“Ibu, kasur ini kok masih ada aja
sih, nggak dibuang…??!” pekik Rini tertahan. Dia heran bukan kepalang, kenapa
kasur kapuk yang bentuknya sudah merana ini masih tersimpan abadi di rumah
ibunya. Ibu tersenyum menanggapi protes Rini, “jangan to, ibu nggak bisa tidur
kalau nggak pakai kasur ini.”
Ibu tidak mengindahkan tatapan
Rini yang sedikit bergidik. Diambilnya rotan “penebah” kasur. Dipukul-pukulnya
gagang rotan itu merata di kasur kapuk. Debu tebal serentak keluar, setiap kali
ibu memukulkan gagang rotannya. Bull…seperti asap putih. Uhuk, uhuk. Ibu
terbatuk-batuk perlahan karena debu kasur. Beliau hanya menutup hidungnya dengan
ujung daster batik lalu tetap meneruskan pekerjaannya menjemur dan membersihkan
kasur kapuk.
Rini pun tidak berniat untuk
mempermasalahkan kasur itu lebih lanjut. Dia lebih memilih untuk membersihkan
diri. Lima belas jam duduk di kereta api
Bandung-Surabaya, sukses membuatnya penat luar biasa. Rini mengguyur air seperlunya,
walau badannya ingin digerujuk air terjun saja rasanya. Tetapi tinggal di kota
Surabaya, harus sadar diri. Hemat air, hemat uang juga karena sumber air hanya
dari PDAM Surabaya. Tidak ada sumur dan alternatif lain.
Bicara tentang hemat, Rini hafal
betul sifat ibunya yang luar biasa hemat itu. Ibu berulang kali memberikan
nasihat padanya, “Jadi perempuan itu harus gemi
nastiti ngati-ati”. Yang artinya harus hemat dan berhati-hati dalam
membelanjakan keuangan. Ibu pun memberikan teladan yang super bahkan terlalu
sempurna dan sulit untuk ditiru. Apapun dilakukan ibu asal bisa hemat.
“Kalau bapakmu makan pake lauk
tempe. Ya ibu makan pake tempe menjes saja. Ngirit.”
Bahkan untuk lauk makanan pun,
ibu berani berkorban supaya hemat. Jika bapak dan anak-anaknya makan dengan
lauk tempe yang asli dari kedelai. Ibu memilih untuk makan tempe menjes yang
terbuat dari ampas kedelai dan harganya jauh lebih murah daripada tempe. Ibu
menceritakan hal tersebut dengan nada bangga, tidak ada rasa sedih atau
nelangsa sama sekali.
Dan setali tiga uang dengan ibu,
bapak pun sama saja hematnya. Walaupun diberikan jatah makan lauk tempe yang
spesial, bapak tidak mau makan enak sendiri. Beberapa kali Rini memergoki bapak
malah mengambil tempe menjes dan membiarkan jatah lauk tempenya untuk ibu.
Sayangnya ada kakak lelaki Rini yang suka mengambil tempe untuk ibu itu
seenaknya.
“Rini, ini ada surat dari
kampusmu.”
Ibu masuk ke dalam kamar Rini dan
menyerahkan selembar amplop putih yang isinya cukup tebal. Rini heran juga, ada
apa kok sampai diberi surat dari kampus. Rini merasa tidak ada yang salah
dengan kuliahnya satu semester ini. Segera diambilnya isi amplop itu, dan
bernafaslah lega dia kemudian.
“Isinya nilai kuliahku semester 1
ini kok bu. Aku kira ada masalah apa. Untunglah,” Rini menyerahkan beberapa
lembar transkrip nilainya kepada ibu.
Ibu menerimanya dengan tersenyum
senang. Dibacanya satu demi satu nama mata kuliah dan nilai yang diperoleh
Rini. Kemudian menyerahkan hasilnya itu kepada bapak yang sedang santai di
teras, di samping aquarium ikan yang baru dibersihkannya. Ibu pun jadi ikut
duduk di teras, di samping bapak. Ingatannya menerawang pada percakapannya
dengan bapak setahun yang lalu.
Kala itu siang begitu terik, sama seperti hari ini. Ibu selesai
menjemur dan menghilangkan debu-debu pada kasur kapuknya. Ibu meminta tolong
bapak untuk mengangkat kasur itu ke dalam kamar mereka. Kali ini mereka harus
melakukannya berdua karena bapak sudah tidak kuat mengangkat kasur sendirian.
Selesai merapikan kasur kapuknya, ibu menunjukkan sebuah kotak merah kepada
bapak. Kotak merah itu sedikit kotor kena kapuk.
“Pak, tabunganku sudah banyak.
Cukup untuk naik haji,”begitu kata ibu singkat.
Bapak menerima kotak merah yang
disodorkan ibu. Setelah dibuka ternyata isinya adalah perhiasan emas yang cukup
banyak. Ada kalung panjang, liontin, cincin dan gelang. Bapak kemudian duduk
dengan tenang di atas kasur sambil memegang kotak merah itu. Bapak sama sekali
tidak menyentuh perhiasan emas di dalamnya. Dadanya sedikit merasa sesak.
Bapak senang sekaligus prihatin.
Senang karena melihat ibu, istrinya itu, bisa membeli sendiri perhiasan emas
sebanyak itu. Gaji bapak sebagai tentara sekelas Bintara dan berpangkat Sersan,
mustahil bisa bersisa setiap bulannya untuk menghidupi keluarga besar. Keluarga
dengan delapan anak. Apalagi sampai bisa membeli perhiasan emas. Begitu pun dengan
uang pensiunannya sekarang. Mustahil.
Bapak menatap tangan ibu yang
penuh bekas goresan luka karena bekerja tiada hentinya. Untuk menambah
pendapatan keluarga, ibu berjualan rujak cingur dan kolak pisang di depan
rumah. Bahkan sebelumnya ibu juga menjahit baju, berjualan jamu, bensin dan
segala macam yang bisa dijual. Ibu mencari uang dan menyimpannya dengan
hati-hati. Setiap sudah berkumpul uang yang cukup untuk membeli perhiasan emas,
ibu segera pergi ke toko emas. Membeli sejumlah perhiasan sesuai dengan uang
yang dipunyai. Kemudian menyimpan perhiasan itu tanpa pernah dipakainya sama
sekali. Ibu suka menabung dengan emas, itu juga karena ibu menuruti pesan
terakhir dari nenek.
Karena perhiasannya tidak pernah
dipakai, bapak pun tidak begitu tahu tentang simpanan emas ibu. Apalagi ibu
menyimpannya di tempat rahasia yang siapapun tidak akan menduganya. Yaitu di
kasur kapuk. Caranya adalah ibu mengiris kain pinggiran kasur dengan silet,
memasukkan kotak merah itu ke dalamnya dengan hati-hati dan menjahit lagi kain
kasur yang terbelah dengan benang hitam sebagai tanda. Ibu sudah melakukan itu
selama bertahun-tahun, sejak anak pertamanya lahir sampai anak ketujuhnya,
Rini, akan masuk kuliah.
“Aku pingin naik haji pak,” kata
ibu dengan mata berkaca-kaca. “aku sudah nabung sejak anak-anak masih bayi.
Sekarang tahun 1996, naik haji harganya 7 juta-an. Ini kalau kujual semua, ada
8 jutaan. Dan ditambah uang kontrakan rumah kita di desa, aku bisa punya 12
juta.” Titik air mata ibu jatuh saking gembiranya.
Bapak melihat ibu dengan hati
berat. Bapak paham keinginan ibu begitu dalam, namun logika bapak saat itu
mencegahnya untuk setuju.
“Wong tuku
lombok ae, awakmu jik mikir ngono loh. Wistalah, duite gawe anak-anak sekolah
ae. Engkok lak awakmu isok munggah kaji. Wistalah percoyo karo aku , awakmu
isok isok munggah kaji.”*
Air mata ibu turun semakin deras tak
terbendung di pangkuan bapak. Dan bapak hanya menepuk pundak ibu sampai ibu
tertidur.
Dari percakapan itu, akhirnya Ibu
mengalah. Uang yang semestinya bisa dibuat untuk naik haji digunakan untuk
biaya kuliah Rini, kakaknya dan adik perempuannya yang masih SMA. Apalagi tanpa
diduga siapapun, Rini memilih kuliah di Bandung. Di kota yang jauh sekali dari
Surabaya, butuh dana lebih untuk kos. Ibu menyadari besarnya dana yang
dibutuhkan. Oleh karena itu untuk menambah penghasilan, ibu membuka warung
kecil untuk menjual rujak cingur dan kolak pisang. Bapak mempersiapkan
gerobaknya dan menghiasnya seindah mungkin. Mereka adalah tim yang kompak.
“Pak, ingat waktu kita mengantar
Rini pertama kali ke Bandung?”, lanjut ibu.
Bapak mengangguk dan matanya belum
lepas dari deretan nilai kuliah Rini di tangannya.
“Sampeyan kan pulang duluan sama mas Di. Nah aku sama mbaknya temen
kos Rini, orang Jombang itu, aku ikut masuk ke acara perkenalan mahasiswa baru.
Waktu itu aku lihat Rini kok nggak ada di deretan kursi mahasiswa baru. Eh
ternyata dia ada di depan. Dia ikut paduan suara mahasiswa baru. Ya Alloh pak,
aku sampai nangis lihatnya. Nggak nyangka itu dia kok bisa sampai ke Bandung.”
Bapak memang tidak banyak bicara,
hanya tersenyum. Tentu saja ibu begitu terharu, karena ibu belum pernah ikut
acara sekolah anak-anaknya. Bahkan untuk mengambil rapot sekolah pun biasanya
dilakukan oleh bapak. Dan melihat deretan nilai kuliah Rini, sama saja seperti
saat bapak menerima rapor Rini sejak SD sampai SMA. Dalam periode itu bapak
hampir selalu menerima berita yang sama. Rini masuk rangking satu, dua atau
minimal masuk sepuluh besar. Itulah kenapa, bapak tidak tega mencegah Rini dan
membiarkannya memilih kuliah sampai jauh di Bandung. Walaupun Rini hanya anak
perempuan, yang mungkin tidak bisa berkarir tinggi, bapak hanya ingin Rini
mendapatkan kesempatan sesuai dengan kerja kerasnya belajar sejak kecil.
“Ibu, bapak ngapain disini?”
mendadak Rini ada di belakang mereka.
Ibu segera menghapus air matanya. Bapak
melipat transkrip nilai semesteran Rini dan memasukkan dalam amplop.
“Ibu lagi latihan main ludruk,”
bapak menjawab sekenanya. Bapak ini walau jarang bicara, sekalinya bicara
biasanya bercanda.
Rini tertawa, “ aku di Bandung
malah dipaksa-paksa sama anak-anak asli Surabaya pak. Disuruh ikutan main
ludruk. Aku nggak mau ah, takut habis waktu. Nggak bisa belajar, malah nggak
lulus-lulus nanti.”
Mendadak ibu memeluk Rini yang
duduk di sampingnya. Rini kaget menanggapinya. “Ibu, ada apa to?”. Ibu pun
menatap Rini begitu dalam.
“Ibu dulu pingin sekolah saja nggak boleh, nduk. Disuruh kerja sama mbah,” ibu
mulai bercerita. Ibu tidak bisa lulus SD, karena ketika ujian akhir kelas 6,
ibu tidak boleh pergi ke sekolah.
“Percuma sekolah tinggi-tinggi. Yang penting
sudah bisa baca tulis. Nomer satu, perempuan itu bisa bikin sambel enak. Udah!” itu
kata-kata mbah Pah, neneknya Rini dari pihak ibu.
“Itulah sebabnya ibu bertekad
kuat-kuat, anakku harus sekolah setinggi-tingginya semua. Walaupun anak
perempuan.”
Kata-kata ibu membuat Rini merinding juga. Seperti tersengat
kata-kata yang dikobarkan bung Tomo saat memimpin pasukannya. “Dari kecil ibu
sudah dilatih untuk kerja, cari duit. Ibu lakukan semuanya asal halal, biar
bisa nabung untuk bayar sekolahmu. Sekolahnya kakak-kakakmu, adikmu.”
Rini terpaku di tempat duduknya.
Semua keluh kesah yang sudah dia simpan sejak dalam kereta api tadi, seketika
lenyap. Kesulitanku tidak ada apa-apanya dibanding ibu, pikir Rini.
“Kamu belajar yang
sungguh-sungguh ya. Jangan mikir yang aneh-aneh. Ibu berjuang disini, kamu
berjuang di Bandung.”
Rini menatap kasur kapuk yang
masih dijemur. Kainnya sudah kusam, beberapa tempat terlihat bercak jamur yang
berwarna hitam.
Hatinya menghangat ketika mendengar ibu melanjutkan ceritanya, “Ibu
menyimpan tabungan ibu di kasur kapuk itu. Tabungan emas. Dari situlah ibu bisa
mengirimmu kuliah di Bandung. Ibu melepaskan keinginan untuk naik haji, tapi
ibu yakin tidak akan pernah menyesali hal itu.”
note: *(“Untuk beli cabe saja, mau masih mikir gitu loh. Sudahlah, uangmu untuk sekolah anak-anak kita saja. Nanti kamu pasti bisa naik haji. Percayalah padaku, kamu pasti bisa naik haji”).
Blogpost
ini dibuat dalam rangka mengikuti Kompetisi Menulis Cerpen “Pilih Mana: Cinta
Atau Uang?” #KeputusanCerdas yang diselenggarakan oleh www.cekaja.com dan www.nulisbuku.com .
Tidak ada komentar
Terima kasih telah meninggalkan jejak dan memberikan komentar.
Pasti lebih menarik jika kita terus ngobrol. Bisa ke facebook: Heni Prasetyorini dan Twitter: @HeniPR. Sampai jumpa disana 😊