Podcast Bu Heni

Rasa Bersalah ini Membunuhku *cerita dari toko buku murah*

1 komentar

 Kemarin siang, saya dan adik ke toko buku murah di pasar Blauran Surabaya. Ini pertama kalinya saya datang kesini untuk membeli buku kimia untuk anak kuliahan alias textbook. Dulu saya kuliah di Bandung, dan beli buku murah meriah di jalan Palasari. Di Palasari toko bukunya rapi dan bukunya sangat lengkap. Mostly sih buku bajakan, sstt...
Teman dan keponakan yang sering belaanja di sini mengatakan kisaran harga bukunya 10 ribu - 20 ribu saja. walau bukunya tebal. Dan begitulah di hati saya begitu.

Kemudian satu demi satu toko saya datangi untuk menanyakan ada buku Kimia Dasar? kimia organik? biokimia? kimia analitik?
Buku di tiap toko ternyata tidak lengkap. Jadi saya mendapatkan tiap materi buku di satu toko buku saja. Saya merasa senang sekali, bisa menemukan buku tebal yang isinya bagus. Dalam arti, kertasnya bagus tidak buram, terjemahannya bagus bisa dimengerti, ilustrasi gambarnya bagus jelas.
Beberapa buku yang saya pilih memang kualitasnya jauh diatas buku yang ditawarkan seharaga 20 ribuan itu. kalau harganya 20 ribuan, kertasnya coklat buram. warna hitam saja. tidak ada ilustrasi yang menarik dan jelas.

Nah buku yang saya pilih, harganya diatas 70 ribuan. Satu buku Kimia Organik, yang harga aslinya 200 ribu. Ditawarkan 100 ribu. Lalu saya milih yang pinggiran bukunya rada sobek, dengan potongan harga jadi 70 ribu. Saat itu saya tidak begitu memperhatikan dan tidak begitu peduli dengan kondisi sampul buku. Saya hanya membuka isi buku yang begitu bagus dan sesuai dengan yang saya cari selama ini. Bukunya Kimia Organik.

Pulang dari pasar, dalam perjalanan saya mendadak ingat dan menyesal, kenapa memilih buku yang pinggiran sampulnya rada rusak? demi lebih murah 30 ribu? pasti nanti suamiku komentar gak setuju..
Dan benar, ketika sampai di rumah ibu tempat suami dan anak-anakku menungguku pulang. Beliau melihat kondisi buku dan berkomentar, kenapa buku rusak yang dipilih?
kujawab, Karena lebih murah 30 ribu.
jawabnya, cuma beda 30 ribu saja kok. mending milih yang bagus.
deg, hatiku sudah tidak enak, merasa bersalah, lalu saya berkilah, "kan 30 ribu lumayan, dapat satu buku lagi kimia analitik,"
saya menunjukkan buku berkertas coklat berjudul Prinsip Dasar Kimia Analitik.
Suami saya diam.
Hati saya tidak begitu.

sampai di rumah, saya masih merasakan penyesalan. Kenapa memilih buku yang ini ya? kenapa tidak memilih buku yang masih di kemas plastik?

misalnya tadi milih yang bagus trus ngotot nawar, pasti dikasihkan kali ya sama penjualnya?

kenapa aku nggak ngotot nawarnya tadi?
aku memang tidak pandai belanja, tidak pandai menawar. bener kata suami dan adikku tadi ya.

tapi kenapa tadi adikku nggak memperhatikan buku-ku ya? kok tidak diingatkan kenapa milih yang ini? yang pinggiran covernya rusak? dan kenapa dia nggak ikut bantuin aku ngotot nawar?

kenapa aku nggak bisa pelit sih kalau beli buku?
kenapa kalau sudah lihat isi buku yang bagus, sesuai kebutuhanku, aku sudah langsung gelap mata. pokoknya dibeli saja?

kenapa aku nggak seperti ibuku kalau belanja kain?
muteri tokonya sepuluh kali dulu, menawarnya puluhan kali, lalu kembali ke toko awal?
kenapa aku nggak telaten belanja?
pantesan bisnisku mandek kali ya? karena aku nggak bisa keliling pasar atau toko untuk mencari yang termurah, ngotot menawar harga dan pulang dengan puas hati.

bodoh banget aku ya?
bukannya buku ini abadi? bisa dipakai selamanya? bisa diwariskan ke anak cucu atau disumbangkan. kenapa milih yang covernya jelek?
apa bisa kukembalikan ya? tetapi kok jauh tempatnya, tidak mungkin.

begitulah, rasa bersalah begitu bertubi-tubi di hati dan kepalaku. seperti dibombardir peluru.
padahal jika diteliti lagi, isi bukunya sama sekali tidak rusak. sangat bagus. mulus.

Allahu Akbar. Saya sungguh sangat lemah mengendalikan perasaan bersalah. Apalagi sebagai ibu rumah tangga yang belum berpenghasilan sendiri seperti saat ini, ketika merasa salah membeli menggunakan uang suami rasanya seperti sudah dosa besar menjulang langit.

Semakin tua umur, semakin tajam rasa bersalah perihal ekonomi seperti ini. Semakin mudah tersinggung tentang hal seperti ini, walaupun pastinya suami saya sudah tidak mempermasalahkannya lagi.

Duh, itulah kenapa mungkin ya, perempuan, istri, ibu rumah tangga, harus bisa mandiri finansial juga. Agar perasaannya bisa stabil, percaya diri dan penuh harga diri.

Saya pun berusaha keras menentramkan hati.
Dengan mengakui, iya memang saya ada kelirunya. Memang tidak begitu pandai menawar harga. Ini adalah pelajaran berharga. Kelak jika belanja lagi, saya akan lebih telaten, sabar dan bisa berjual beli dengan baik saling menguntungkan. Saya pun tidak mau terlalu kejam menawar harga dan menyakiti hati penjualnya. Karena saya juga pernah berbisnis, berjualan, jika ditawar tanpa ampun rasanya sakit hati banget.

Saya berharap, kekeliruan saya memilih buku bisa jadi keuntungan buat penjualnya. Siapa tahu dia butuh uang lebih banyak untuk anak istrinya, dan saya termasuk yang membantunya. :)
yaaa begitulah namanya ingin menentramkan diri sendiri. :))
dan saya yakin dengan perasaan bersalah ini, kelak saya akan bisa mengajari anak saya, mantu saya kelak, cucu saya nanti, agar bisa belanja dengan lebih cerdas, hehehe. [maksa menentramkan hatinya ya]

Rasa bersalah itu seperti menelan pil kina tanpa air. Pahit betul >.<

1 komentar

  1. *Pukpuk*
    Sy jg pernah beli meja yg hrgnya beda dikit sama meja yg bagus, pdhal suami udah gk setuju tp hajar aja. Beneran gk lama mejanya rusak, nyesel bgt.
    Btw sampulnya diperbaiki aja mbak, diganti atau ditempelin kertas tebal atau sampul yg bgs ;-)

    BalasHapus

Terima kasih telah meninggalkan jejak dan memberikan komentar.
Pasti lebih menarik jika kita terus ngobrol. Bisa ke facebook: Heni Prasetyorini dan Twitter: @HeniPR. Sampai jumpa disana 😊