Podcast Bu Heni

Diary Inkubator part2

Tidak ada komentar
Bayiku Biru
Setelah suster dengan enthengnya berteriak untuk menginfus anakku, langsung saja beberapa ibu menghampiriku. Untungnya sarapan tadi sudah selesai. "Bayinya kenapa ?...duh kasihan ya..iya lho dokter ini suka aneh-aneh pasiennya. banyak yang operasi. banyak yang prematur...dst..dst."Astaghfirullah. kenyataan ini benar-benar diluar dugaan. Kabarnya dokter ini yang terbaik. Dan aku, demi kualitas yang lebih baik, sengaja menekadkan diri kontrol ke dokter spesialis kandungan. Dibandingkan dengan anak pertama yang kontrol rutin ke bidan. Oopss..ternyata aku salah pilih dokter.
Aku tak mau begitu saja menerima permintaan suster itu. "Saya ingin ketemu dokter anaknya sus," pintaku. "Sudah saya telepon bu," kilah susternya. "Nggak. Saya ingin tahu penjelasannya. kenapa harus diinfus. Apa yang mau dimasukkan dalam infus itu." Mana tega aku langsung mengiyakan tangan bayiku yang mungil itu ditusuk berdasarkan perintah dari telepon saja. Dokter anak itu pun datang. Sore. Sebelumnya rombongan teman kantor suamiku menjenguk. Dan aku meminta suster menunjukkan anakku di balik kaca ruangan bayi. Selang oksigennya dilepas. Kulihat ada tompel biru di pipinya besar. Wah kok ada tompelnya ya. dan kulit anakku gelap, wah anak ini hitam ya kayaknya. Beda dengan kakaknya dulu, pas lahir kulitnya putih bersih. Hanya beberapa menit, lalu selang oksigen itu dipasang kembali. Selang oksigen murni itu diberikan pada anakku sejak baru lahir. Ketika kutanyakan kenapa pada suster, jawabnya, prosedural bu.
Dan tibalah masa yang menjatuhkan langit itu di atas kepalaku. Dokter Z, mengelus kulit bayiku. "Prematur bu". Hahh..aku dan suamiku tak percaya. "Lho, kata dokter D, bayi saya tidak prematur kok Dok. Beratnya juga sudah 2,5 kg." Aku menolak diagnosa itu. "Prematur bu, nih lihat. Kulitnya masih tipis," dokter itu membalikkan telapak tangan anakku. eh iya, kulitnya bening, urat-urat di dalamnya kelihatan. "Dan nafasnya tersengal-sengal bu, dia belum bisa bernafas langsung di udara bebas." Kulihat juga dada anakku naik turun dengan cepat. Kubandingkan dengan bayi lain yang juga baru lahir. Wah mereka relatif tenang. Sepertinya dia benar.Kulirik ke luar ruangan bayi, ada dokter D, dokter kandunganku mondar-mandir saja. Tidak masuk kedalam. Aku heran. Bukannya tadi pagi, ketika aku bertanya kenapa anakku perlu dioksigen dok ? jawabannya, "ah, seperti orang pakai kacamata. kalau baru pakai kan pusing. ya sama. dia cuma belum beradaptasi. tenang saja."Lalu apa alasannya beliau ini tidak masuk ke dalam, bukannya semestinya turut mendengarkan diagnosa dokter anak. Atas bayi yang dia usg sejak kandunganku berumur 4 bulan ? Hatiku memendam tanya.
"Bayi prematur ada golden age bu. Kita lihat 3 hari ini, kalau dia hidup ya hidup. Lalu lihat 7 hari, kalau dia hidup ya hidup. Sebelumnya lihat nanti sore ya bu, kalau hidup ya hidup"KALAU HIDUP YA HIDUP, KALAU HIDUP YA HIDUP..itu saja yang masuk di telingaku. Aku tak bisa berpikir namun harus berpikir."Infusnya untuk apa kalau begitu dok ?" Aku harus menerima saja diagnosa itu. "Makanan bu, jangan diberikan susu dulu nanti tersedak masuk ke paru-parunya." Oooo....kami pun mengijinkan anakku diinfus.
Setelah mengurus administrasi [pesan obatnya dan bayar], aku menunggu di depan loket apotek. Loket ini di dekat pintu masuk rumah sakit bersalin ini. tak berapa lama keluargaku datang. mereka kaget aku sudah duduk di luar. "Waduh Heni, baru melahirkan sudah jalan-jalan. Enak kayaknya ya. Wah, bentar lagi bikin lagi nih." Aku tersenyum saja. Anehnya tidak satupun air mataku keluar. Padahal aku ini cengengnya minta ampun. "Ngapain kamu ?"kakak perempuanku melanjutkan. "Ambil infus. Anakku mau diinfus." jawabku datar. Ekspresi saudaraku sangat terkejut. Kulanjutkan suaraku, "Mbak, jangan kasih tahu ibu ya. takut bapak kumat lagi. Juga jangan kasih tahu mbak-mbak lain yang lagi hamil, nanti stres kasihan bayinya." Pintaku.Dalam keluarga kami ini kebetulan 3 perempuan hamil bersamaan. seharusnya aku terakhir melahirkan, ternyata duluan. Dan malam di saat aku masih bergumul dengan kontraksi bayi, bapakku masuk rumah sakit [lagi] karena stroke. Dan sengaja aku baru diberitahu pagi hari, setelah aku melahirkan, dan sebelum aku 'dijahit'.
Obat, infus dan jarumnya sudah siap. Aku menanti diluar ruangan. Karena tidak boleh masuk. Takut bayinya kena penyakit bu, kata susternya. Aku duduk dengan ....[ada yang tahu rasanya orang baru melahirkan normal dan langsung duduk di atas kursi tunggu...bayangkanlah sendiri]. Masalah muncul lagi, tidak ada yang bisa menemukan pembuluh darah anakku di tangan karena terlalu halus. Yang bisa dilakukan adalah infus di kaki. Di RSB itu tidak ada suster yang bisa menginfus bayi di kaki, mereka menelpon suster dari luar. Aku menunggu dengan deg-degan. Suster itu datang, aku ingat bajunya biru. [sepertinya] tanpa masuk ke kamar mandi untuk mencuci tangan/kaki untuk sterilisasi, suster itu menghampiri bayiku. Dia menatapku, aku tersenyum. Aku tersenyum supaya dia tenang dan tidak salah tusuk. Hatiku bergetar sangat hebat. "Subhanallah wal hamdulillah walaailaahaillallahu allahu akbar lahaula wala quwwata illa billa" itu saja yang berderas-deras mengaliri lidahku. Ya Alloh...berikan suster itu ketenangan sehingga bisa memasang jarumnya dengan tepat, dan cabutlah rasa sakit itu dari anakku supaya dia tidak merasakannya. Do'a yang aneh mungkin, tapi itulah yang kuharapkan.
Anakku itu pun dikembalikan di inkubator. Keluargaku pulang. Suami dan mertuaku pulang. Aku kembali ke bed. Karena baru boleh pulang besok sore. Di kamar, sudah tersedia jatah makan malam. Aku menatapnya dengan mata nanar.

Tidak ada komentar

Terima kasih telah meninggalkan jejak dan memberikan komentar.
Pasti lebih menarik jika kita terus ngobrol. Bisa ke facebook: Heni Prasetyorini dan Twitter: @HeniPR. Sampai jumpa disana 😊