*tarik nafas panjang.
Keluh.
Ibu-ibu sedang menatap kembali bekas
peluh.
Cucian menumpuk, anak menangis, rumah
berantakan.
Dapur kemasukan tikus dan kecoa, kasur
penuh bekas ompol.
Jemuran baju semalam pun dengan mudahnya
terguyur air hujan tanpa sempat diselamatkan.
Keluh.
Jam kantor tak juga usai.
Peserta meeting kali ini berdebat tiada
henti dan tanpa solusi.
Anak pertama mau ujian sekolah, anak kedua
sedang demam di rumah.
Meeting pun usai, sang ibu pun bergegas
pulang.
Namun lagi, lagi, deretan kendaraan
menghadang. Macet.
Sedangkan hari sudah semakin malam.
Suasana seperti apa yang pernah dihadapi
oleh ibu bekerja?
Suasana seperti apa yang pernah dihadapi
oleh ibu rumah tangga?
Adakah yang malah menghadapi kedua-duanya?
Saya berani menjawab, ADA !
Wacana atas penilaian manakah yang lebih
baik, IBU BEKERJA atau IBU RUMAH TANGGA ?
Seakan takkan pernah usai sampai di hari
akhir nanti.
Konflik tiada akhir.
Tak tahu dimana ujung pangkalnya.
Seperti sinetron bapak-bapak yang ingin
naik Haji dari berjualan bubur. Yang sudah jualan bermangkok-mangkok bubur, entah kapan berangkat hajinya.
semua SAMA BAIKNYA gitu aja, bisa kan?
Baiklah, intro dan prolog cukup sampai
disini. Mohon maaf, saya jadi terusik kembali untuk menuliskan tema ibu rumah
tangga, setelah melihat sliweran berita viral yang ada di sosial media saat
ini. Tentang Pantaskah ibu disebut ibu ? tentang betapa baiknya menjadi Stay at
Home Mom, dan sebagainya. Saya akan mencoba berbagi pengalaman pribadi di
artikel saya ini.
Suatu hari, tiba-tiba saya dikontak
kembali dengan teman sekamar saya waktu kos di Bandung dulu. Kami beda jurusan,
tapi kuliah di kampus yang sama. Senang sekali, karena sudah hampir 5 tahun
lebih hilang kontak. Dari ngobrol sana-sini, saya katakan mau kuliah lagi, S2.
Teman saya ini langsung menuliskan komentarnya,
"Loh, kok kamu gitu sih Rin. Tau
nggak, aku ceritain tentang kamu loh ke murid-murid aku. Kalau aku nih punya
teman yang hebat. Dia ngelepasin kerjaannya di LIPI demi jadi ibu rumah
tangga."
Kaget juga saya membaca komentarnya.
Segera saya jawab dengan sedikit emosional. "Loh, masak aku kuliah lagi
itu artinya nggak jadi ibu rumah tangga to?"
Dia pun menjawab (mungkin sadar kalau saya
tersinggung), "bukan maksudku gitu. Aku ingat kamu dulu keras sekali kalau
ngomong tentang pentingnya jadi ibu rumah tangga. Iya kan."
Degh.
Iya juga, saya baru sadar. Dan kembali
ingat masa-masa itu. Saya berusaha membalas pesan teman saya dengan bahasa
seaman mungkin. "Iya bener. Aku memang dulu keras banget. Tapi itu dulu.
Sebelum aku tahu keadaan nyata dunia ibu rumah tangga ini. Nggak semua ibu-ibu
bisa jadi ibu rumah tangga, mpok. Tidak semua suami bisa menyokong istrinya
secara ekonomi. Dan ada juga ibu-ibu yang mempunyai kewajiban ekonomi untuk
keluarga besarnya. Mungkin untuk ibunya, mungkin untuk anak dari suaminya
terdahulu sementara dia segan meminta dari suaminya sekarang. Sekarang pandanganku
terbuka mpok. Kita tidak bisa menentukan ini baik, ini tidak. Kita tidak tahu
apa yang terjadi di balik pintu rumah orang."
Teman saya pun mengakhiri chatting malam
itu, dengan pertanyaan lagi, "oke, jadi setelah lulus kamu mau kerja
kantoran ya?"
Sambil tertawa saya menjawabnya,
"kuliah aja belum mulai mpok. Ya nggak tau deh, udah umur segini, kalau
ada yang mau nerima kerja di kantornya ya mau deh aku."
"Kalau gitu ngapain kamu kuliah
lagi?"
Dan pesan terakhir teman saya itu, tidak
saya jawab. Saya matikan ponsel, lalu pergi tidur.
Oke,, sudah merasakan suasana hati seorang
ibu rumah tangga dalam percakapan itu? apakah dia merasa termotivasi oleh
temannya sendiri yang juga perempuan? atau malah terintimidasi?
coba dijawab.....
Tetapi walau sakit hati, saya bersyukur
juga sudah menerima komentar itu dari teman saya. Saya jadi sadar, betapa
awamnya saya waktu itu. Seenaknya menyarankan orang jadi ibu rumah tangga saja
di rumah. Padahal saya tidak tahu latar belakang kehidupan orang itu. Jika bisa
bertemu lagi, saya akan mohon maaf.
Saya mencoba menerima keawaman saya itu sebagai fase yang harus
saya lewati. Saya menjadi ibu rumah tangga bukan karena cita-cita sejak awal. Keadaan
yang memaksa saya harus membuat pilihan itu. Dan saya yakin, banyak perempuan
yang mengalami hal yang sama.
Menjadi ibu rumah tangga itu tidaklah semanis yang dikatakan para
artis. Banyak komentar masyarakat sekitar yang membuat sakit hati. Apalagi jika
kita pernah sekolah di tempat yang kabarnya terbaik. Lulusan kampus ternama.
Seorang tetangga pernah bercerita, “Mbak, kata suamiku loh, mbak
ini kok sayang banget sih nggak kerja. Mbok ya buka les privat atau apa gitu
loh. Sayang kan ilmunya sia-sia.”
Eh, ternyata di rumah tetangga, saya jadi bahan obrolan suami
istri itu. Saya tersenyum saja. Mereka tidak tahu bagaimana detilnya merawat
anak yang lahir prematur supaya bisa tumbuh sehat dan normal, seorang diri dan
mengerjakan pekerjaan rumah tangga. Jangankan memberikan les privat. Bahkan meninggalkan
anak tidur dalam kamar tertutup saja, harus saya cek setiap saat sambil melihat
gerak naik turun dadanya, apakah masih bernafas?. Mereka tidak tahu.
Lalu ada lagi, yang datang dengan cemberut. “Kemarin aku lembur di
kantor. Capek kan. Nggak masak. Anakku belum makan. Suamiku ngomel lagi,
katanya gini nih, “Kayak mbak Heni gitu loh, di rumah aja ngurus anak sama
suaminya.”. “Ya aku jawab aja mbak,
kawin aja sama mbak Heni kalau gitu!”
Nah loh, saya ternganga mendengar tetangga yang kok ya sampai hati
nyeritain hal itu ke saya. Kalau nggak ingat umur, bisa ambil bambu runcing nih
saya. Tersinggung berat!
Beda ketika bertemu dengan kakek atau nenek tetangga sebelah, yang
kebagian jatah ngasuh cucu-cucunya ketika anak dan mantunya kerja di kantor, di
luar rumah. Dengan gurat wajah lelah, sambil menggendong bayi mereka menegur
saya yang sedang menjemur baju. “Nyuci mbak Heni?”
Saya menjawab sopan, “nggih Uti.”
Beliau pun melanjutkan kalimatnya, “Enak ya kayak mbak Heni ini.
Di rumah. Anaknya diemong sendiri, diasuh sendiri. Bisa pinter. Nggak kayak
mamanya si ini nih. Kerja sampai malam lembur-lembur. Hujan kehujanan. Kasihan.
Kadang sampai vertigo.”
Kalau sudah kejadian gini, maka saya cuma tersenyuuum tipis dan
menatapnya iba. Nenek dan kakek itu sebenarnya lelah.
Itulah yang terjadi terutama ketika tinggal di kota besar dan
kompleks perumahan. Mayoritas ibu-ibunya kerja di kantor di luar rumah. Kalau
pagi sepi sekali. Tahu siapa teman saya selain kakek dan nenek tadi?
Teman saya itu para pembantu, yang sekarang disebut asisten rumah
tangga. Ketika menyuapi anak pagi, siang dan sore hari, saya barengan dengan
mereka. Belanja sayur ketemu mereka. Menemani anak balita bermain mencari
belalang dan capung di sekitar rumah pun bersama mereka. Sempat saya iri juga
loh sama mereka. Ya iri ya malu juga. Para asisten rumah tangga itu kan hebat,
jadi ibu rumah tangga dobel-dobel. Mereka yang kerja mengurus rumah dan anak
orang, lalu pulang harus ngurus rumah dan anaknya sendiri. Tapi kelihatannya
segar bugar dan tidak kelelahan seperti saya waktu itu. Saya pun malu, mereka
punya gaji dari keringatnya sendiri, sedangkan saya?
Sempat juga terpikir, kalau akhirnya kerjaan dan aktivitas sama
saja kayak asisten rumah tangga, kenapa saya ditakdirkan susah-susah sekolah ya,
buat apa?. Dan ketika masa itu, komentar negatif lah yang masuk dalam pikiran
saya. Saya gagal? Benar. Ilmu saya sia-sia? Ya benar. Saya malas? Ya benar. Dan
seterusnya.
Konflik batin ini tiada akan berhenti. Karena komentar orang juga
itu-itu saja. Untuk mengatasinya, karena sudah ada sosmed dan blog, saya pun
menuliskan keutamaan dan kelebihan menjadi seorang ibu rumah tangga. Terutama dari
sudut pandang agama. Saya tuliskan, akan mudah mendapat pahala. Begitu berharga
karena menjadi pendidik generasi penerus bangsa. Dan hal lainnya yang secara tersirat maupun tersurat
akhirnya menunjukkan bahwa ibu rumah tangga itu lebih baik daripada ibu
bekerja. Sebenarnya bahan tulisan itu ya dari saya browsing sana-sini. Karena sejak kecil sampai gede, saya diajari ilmu agama cuma 2 jam seminggu di sekolah. Saya meniru tulisan-tulisan itu.
Dalam perjalanan waktu, saya sadari bahwa saya menulis itu semua
sebenarnya untuk menutupi luka batin saya sebagai ibu rumah tangga. Atau untuk
memberikan kekuatan pada diri sendiri, karena lingkungan tidak bisa
melakukannya untuk saya.
Fase itu sudah berusaha saya lalui dengan damai. Yang artinya,
sudah saya tidak umbar-umbar lagi dalam bentuk tulisan apapun di sosmed, bahwa
menjadi ibu rumah tangga itu lebih baik.
Sempat saya berpikir, apakah hal ini hanya terjadi pada diri saya
saja. Ternyata tidak juga loh. Ada beberapa teman saya, yang sempat jadi
pejabat penting di kantor tempatnya bekerja dulu, dan harus resign lalu jadi ibu rumah tangga, karena
mengikuti suaminya ke luar kota dan luar negeri. Dari statusnya di sosmed, atau
gambar yang dijadikan profil picture, saya simpulkan ternyata masalahnya sama
saja seperti saya. Diremehkan karena dianggap hanya sebagai ibu rumah tangga.
Begitulah, tidak mudah menyandang gelar ini.
Di saat seorang ibu, mengurus anak prematur sendiri tanpa dibantu
neneknya atau asisten rumah tangga. Lalu berhemat habis-habisan demi biaya
anak. Bercermin pun tak sempat. Lalu ketika berkumpul bersama keluarga besar,
dia dikomentari, “item banget sih wajahmu, nggak pernah facial ya?!”.
jederr...sakitnya tuh disini....!!!
Saya yakin, nyeri hati yang sama juga dialami ibu bekerja di luar
rumah. Ketika sampai di rumah neneknya, tempat menitipkan anaknya untuk
sementara. Baru saja membuka helm dan masuk pintu rumah neneknya, langsung
diserbu anak-anak yang mulai menangis karena minta mainan, jajan atau es krim. Dan
nenek yang berteriak,”hei, seharian tadi kamu nggak nangis ya. Pinter. Sekarang
mama datang, kok malah nangis sih.”
Mengalami?
Menjadi ibu itu tidak mudah.
Menjadi bapak pun tidak mudah.
Tapi tidak ada wacana konflik bapak rumah tangga apakah lebih baik
daripada bapak bekerja. Walaupun di dunia nyata ada yang terbalik seperti itu. Istri
bekerja, suami di rumah. Namun masyarakat kita tidak
mempermasalahkannya. Setidaknya tidak dijadikan ukuran kepantasan seperti yang
bergema di sosial media.
Kepantasan menjadi ibu, diukur dari berapa jam bertemu anak,
apakah juga bijaksana?
Saya kok jadi teringat dengan walikota Surabaya, bu Risma. Bu Risma
ini bekerja sejak pukul 6 pagi. Bahkan jika ada hujan deras, tengah malam pun
bu Risma pergi keluar rumah. Jika dihitung mungkin cuma 1 jam ketemu suami, 1
jam ketemu anak.
Lalu, beliau boleh disebut tidak pantas jadi ibu?
Kata “IBU” saja, begitu sakral untuk bisa disematkan dengan bebas
pada kalimat analogi seperti yang sedang di-share kemana-mana saat ini.
Kita harus sangat hati-hati dalam menggunakan kata ini. Karena banyak
sekali definisi ibu. Apakah ibu hanya yang melahirkan anak dari rahimnya
sendiri?
Bagaimana jika ada perempuan bekerja, menikah, lalu mengasuh anak
suaminya?. Dan karena kondisi, dia harus bekerja bahkan lebih dari 8 jam
sehari. Apakah dia tidak pantas di sebut ibu?
Bagaimana jika ada perempuan bekerja, mengasuh anak orang, dan
dengan kasus sama harus meninggalkannya lebih dari 8 jam sehari? Masih tidak
pantaskan dia disebut ibu?
Kalimat analogi ini, yang menyematkan tentang IBU, hemat saya tak
perlulah dituliskan. Karena dampaknya ternyata besar. Dunia ibu-ibu jadi resah.
Ibu bekerja tidak terima. Ibu rumah tangga kena juga.
Sejak bertemu beraneka kondisi ibu-ibu secara nyata di dunia ibu
rumah tangga. Saya semakin menyadari bahwa kita benar-benar tidak bisa menilai
orang lain baik atau buruk.
Saya meyakini, tugas manusia itu sebenarnya hanya berusaha keras
berbuat baik. Urusan penilaian bukan tugas manusia, tapi tugas Pencipta
Manusia.
“Urusan-ne Gusti Alloh”, gitu kata Cak Nun. “Yang membuat manusia
masuk surga itu bukan amal baiknya. Bukan jumlah tahajudnya dan puasanya. Yang bikin
manusia masuk surga itu, karena Gusti Alloh ridho padanya. Titik. Ora usah
repot-repot mikirin mengubah manusia. Wong manusia itu tak punya kuasa pada
tahinya sendiri kok. Lah iya toh. Untuk nahan diri biar dia nggak buang air
besar aja nggak bisa kan. Sekelas Nabi saja, tidak bisa mengubah anak istrinya
jadi baik, kok kita yang kayak gini merasa lebih baik dari orang lain. Yo Non
Sense. Mustahil.”
Membaca tulisan dan mendengar ceramah
budayawan Cak Nun (Emha Ainun Najib) ini semakin menguatkan keyakinan saya.
Bahwa, apalah kita ini. Mau di cap ibu rumah tangga males, Cuma glundang-glundung
di rumah, ya sudah biarin saja. Mau dicap ibu bekerja, kok enak-enakan, teganya
nggak ngurusin anaknya, ya sudahlah biarin saja.
Kalau ada berita beginian, dan
hati kita panas, ya tulis saja komentarnya di status. Nggak perlu nge-share
beritanya atau capture picturenya. Eman-eman. Sayang. Percuma. Nanti yang emosi
makin meluas. Yang jualan makin laris. Dia yang tepuk tangan. Dan kita?
Seperti halnya elektron di struktur atom. Elektron punya
konfigurasinya masing-masing. Punya kamarnya masing-masing. Punya tempatnya
masing-masing. Seperti halnya manusia yang punya garis hidup dan takdirnya masing-masing. Tidak ada teori
yang berhasil menunjukkan bahwa garis hidup si A lebih baik dari garis hidup si
B. Kalau mau dijadikan persamaan matematika, bakal ruwet. Variabelnya banyak. Otak manusia nggak mampu menjangkau.
Jadi ibu rumah tangga, ya kurang lebih seperti yang saya ceritakan itu
keadaannya.
Jadi ibu bekerja, ya
seperti yang saya sempat amati itu keadaannya.
Namun menjadi perempuan yang semakin lebih baik ke depannya,
adalah semangat yang perlu terus dijaga. Nambah keterampilan. Nambah pengetahuan.
Tidak ada ilmu yang sia-sia.
Ketika ada yang berkata, “ngapain pake kuliah lagi, mending kursus
kue aja bisa dagang. Menghasilkan. Cepet balik modalnya.”. Ya, sudahlah. Manusia
bebas berkomentar. Kita pun tidak usah terbakar emosi dan berusaha menulis
artikel untuk menjelaskan diri. Nanti ada pihak yang tersinggung, rame lagi. Menjelaskan kondisi rumah tangga kita panjang lebar juga, nggak pantes. Haduuh, ngabisin umur, tahu!! (*gitu kata Mamah Dedeh)
Ibu saya terus meyakinkan, “ilmu takkan sia-sia. Garis hidup orang
itu beda-beda.” Kita hanya harus terus maju ke depan, sesuai kondisi saat ini.
Ketika
anak masih bayi, tak bisa ini itu, ya sudah dinikmati ngurus anak di rumah. Asal anak bisa sehat. Ketika
keluarga masih membutuhkan uluran dana dari kita, ya nikmati kerja kantoran
dengan hati lapang. Waktu yang bisa memberi jawaban.
Marilah para perempuan, kita bergandeng tangan.
Tugas kita
sudahlah sangat berat.
Mari saling menjaga hati.
Ingat, Semua orang pantas disebut IBU.
Kecuali bapak-bapak!
disclosure: tulisan ini adalah pengalaman saya pribadi. Mohon maaf jika ada kesalahan dan kurang berkenan. Salam ibu-ibu pecinta damai :)
Ibu rumah tangga atau ibu kantoran nggak masalah yang penting bisa memainkan perannya dengan baik, benar, dan ikhlas.
BalasHapusNothing wring with a house wife
Salam hangat dari Surabaya
Itulah maksud saya pakde :)
HapusIbu rumah tangga itu cape
BalasHapusWanita kerja juga cape
Ibu rumah tangga plus kerja malah tambah cape hehe..Be a good moms aja lah ya hoho.
Hidup capeeee.... 😄
Hapuswah, postingan yang mantav sekali.
BalasHapusbacanya ikut greget, soalnya ngalamin sendiri aku juga..
orang-orang sukanya komentar, peduli amat dg perjuangan di balik keputusan yang diambil (IRT full time atau wanita karir), yang mereka lihat ya mereka komentarin, Yang baik biasanya enggak kelihatan, yang jelek walau sebesar dzarrah bisa jelas banget di mata mereka. Hehe
Seperti cerita keledai dan tuannya, gini dikomentari, gitu dikomentari.... :)
Hapusmau jadi ibu rumah tangga atau ibu kantoran tetep aja banyak yang komen :D mulut manusia emang buat ngomong sampai ngak ada remnya.
BalasHapusMungkin rem nya blog? Hehehehe.
HapusYa begitulah mbak Hani
Puanjuanggg ceritanya mbak. Apapun pilihannya dinikmati aja sih
BalasHapusIni masih 10% nya cerita aslinya, #eh 😂
HapusIni masih 10% nya cerita aslinya, #eh 😂
HapusKeren mbak! Ternyata saya tidak sendiri hehehe 😂
BalasHapusTooossss ah
HapusTooossss ah
Hapus