tuh. Buat apa ?” tanya sang suami. “Ya buat dia. Masak nggak dikasih minum susu. Emangnya mau dikasih nasi rawon seperti kesukaanmu ?”. jawaban sang istri membuatku menahan tawa. “Lho dik, bukannya kalau baru lahir harus disusui sama ibunya sendiri ?” kata sang suami kemudian. “Siapa bilang. Itu kan katanya orang-orang tua dulu. Waktu jaman ekonomi sulit,” sang istri menjawab dengan intonasi yang masih tinggi. “Bukan begitu. Katanya kalau baru lahir itu bisa dapat zat kebal dari ASI yang pertama kali keluar. Biar anak kita nggak gampang sakit. Itu loh Sontrum …sontrum gitu namanya.”

Kolostrum kali pak, aku menggumam dalam hati. Kurasakan kaki Sastri bergerak. Mungkin dia juga menahan tawa seperti aku. Mendengar lelaki itu salah menyebut cairan bening yang padat zat kebal itu.

“Tahu apa kamu tentang ASI mas..mas. Itu kan cuma mitos. Susu formula sekarang sudah canggih. Vitaminnya sudah lengkap-kap. Biar bagaimanapun aku nggak mau ah nyusuin. Nanti bentuk tubuhku jadi nggak proporsional lagi. Sebulan lagi aku juga mau diet dan senam. You kan eksekutif muda masa kuno gitu mikirnya,” jawab si istri panjang lebar. Yang intinya tidak ada kata ASI untuk si bayi. Dia tidak mau repot bangun malam untuk menyusui. Atau harus duduk bermenit-menit tanpa bisa melakukan hal apa-apa selain memandangi bayinya yang asyik menghisap cairan putih dari dalam tubuhnya itu. “Sudah ada baby sister yang kusewa seminggu lalu dari agen. Jangan minta aku berkorban lebih banyak lagi. Waktu dan tenagaku sudah habis ketika masih hamil kemarin. Sekarang masih sakit nggak karuan, disuruh repot lagi. Nggak mau aku,” lanjutnya.
Hhhh…terdengar lelaki itu menghembuskan nafas berat. “Ya sudahlah.terserah kamu.”

Jendela ruangan ini besar-besar. Anginnya terasa sepoi-sepoi. Bau harum bayiku dan lantunan halus ayat suci bagaikan lagu nina bobok yang indah di telinga batinku. Kurasakan badanku jadi berat untuk meninggalkan Sastri dan anakku dari sini. Tapi aku harus pergi, sebentar lagi Mr. Kondo akan menyelesaikan negoisasinya denganku. Aku sudah janji untuk menemuinya setelah jam makan siang. Duh.. kok ngantuk sekali. Kepalaku terasa berat, aku merebahkannya di samping anakku.

“Dandy, kamu lupa dotnya anakmu. Nih aku bawakan,” kata perempuan tua itu sambil menyerahkan sebuah dot yang telah penuh berisi cairan putih. Tampak istri Dandy tersenyum senang sambil mengerling manja kepada suaminya. “Mami memang yang paling top deh. Nggak kayak mas Dandy. Apa-apa lupa.” Kata si istri menyindir suaminya yang lupa membawa botol susu. Gadis berseragam putih itu dengan sigap mengambil si bayi dari boksnya. Memangkunya dan menyodorkan botol susu berukuran besar itu padanya. Sebentar kemudian terlihat si bayi mulai menghisap puting karet yang nongol dari dalam botol itu. “Tuh..pinternya anak ini. Sudah bisa ngedot sendiri. Apa tadi malam dia sempat kamu susuin Ven ?” tanya ibu paruh baya itu. ”Nggak. Dikasih dot sama susternya. Aku yang minta, soalnya badanku rasanya masih remuk semua. Sakiiit sekali. Nggak nyangka bakal sesakit ini jadinya,”jawab Veni, istri lelaki itu. “Ya sudah nggak masalah. Nanti sebelum pulang kamu coba aja minta obat untuk menghentikan air susumu supaya nggak keluar lagi. Karena kalau masih produksi tapi kamu nggak kasih ke itu bayi, biasanya payudara jadi penuh dan sakitnya minta ampun,”nasehat ibu itu pada putri semata wayangnya. “Ya sudah kalau begitu, kita pulang dulu aja. Suster kamu jaga disini ya. Jangan sampai ibu kecapekan.” Perempuan berbusana merah tua itu mengajak menantu lelakinya pulang.

Mendengar percakapan mereka bertiga di belakangku, aku jadi penasaran. Ingin tahu bagaimana sih tampang wanita yang kalah sama kucingku. Ogah nyusuin anaknya sendiri. Supaya tidak kentara, aku pura-pura mau keluar. Pelan-pelan aku berdiri. Masya Allah, pekikku dalam hati. Kayak artis sinetron, pantes saja bingung masalah berat dan bentuk badan. Aku berkata dalam hati. Sambil berjingkat kuhampiri boks mungil itu. Ingin tahu betapa rupawannya bayi mereka yang sudah pasti mengusung gen-gen kecantikan ibunya.

Selimut pink muda itu bergerak. Telapak tangan yang mungil muncul perlahan dari sela-sela lipatan selimut. Kulitnya putih sekali. Kuberanikan diri menengok wajahnya. Hmm…betul dugaanku. Pipinya montok bersemu merah, bibir dan hidungnya mungil namun sangat proporsional. Maha Besar Engkau Ya Rabb, bisa menciptakan manusia begini rupa. Dorongan batin menyuruhku membelai kepalanya. Sedikit ragu aku tengok dulu ibunya. Hm..masih tidur pulas dan suster bayi ini juga sedang tidak ada di sini. “Sayang..,” aku memanggil bayi itu lirih. Kuusap kepalanya dengan lembut sekali. Kalau besar nanti kamu akan jadi teman anakku, gumamku pelan-pelan. Seperti tahu kalau sedang disayang, bayi perempuan itu membuka matanya. Dia tersenyum padaku. Kedua tangan dan kakinya bergerak lebih banyak. Mungkin dia gembira. Aku tersenyum menyapanya langsung. 

Hallooo..kubuat wajah lucu tepat di mukanya. Aku harus berdiri membungkuk untuk dapat menciumnya. Cup. Nah kena kamu, kataku gemas. Tiba-tiba bayi itu menangis. Aku panik. Dia menatap mataku tajam. Dia bergerak dan bergerak semakin banyak. Selimutnya sudah tak lagi menutupi tubuh mungilnya itu. Bajunya juga amburadul. Popoknya turun sampai pangkal paha. Aku panik dan bingung, bagaimana bisa menghentikan tangisnya. Dengan ujung jari aku menarik selimutnya pelan-pelan. Ingin menutupi tubuh bayi itu kembali. Astaghfirullah, aku memekik heran. Bayi itu …si cantik itu ternyata tidak mulus total. Kulitnya tidak hanya putih mulus. Tapi banyak totol-total hitam di sekitarnya. Seperti totol anjing dalmatian, tapi lebih besar. Apa itu tanda lahir ? aku menatapnya heran. Rupanya tatapanku itu menambah marah si bayi. Bagaikan sudah mengerti apa yang berada di dalam benakku. Dia menangis keras-keras. Semakin lama semakin keras. Aku bingung. 

Kuputuskan untuk kembali duduk di sebelah istriku. Pura-pura tidak tahu. Biar saja mereka menganggap bayinya menangis karena ngompol. Aku lihat dia dari jauh. Tangisnya belum berhenti. Memekakkan telinga. Tapi tunggu…kenapa suaranya lain dengan bayiku. Dengan bayi pada umumnya. “ Mmmoooohhh….mmmmooohhhh…” bayi itu menangis dengan suara mmoh bukan ooeekkk. “Ya Alloh keanehan apa ini,” aku berdiri dari tempat dudukku. Tapi baru saja aku mau melangkah untuk menenangkannya, bayi itu tiba-tiba tengkurap. Aku heran bukan kepalang, belum saatnya bayi berumur dua hari bisa tengkurap sendiri. lalu dia berputar. Sekarang kepalany tepat mengarah kepadaku. Dan..oh…Masya Allah…dia…bayi itu…anak itu.. sekarang telah berdiri. Dia menatapku dan berdiri. Tapi bukan dengan dua kakinya, dia berdiri dengan kedua tangannya juga. Berdiri dengan empat kaki. Kulitnya bertotol hitam semakin jelas, dan rambutnya…oh di kepalanya sekarang tersembul dua benjolan besar. Seperti ..seperti tanduk. Aku mundur beberapa langkah. Merapat ke tempat tidur istriku. 

Aku menatapnya tanpa berkedip. Sssaa….sa..sapi. aku gemetar sekali. Sapi, anak itu seperti sapi. Astaghfirulloh…aku beristighfar berulang-ulang. Aku duduk. Kupegang tubuh bayiku erat-erat. Aku tak mau makhluk itu menyerang anakku. Keringat dingin mengucur. Bayi itu menatapku liar. Penuh amarah. Terdengar dengusan nafasnya. Dia menggerakkan kaki belakangnya. Apa yang mau dilakukan. Apa dia mau pipis ? tanyaku dalam hati. Dzikirku tak putus sedikitpun. Lho..lho..jangan..jangan ! Kulihat bayi itu menekuk kaki depannya atau tangannya. Dia siap melompat. Menerjang kami. Tolong..tolong….kurasakan dia mencengkeram mukaku dengan kuat. Nafasku sesak..tolong..tolong. Jangan sakiti anakku.

“Ada apa ini ?” teriak ibu bayi itu keras. “Lho mana bayiku?” dia menceracau. Dilihatnya seorang lelaki sedang diterjang makhluk kecil di lantai. Lelaki itu meronta-ronta. Makhluk atau hewan yang menyerang lelaki itu seperti anak sapi. Perempuan itu mencoba tak peduli, dia hanya ingin mencari anaknya. Tiba-tiba masuklah baby sitter yang mereka sewa. Sendirian. Tanpa si bayi. “Lho, anakku mana ?” teriak wanita itu. Baby sitter itu menggeleng. Dia hanya berdiri di depan pintu, karena melihatku bergumul dengan makhluk bermuka sapi ini. Tak lama kemudian dia menunjuk ke arah kami. 

“Bu…ii..tuu…bajunya ..dik..Janette,”katanya kemudian. Wanita itu melompat dari tempat tidur. Sekuat tenaga dia menarik makhluk kecil yang menyerangku itu. “Janeeette..apa yang terjadi. Tidak…”wanita itu menjerit. Berteriak sekeras-kerasnya. Mendekap sapi kecil itu. Eh mendekap anaknya. Yang hidung dan mulutnya masih sama. Tapi kulitnya, tanduknya dan kakinya tak lagi seperti anak manusia. Aku langsung bangkit, meloncat ke tampat tidur istri dan anakku. Aku harus menyelamatkan mereka.

“Mas…mas..bangun. ponselnya bunyi tuh. Dari Mr. Kondo.” Aku bangun dengan terkesiap. Setengah sadar kusambut ponsel yang disodorkan istriku. “Hai. Kondo-san, watashi moo owarimasuyo, soshite jimushoo e ikimasu.” Kutatap tempat tidur di seberangku. Kosong. 

Astaghfirullah. Jantungku belum berhenti berdebar. “Ada apa mas ?”selidik istriku yang heran dengan peluh dingin yang tidak biasanya ada di jidatku. Aku tidak menjawab pertanyaannya. Kumatikan poselku. Kutubruk istriku. Terima kasih sayang.. terima kasih atas kesediaanmu menyusui anak kita. Seberapa lelahnya aku akan membantumu, meringankan payahmu dalam merawat buah hati kita. Terima kasih sayang, kau tidak mempercayakan anak kita minum susu formula sebelum enam bulan umurnya. Kau bilang, apa anak kucing disusui sama anjing, kan sama ibunya sendiri sesama kucing. Masa anakku disusui sama sapi.

Catatan :
Hai. Kondo-san, watashi moo owarimasuyo, soshite jimushoo e ikimasu.
(Ya. Tuan Kondo. Saya sudah selesai, setelah ini akan pergi ke kantor.)

Harimau dan Nenek Angsa

2 komentar
HARIMAU DAN NENEK ANGSA
Di suatu hutan yang sangat lebat hiduplah sepasang macan tutul yang sudah tua. Mereka bernama Kudap dan Liyan. Kudap adalah kakak laki-laki Liyan. Mereka begitu disegani di hutan kecil itu. Karena selain bijaksana mereka juga baik hati dan suka menolong hewan lain yang kesusahan. Suatu pagi ada keributan di sebelah rumah Pak Kudap.
“Hrrr …. Hrrr… kamu harus membayarku, aku sudah mengantarmu sampai ke sini, suara pak Kuda meringkih dan berteriak kepada nenek Angsa .
“ Kakk..kak…aku tidak punya uang,” kata nenek Angsa dengan wajah ketakutan.
“Hrr…hrr …kalau tidak punya uang , serahkan suatu barang untuk menggantikannya”, ujar pak Kuda kemudian.
“Kakk..kak.., ini aku cuma punya sebotol cacing yang akan kuberikan kepada cucuku nanti. Dan cacing-cacing ini aku kumpulkan dengan susah payah selama seminggu, “ kata nenek Angsa sambil mengeluarkan botol bekas selai yang berisi cacing tanah.
Mendengar jawaban nenek angsa itu hati pak Kuda tersentuh dan menjadi tidak tega untuk mengambil harta satu-satunya nenek Angsa.
“Hrr..hrr.. yah sudah kamu boleh pergi, “seru pak Kuda pelan. Dan sesaat kemudian pak Kuda pergi meninggalkan nenek Angsa sendiri.
“Terima kasih pak Kuda, terima kasih,” nenek Angsa berterima kasih kepada pak Kuda yang telah mengantarkannya dan tidak memaksanya membayar.

Setelah pak Kuda hilang dari pandangan, nenek Angsa kembali berjalan dengan tertatih-tatih menuju rumah cucunya. Tak terasa hari sudah menjelang sore tetapi nenek Angsa belum juga sampai ke rumah cucunya. Setelah beberapa lama baru nenek Angsa sadar kalau dari tadi dia hanya berputar-putar saja dan kembali ke tempat yang sama. Hari sudah mulai gelap nenek Angsa mulai merasa kedinginan dan ketakutan. Dia pun berlindung di bawah pohon tua yang sangat besar dan rindang. Matanya yang keriput mulai merasa mengantuk.

Krrieekk…..
Suara dahan patah membuat nenek Angsa terbangun. Dia segera bangkit dan memegang botol selainya erat-erat.

“Haummm….”
“Iiiituuu suara …su…ara harimau.” Nenek Angsa menjadi sangat ketakutan mendengar suara harimau yang beranjak mendekatinya. Tapi nenek Angsa tidak berani berlari karena kakinya pun sudah tidak kuat dan penglihatannya sudah tidak tajam. Nenek Angsa memilih diam tidak bergerak serta menahan nafasnya.

“Hauummm”.
Suara harimau itu terdengar kembali dan terasa semakin dekat, jantung nenek Angsa berdegup kencang. Dia sangat gemetar dan ketakutan, hampir saja botol selai yang dipegangnya jatuh. Semakin lama langkah kaki harimau itu semakin dekat …. Dan ….
“Hauummm…”Harimau besar itu menyeringai lebar di depan nenek Angsa. Taringnya yang tajam berkilat ditimpa sinar bulan seakan-akan siap menerkam nenek Angsa bulat-bulat. Nenek Angsa kaget setengah mati, botol selai yang digenggamnya jatuh pecah dan isinya berhamburan. Dengan sisa tenaga yang ada nenek Angsa berteriak dan bersiap untuk lari sekencang-kencangnya.

“Kakkkkk..kakkk… toloong… tolong”. Nenek Angsa berteriak sekeras-kerasnya dan berlari sekencang-kencangnya. Rasanya dia tidak peduli lagi kalau kakinya sudah lemah, dia merasa sudah menabrak apa saja yang ada di depannya. Dan ingin menjauh dari harimau besar itu. Tapi …kok kaki harimau itu masih ada di dekatnya ?. Nenek Angsa berhenti berteriak dan memandang pemilik kaki itu. Wajahnya semakin pucat ketika tahu kalau tongkatnya terinjak kaki harimau sehingga dia tidak bisa berlari. Karena dia berlari sambil memegang tongkatnya erat-erat. Nenek Angsa takut sekali kalau-kalau diterkam harimau besar itu. Tapi, tiba-tiba …
“Hei nenek Angsa jangan takut”, suara yang besar namun lembut keluar dari mulut harimau itu. “Aku tidak akan memakanmu, tenanglah,” seru harimau itu kemudian.

Nenek Angsa dengan masih sedikit ketakutan melepaskan tongkatnya pelan-pelan.
“Ja….jangan sakiti saya ya tuan harimau …” pinta nenek Angsa dengan gemetar.
“Tidak..aku tidak akan menyakitimu nenek Angsa. Aku Liyan, harimau betina yang menunggu hutan ini. Tadi kau sempat berteduh di dekat rumahku di pohon tua itu. Dari tadi aku memperhatikanmu dan ternyata kau benar-benar sedang tersesat. Masuklah ke rumahku karena hari sudah gelap, nanti bisa-bisa kau dililit ular pohon.”

Liyan berdiri di samping nenek Angsa dan mengantarkannya ke pohon tua yang sangat rindang. Di dalamnya ada Kudap yang sedang beristirahat. Melihat harimau yang lebih besar lagi, nenek Angsa menghentikan langkahnya. “Jangan takut … dia kakakku,”seru Liyan.

Akhirnya nenek Angsa , Liyan dan Kudap beristirahat di bawah pohon tua yang sangat rindang sepanjang malam. Dan esok paginya Liyan dan Kudap mengantarkan nenek Angsa ke rumah cucunya yang cukup jauh dari tempat itu. Sesampainya di sana nenek Angsa sangat bahagia bisa bertemu dengan cucunya dan anaknya sekaligus. Tetapi dia meminta maaf karena oleh-oleh yang telah disiapkannya telah pecah dan cacingnya mati semua. Cucu dan anak nenek Angsa memaafkannya dan mengatakan kalau kedatangan nenek Angsa saja sudah membuat mereka semua sangat gembira.

Setelah mengantarkan nenek Angsa, Kudap dan Liyan berpamitan dan pulang dengan langkah yang sangat tenang. Menuju hutan yang harus selalu mereka jaga ketentramannya.

Diary Inkubator part4

Tidak ada komentar
INJEKSI PEMATANGAN PARU, ADA ???
Kamis. Jum'at. Sabtu. Sudah tiga hari. Golden age pertama anakku terlewati. Aku sedikit lega. Kalau hidup ya hidup sesi pertama selesai. Tinggal tunggu 4 hari lagi supaya genap 7 hari. Jika 7 hari ini anakku hidup, bisa dipastikan selanjutnya bisa hidup normal. Aku baru tahu juga, kalau dokter anak Z bukan dokter utama yang bekerjasama dengan RSAB ini. Beliau adalah dokter pengganti. Dokter R yang utama, kemarin sedang umroh. Dan Sabtu malam ini beliau pulang. Kami menunggunya dengan cemas. Karena sudah 3 hari ini, menurutku anakku masih ngos-ngosan. Jumlah denyutnya juga tidak berubah menjadi berkurang. Relatif tetap. Saat itu tiba. Aku dan suamiku bertemu dengan dokter R. "Ya, prematur ini bu, kata beliau menegaskan lagi diagnosa dokter Z sebelumnya." Aku pun masih menyangkal, karena dokter kandunganku tidak berkata begitu. Kalau dikatakan prematur dari awal, kan kami lebih siap mental. Tapi dokter R tidak menanggapi kami. Aku mengerti, itu bukan ranah tanggung jawabnya. Beliau memerintahkan suster untuk mengambil darah anakku dan merontgen paru-parunya. Suster mengatakan, aku tidak perlu ikut. Karena berangkatnya nanti malam menunggu ambulans.
Aku dan suamiku masih duduk di meja konsultasi. Di belakang kami berdiri dua pasang suami istri yang mengantri untuk membicarakan kesehatan bayi mereka yang baru lahir. Kami masih terperangah ketika dokter R mengulangi lagi kata-kata, lihat 7 hari, kalau hidup ya hidup. Kami tidak segera bangkit berdiri, menanti kalau-kalau beliau akan mengatakan, "sabar ya pak..bu...banyak berdo'a. kami akan berusaha semampunya. insya Allah ada harapan untuk anak ibu bisa hidup." Tapi dokter R berkata, "Ada yang ditanyakan lagi ?". Kami menggeleng, terkunci oleh kata mati : lihat 7 hari lagi. "Ya sudah kalau begitu, selanjutnya," dokter R mempersilahkan orang tua bayi berikutnya duduk menggantikan kami. Tidak ada pilihan lain. Tidak ada kesempatan untuk meminta penjelasan yang panjang lebar. Kami pulang. Dengan berharap sepenuhnya pada dokter R. Oh bukan, kami serahkan total pada Allah swt. Jika kami layak dititipi anak ini, dia pasti hidup.
Minggu pagi. Aku sengaja ingin berlama-lama di rumah sakit. Suamiku libur kerja jadi bisa menemani Aldo di rumah. Tak sengaja aku bertemu dengan dokter kandunganku pak D. Beliau sedang libur praktek di rumah sakit lain. Jadi pagi-pagi bisa inspeksi ke RSAB-nya sendiri. Kami berbincang-bincang. Sebenarnya obrolan kami cukup hangat. Aku pun berniat untuk mengambil hatinya, supaya anakku diperhatikan dengan baik disini. Tapi ada satu kalimatnya yang menyengatku. "Gara-gara kamu Hen. Menurut teori kan anak berat 2,5 kg itu kan normal. Gak prematur. Kemarin ada ibu yang hamilnya sudah 8 bulan lebih tapi bayinya 2 kg, aku suntik aja pematangan paru. Cuma semalaman saja bayinya lahir. Takut anaknya kenapa-napa kayak anakmu."Suntik pematangan paru ?Ada toh. Lho kok ? Kenapa aku tidak diperlakukan begitu. Kan hanya butuh waktu semalaman. Disuntik pematangan paru ? Bukankah jika dihitung usia kandunganku ini masih masuk bulan ketujuh. mendadak amarah yang berusaha kupadamkan dalam hatiku ini muncul kembali. Tanpa kuminta beliau melanjutkan, "Orang-orang itu harusnya tahu. Saya ini ahli. Pak R juga ahli. Kalau ada apa-apa, tidak ngomong yang aneh-aneh. Orang hamil, melahirkan itu masih misteri. Teorinya sudah ada. Tapi dalam praktek yo dek, itu banyak peristiwa..." Aku pulang.
Sore harinya, suster menelpon. Meminta suamiku datang. Ada obat yang harus ditebus dan tidak tersedia di RSAB itu. Obat itu ternyata kunci kesembuhan anakku. Suamiku mencari sampai keliling apotik dan rumah sakit di Surabaya. Sampai akhirnya dapat obat itu di apotik RS Dr. Soetomo. Obat itu nanti diinjeksikan lewat infus. Senin pagi, ketika aku menjenguk anakku, ada perubahan besar. Jumlah denyut per menitnya menurun, menjadi 90. Lalu menjadi 70 sore harinya, dia sudah tidak tersengal-sengal. Aku lega dan lebih optimis menuju hari ketujuh itu. Senin malam itu juga diagnosa dipastikan, anakku prematur. Darahnya punya Hb rendah, kulitnya tipis dan paru-parunya belum matang satu buah. Sebelah kiri. Itu terlihat dari gambar di rontgen. Paru-paru kanan warna putihnya gelap rata. Yang kiri tipis, jadi 'spon-spon' pengisi paru-parunya belum tumbuh sesempurna sebelah kanan. Jadi 2,5 kg bukan patokan terbaik bayi itu akan prematur atau tidak. Usia kandunganlah yang terbaik. Dari literatur yang kucari kemudian ternyata usia kandungan 36 bulan baru paru-paru bayi bisa dikatakan matang. Sedangkan waktu hamilku kira-kira masih 34 bulan lebih sedikit.
Kehidupan pun harus kembali normal. Suamiku kerja. Anak pertamaku sekolah. Aku sibukkan diri kembali dalam pekerjaan rumah tangga. Memasak, mempersiapkan Aldo sekolah, menemaninya nonton kartun, dsb. Pulang sekolah, Aldo bersama tukang becak yang menjemputnya, langsung kuajak menengok adek. Sampai dia kecapekan dan minta pulang. Malamnya, tepat setelah bapaknya datang, makan malam dan mandi, kami pun berangkat lagi ke rumah sakit. Sempat kukatakan pada Aldo, "mas mama ke adek kalau mas sekolah aja ya. Jadi mas nggak capek pulang sekolah langsung ke rumah sakit.' Tapi Aldo menolak, "Jangan ma, nanti adek nyari Mas.."
Begitulah. Selama Aldo sekolah, aku belanja, beres-beres rumah dan masak seperti biasa. Stagen kukencangkan kuat-kuat, karena aku takut 'turun berok' atau kandungan turun. Bisa panas dingin kata ibuku. Aku persiapkan makan siangnya dalam boks. Dan juga baju gantinya. Pintu rumah kututup, sekalian dikunci. Aku duduk menunggu di kursi teras. Tepat ketika Aldo turun dari becak, pulang sekolah. kulepas baju seragamnya, kuganti dengan baju biasa langsung di teras, tidak masuk ke rumah dulu. Lalu langsung kami minta diantarkan ke rumah sakit oleh pak becak. Di ruang bersalin yang menjadi satu dengan ruangan bayi, aku menyuapi Aldo makan siang. Sambil bercanda dengan suster-suster. Pernah ketika aku tidak masak,kami keluar beli nasi dan ayam goreng. Lalu aku menyuapinya di tempat praktek dokter anak R yang ada tepat di seberang RSAB ini. Tempat itu hanya buka 2 kali seminggu. Aku terharu dengan kebesaran hati Aldo. Tanpa merengek dan mengeluh dia menemaniku menjenguk adeknya. Sementara itu aku sekuat tenaga menyembunyikan keadaan anakku dari ibu. Bapak masih diopname stroke. Ketika ibu menelepon dari rumah sakit, aku menjawabnya singkat saja. Dan berdalih bayiku sedang menangis. Dan ibuku ternyata sangat terpukul dengan sikapku. Menurut ceritanya kemudian, ibu curhat ke besan, nelangsa, karena aku tak peduli dengan bapak. Masak bapaknya opname kok nggak nanya gimana kabar bapaknya.

Diary Inkubator part3

Tidak ada komentar
Malam bergerak tak begitu lambat seperti yang kukira. Entah karena aku kelelahan setelah melahirkan, akhirnya aku tertidur lelap malam itu. Dan besok paginya masih jam 4 pagi, aku sudah keluar dari kamar mandi. Mandi dan bergegas menuju ruangan bayi. Senyap. Hanya beberapa suster yang tampak. Aku hampiri anakku di inkubator. Badannya terlihat kecil sekali. Baju atasannya dipasang terbalik. Supaya mudah memasang stetoskop di dadanya untuk menghitung jumlah detak jantungnya per menit. Kalau tidak salah yang normal adalah 70 denyut per menit. Sedangkan anakku ini masih sekitar 90-100 denyut per menit. Ngos-ngosan, seperti orang habis berlari sprint. Oksigennya tidak diberikan dengan selang yang langsung masuk ke hidungnya. Melainkan sekarang dipasangkan helm oksigen. Helm ini terbuat dari wadah palstik seperti bakul nasi, dipotong bagian tertentu supaya leher anakku bisa masuk. Lalu helm itu dilubangi untuk memasukkan selang plastik berdiameter sekitar 1 cm. Oksigen murni disalurkan langsung dari selang itu. Suaranya berdesis, karena tekanan dari tabung oksigen tentu besar. Kira-kira anakku seperti memakai helm astronot. Tabung oksigen ini juga tinggi sekali. Setinggi aku. Disandarkan di samping inkubator. Inkubatornya juga sederhana menurutku. Terbuat dari triplek tebal dan kaca bening. Kira-kira 9 lampu pijar dipasang di bagian alasnya, sebagai energi panasnya. Bagian atasnya terbuka. Ada kelambu yang jarang digunakan. Di dekat kaki anakku ada jam meja warna hitam, persis seperti jam kami yang ada di rumah. Tiang infus di samping kanan. Rupanya infus sudah bisa dipasang di tangan. Tangan kiri yang terpasang jarum infus kemudian dipasang karton tebal dan dibalut dengan plester hypafix berulang-ulang. Supaya jarum infus tidak terlepas ketika tangan ini bergerak. Anakku ini tidur pulas. Matanya menutup rapat. Dadanya naik turun dengan cepat. Tangan dan kakinya tidak banyak bergerak. Aku berdiri di depan inkubator. Menahan nafas berat karena berusaha keras untuk tidak menangis. "Adeekk...." aku memanggilnya lirih. "Maafin mama ya...seharusnya kamu masih di perut." Aku mengelus kakinya perlahan. Tak seberapa lama kemudian, seorang suster menyuruhku keluar.
Waktu pun mulai bergerak lambat. Aku berjalan sendirian menuju pintu depan. Ada seorang laki-laki yang tidur di kursi tunggu. Mungkin istrinya belum melahirkan. Kulihat langit yang masih gelap. Ketika menegok ke kanan dan tampak deretan kursi tunggu ibu hamil dan ruang praktek dokter, hatiku pedih. Seharusnya aku masih duduk di situ, untuk kontrol kandungan. Perutku mulai terasa tidak enak, aku kembali ke bed dan berusaha memejamkan mata. Sekitar dua jam kemudian, dokter D datang untuk memeriksa perutku. Beliau menekan-nekan perutku, entah untuk apa. Dan berkata, bagus. Selesai. Tak sedikitpun mulutku terbuka untuk mengajukan pertanyaan, dok kenapa anakku prematur ? bukannya dua hari yang lalu aku sudah datang ke dokter. Dan ketika kontrol rutin kukatakan, kok saya merasakan kontraksi ya dok. Lalu anda lihat hasil USG, anaknya sudah 2,5kg. Normal. Dan kutanyakan, apakah tidak prematur dok. Kan prediksi melahirkan tanggal 25 Oktober 2006, tepat hari raya idul fitri. Sekarang masih tanggal 5 September. Dan anda jawab, ah tidak. Besoknya saya periksakan lagi sudah bukaan 1 tipis, lalu tanggal 7 September anak saya lahir, dan ternyata prematur. Padahal kemarin anda bilang, anak saya dioksigen karena belum bisa beradaptasi. Bla..bla..bla... Tapi aku hanya tersenyum, dan malah sesekali menimpali gurauannya. Aku takut. Takut jika terlalu banyak bertanya, nanti dokternya tersinggung. Lalu anakku tidak dirawat dengan baik disini, apa nanti jadinya. Aku takut, maka aku diam.
Ternyata tak sampai sore hari, pagi ini aku bisa pulang. Aku putuskan pulang duluan supaya biaya inap tidak membengkak. Aku harus membesarkan hati meninggalkan anakku 100% pada suster dan dokter di sini. Dan harus mempersiapkan biaya perawatan anakku. Untuk itu, mau tidak mau aku harus minta tolong kepada saudara-saudaraku, karena persiapan yang kulakukan hanya untuk kelahiran normal dan sehat seperti yang diprediksikan sebelumnya. Aku tak peduli. Dan sengaja tidak memikirkan seberapa besar pinjamanku nanti dan bagaimana aku bisa mengembalikannya. Yang ada di otakku cuma satu, anakku harus hidup. Bagaimanapun caranya.
Menanti suamiku mengurus administrasi terasa sangat lama. Dari keadaan bahagia mendengar tangis anakmu pecah sesaat dia lahir, menuju kenyataan bahwa mungkin itulah tangisannya yang pertama dan terakhir. Sungguh mengaduk-aduk emosiku. Tanpa kuminta bayangan ini muncul. Anakku digendong bapaknya diselimuti kain batik [sewek/jarit] menuju rumah. Dan di rumah sudah ramai orang berkumpul untuk tahlilan mengantarkan pemakaman anakku. Ya Rabb ... bagaimana jika hal itu yang terjadi. Bagaimana aku harus mempersiapkan diri. Air mataku mengalir deras. Aku menangis tanpa suara.
Lalu aku pulang naik becak sendirian dan suamiku naik sepeda motor. Memang RSB ini dekat dengan rumah kami. Mertuaku di rumah, Aldo, anak pertamaku masih di rumah ibuku. Di Surabaya juga. Aku turun dari becak dengan hati hampa. Terlebih ketika masuk ke dalam kamar. Ranjang bayi masih kosong. Kasur masih terlipat, Sarung bantal dan spreinya masih di dalam plastik. Yang jauh-jauh hari sudah kucuci dan kupersiapkan sebelum anakku lahir. Sendiri duduk di atas tempat tidurku. Hanya mengiyakan saja ketika ibu mertuaku mengajak bicara ini itu. Pikiranku melayang ke ruangan tempat anakku berada. Hari itu juga mertuaku pulang kembali ke desa. Sebenarnya aku ingin sekali meminta ibu mertuaku tinggal. Tetapi beliau punya usaha jahit dan bordir serta nenek yang tidak bisa ditinggal. Aku pun meyakinkan mereka, semua bisa kuatasi sendiri bersama suamiku. Sejak saat itu aku sengaja bersembunyi di rumah. Aku khawatir ada tetangga yang datang ke rumah untuk menjengukku. Aku nggak mau nangis di depan mereka ketika harus menceritakan keadaan anakku. Tetapi, namanya orang Jawa, mana bisa nggak ketahuan. Ari-ari anakku kan dipendam di teras rumah. Dan diatasnya diberi kurungan serta lampu kecil. Siapapun yang melihat itu adalah tanda bahwa aku sudah melahirkan. Mereka pun datang. Dan aku terpaksa mengatakan, 'waah...adeknya masih belum pulang...'

Diary Inkubator part2

Tidak ada komentar
Bayiku Biru
Setelah suster dengan enthengnya berteriak untuk menginfus anakku, langsung saja beberapa ibu menghampiriku. Untungnya sarapan tadi sudah selesai. "Bayinya kenapa ?...duh kasihan ya..iya lho dokter ini suka aneh-aneh pasiennya. banyak yang operasi. banyak yang prematur...dst..dst."Astaghfirullah. kenyataan ini benar-benar diluar dugaan. Kabarnya dokter ini yang terbaik. Dan aku, demi kualitas yang lebih baik, sengaja menekadkan diri kontrol ke dokter spesialis kandungan. Dibandingkan dengan anak pertama yang kontrol rutin ke bidan. Oopss..ternyata aku salah pilih dokter.
Aku tak mau begitu saja menerima permintaan suster itu. "Saya ingin ketemu dokter anaknya sus," pintaku. "Sudah saya telepon bu," kilah susternya. "Nggak. Saya ingin tahu penjelasannya. kenapa harus diinfus. Apa yang mau dimasukkan dalam infus itu." Mana tega aku langsung mengiyakan tangan bayiku yang mungil itu ditusuk berdasarkan perintah dari telepon saja. Dokter anak itu pun datang. Sore. Sebelumnya rombongan teman kantor suamiku menjenguk. Dan aku meminta suster menunjukkan anakku di balik kaca ruangan bayi. Selang oksigennya dilepas. Kulihat ada tompel biru di pipinya besar. Wah kok ada tompelnya ya. dan kulit anakku gelap, wah anak ini hitam ya kayaknya. Beda dengan kakaknya dulu, pas lahir kulitnya putih bersih. Hanya beberapa menit, lalu selang oksigen itu dipasang kembali. Selang oksigen murni itu diberikan pada anakku sejak baru lahir. Ketika kutanyakan kenapa pada suster, jawabnya, prosedural bu.
Dan tibalah masa yang menjatuhkan langit itu di atas kepalaku. Dokter Z, mengelus kulit bayiku. "Prematur bu". Hahh..aku dan suamiku tak percaya. "Lho, kata dokter D, bayi saya tidak prematur kok Dok. Beratnya juga sudah 2,5 kg." Aku menolak diagnosa itu. "Prematur bu, nih lihat. Kulitnya masih tipis," dokter itu membalikkan telapak tangan anakku. eh iya, kulitnya bening, urat-urat di dalamnya kelihatan. "Dan nafasnya tersengal-sengal bu, dia belum bisa bernafas langsung di udara bebas." Kulihat juga dada anakku naik turun dengan cepat. Kubandingkan dengan bayi lain yang juga baru lahir. Wah mereka relatif tenang. Sepertinya dia benar.Kulirik ke luar ruangan bayi, ada dokter D, dokter kandunganku mondar-mandir saja. Tidak masuk kedalam. Aku heran. Bukannya tadi pagi, ketika aku bertanya kenapa anakku perlu dioksigen dok ? jawabannya, "ah, seperti orang pakai kacamata. kalau baru pakai kan pusing. ya sama. dia cuma belum beradaptasi. tenang saja."Lalu apa alasannya beliau ini tidak masuk ke dalam, bukannya semestinya turut mendengarkan diagnosa dokter anak. Atas bayi yang dia usg sejak kandunganku berumur 4 bulan ? Hatiku memendam tanya.
"Bayi prematur ada golden age bu. Kita lihat 3 hari ini, kalau dia hidup ya hidup. Lalu lihat 7 hari, kalau dia hidup ya hidup. Sebelumnya lihat nanti sore ya bu, kalau hidup ya hidup"KALAU HIDUP YA HIDUP, KALAU HIDUP YA HIDUP..itu saja yang masuk di telingaku. Aku tak bisa berpikir namun harus berpikir."Infusnya untuk apa kalau begitu dok ?" Aku harus menerima saja diagnosa itu. "Makanan bu, jangan diberikan susu dulu nanti tersedak masuk ke paru-parunya." Oooo....kami pun mengijinkan anakku diinfus.
Setelah mengurus administrasi [pesan obatnya dan bayar], aku menunggu di depan loket apotek. Loket ini di dekat pintu masuk rumah sakit bersalin ini. tak berapa lama keluargaku datang. mereka kaget aku sudah duduk di luar. "Waduh Heni, baru melahirkan sudah jalan-jalan. Enak kayaknya ya. Wah, bentar lagi bikin lagi nih." Aku tersenyum saja. Anehnya tidak satupun air mataku keluar. Padahal aku ini cengengnya minta ampun. "Ngapain kamu ?"kakak perempuanku melanjutkan. "Ambil infus. Anakku mau diinfus." jawabku datar. Ekspresi saudaraku sangat terkejut. Kulanjutkan suaraku, "Mbak, jangan kasih tahu ibu ya. takut bapak kumat lagi. Juga jangan kasih tahu mbak-mbak lain yang lagi hamil, nanti stres kasihan bayinya." Pintaku.Dalam keluarga kami ini kebetulan 3 perempuan hamil bersamaan. seharusnya aku terakhir melahirkan, ternyata duluan. Dan malam di saat aku masih bergumul dengan kontraksi bayi, bapakku masuk rumah sakit [lagi] karena stroke. Dan sengaja aku baru diberitahu pagi hari, setelah aku melahirkan, dan sebelum aku 'dijahit'.
Obat, infus dan jarumnya sudah siap. Aku menanti diluar ruangan. Karena tidak boleh masuk. Takut bayinya kena penyakit bu, kata susternya. Aku duduk dengan ....[ada yang tahu rasanya orang baru melahirkan normal dan langsung duduk di atas kursi tunggu...bayangkanlah sendiri]. Masalah muncul lagi, tidak ada yang bisa menemukan pembuluh darah anakku di tangan karena terlalu halus. Yang bisa dilakukan adalah infus di kaki. Di RSB itu tidak ada suster yang bisa menginfus bayi di kaki, mereka menelpon suster dari luar. Aku menunggu dengan deg-degan. Suster itu datang, aku ingat bajunya biru. [sepertinya] tanpa masuk ke kamar mandi untuk mencuci tangan/kaki untuk sterilisasi, suster itu menghampiri bayiku. Dia menatapku, aku tersenyum. Aku tersenyum supaya dia tenang dan tidak salah tusuk. Hatiku bergetar sangat hebat. "Subhanallah wal hamdulillah walaailaahaillallahu allahu akbar lahaula wala quwwata illa billa" itu saja yang berderas-deras mengaliri lidahku. Ya Alloh...berikan suster itu ketenangan sehingga bisa memasang jarumnya dengan tepat, dan cabutlah rasa sakit itu dari anakku supaya dia tidak merasakannya. Do'a yang aneh mungkin, tapi itulah yang kuharapkan.
Anakku itu pun dikembalikan di inkubator. Keluargaku pulang. Suami dan mertuaku pulang. Aku kembali ke bed. Karena baru boleh pulang besok sore. Di kamar, sudah tersedia jatah makan malam. Aku menatapnya dengan mata nanar.

Diary Inkubator part1

Tidak ada komentar
Di sal Yang terberat adalah, ketika ada seseorang datang menghampirimu dan memberitahumu dengan ringan. Bahwa nyawa bayimu
mungkin hanya 3 hari saja. Atau bahkan lihat saja nanti sore bu. Darah nifasmu bahkan belum kering. Pegal di seluruh tubuh baru
terasa. Dan itu semua terdengar ketika kamu sendirian. Tidak ada ibu, bapak, kakak maupun adikmu di sisimu. Hanya suamimu.
Yang terberat kemudian adalah dengan semua kepedihan itu kamu masih harus makan. Makan ?Ketika sedang sehat dan tidak ada peristiwa apa-apa, acara makan bisa jadi sangat menyenangkan. Apalagi di depanku terhidang
lauk pauk yang lezat. Kenyataan bahwa bayiku bermasalah, membuatku menatap hidangan itu dengan marah. Ingin rasanya
kulemparkan saja senampan sarapan pagi itu. Aku marah sekali kepada dokter yang tidak memperhalus kata-katanya ketika
memberitahukan kondisi bayiku itu. Aku kesal dengan suster yang seenaknya berteriak lantang, “bu Heni, anaknya nanti diinfus ya
!” di dalam sal kelas tiga, di hadapan semua orang. Pasien dan keluarganya. Aku seibu persen terlukai dengan “hal yang dianggap
biasa “ oleh kaum medis di rumah bersalin itu. Lalu aku ingat pada anak pertamaku, yang baru saja masuk TK A. kalau aku aku
pingsan sekarang, meratap dan tumbang, pasti aku juga akan jatuh sakit. Tak mungkin bertahan ibu yang tiga jam lalu melahirkan
terlalu sedih karena bayinya dinyatakan premature. Diluar dugaan si dokter kandungan. Aku harus kuat. Bagaimana juga dengan
nasib bayiku yang belum genap berumur 24 jam itu. Siapa yang akan menyapanya dan meberinya dorongan untuk hidup ?. maka
kuputuskan untuk menghabiskan saja jatah sarapanku itu. Airmataku mengalir tak terbendung. Aku menyendokkan nasi
sepenuh-penuhnya dan mengunyah secepat-cepatnya. Sambil menahan isak tangis di balik kelambu bed-ku. Aku tak mau ada orang
yang mendengar tangisanku. Hatiku perih. Teramat perih. Kerongkonganku sakit. Aku makan sambil menangis.