Suatu hari, Edison memberikan selembar kertas kepada ibunya.
Kertas itu berasal dari gurunya di sekolah.
Mata ibunya berkaca-kaca, lalu dia membacakan isi kertas itu keras-keras kepada Edison.
Anak anda sangat jenius. Sekolah ini terlalu kecil untuknya dan tidak bisa memberikan guru yang baik untuk melatihnya. Tolong ajari sendiri anak anda.
Edison akhirnya benar-benar berhenti sekolah, dan belajar sendiri bersama ibunya di rumah. Bertahun-tahun kemudian, Edison menjadi salah satu penemu terbaik abad ini. Thomas Alva Edison adalah penemu lampu pijar, yang kemudian berkembang menjadi listrik sangat bermanfaat bagi kehidupan di dunia.
Setelah ibunya meninggal Edison menemukan kertas yang pernah dia berikan kepada ibunya waktu itu. Di situ tertulis,
Anak anda mengalami sakit mental. Kami takkan mengijinkan dia sekolah di sini lagi.
Edison menangis berjam-jam membaca isi sebenarnya dari kertas itu. Llau dia menulis di buku hariannya,
Thomas Alva Edison adalah anak aneh, yang karena sikap kepahlawanan ibunya, menjadi orang paling jenis abad ini
-----------
Duh, meleleh hati saya membaca surat Edison ini.
Saya teringat waktu itu, begitu panik ketika anak kedua saya, Aji, sepertinya akan "ditolak" oleh sebuah sekolah dasar, karena dianggap "belum bisa baca tulis" dengan baik.
Saat itu saya sampai bolak-balik ke TK asalnya, namun tak mendapatkan dukungan berarti. Ada satu statement dari psikolog anak saya tadi, yang malah membuat hati saya jatuh berantakan.
sepertinya anak ibu ini DYSLEKSIA
Saya kaget sekali mendengar hal itu. Dalam hati saya menyangkalnya. Karena anak saya bisa berhitung. Beberapa kali malah bisa menulis dan membaca, jauh dari jurnal perkembangannya di sekolah. Tetapi kendalanya, dia bisa calistung dengan baik kalau belajar dengan saya sendiri, berdua saja, face to face.
Berbeda jika dia ada di sekolahan. Konsentrasinya cepat sekali buyar. Dan anak saya bilang kalau temannya rame, dia nggak bisa mikir.
Saya coba sendiri membuktikan bahwa anak saya tidak dysleksia. Karena minimnya pengetahuan saya waktu itu juga, saya anggap dysleksia mirip dengan autis. Dan anak saya normal semuanya. Dia bisa bergaul, bercanda. Bisa berjam-jam mengerjakan mainan, yang artinya bisa juga berkonsentrasi tinggi.
Anak saya bahkan dengan suka rela menghitung angka 1,2,3 sampai 100. Dan bisa menghitung mundur. Itu waktu dia kelas TK A. Jadi saya benar-benar tidak terima anak saya diduga dysleksia.
Waktu pun berlalu, anak saya akhirnya diterima di sekolahan itu. Maaf sebelumnya saya jelaskan, bahwa kami memilih dia di sekolah tersebut, semata demi pemahaman dan pembiasaan agama Islam yang baik. Saya menyadari sangat terbatas ilmu agama dan kemampuan mengajari anak tentang agama Islam. Maka masuk SD Swasta Islam yang sudah saya daftarkan indent setahun yang lalu, adalah pilihan kami.
Apa yang terjadi ketika anak saya kelas 1-2 SD?
Ternyata dia masih mengalami kendala baca tulis. Beberapa kali gurunya mengeluh, kenapa Aji tidak bisa memahami pelajaran. Saya tetap mengelak, "kalau di rumah, belajar sama saya, benar semua bu. Bisa ngerti. Kenapa di sekolah begitu?'.
Gurunya tidak bisa menjawab, dan malah mengatakan satu usulan yang makin membuat hati saya pecah berkeping-keping,
bagaimana kalau Aji, diberikan "guru bayangan" ?
Saya sangat tersinggung waktu itu, kenapa sampai gurunya mengatakan hal tersebut. Anak saya tidak autis bu, kenapa sampai butuh guru bayangan?
Begitulah, kalau ilmu minim, emosi gampang kesulut ya?
Untung saja, saya menyimpan emosi itu di hati saja. Hanya saya tak habis pikir, kenapa sampai begitu. Separah apakah anakku?
Saya pun bertanya kepada kakak yang menjadi kepala sekolah sebuah SD dan pernah menangani anak TK dan SD kelas 1-2. Katanya, "ah tenang saja, tiap anak punya masa peka sendiri-sendiri. Anakmu juga nanti akan bisa baca tulis sendiri."
Saya pun tenang dan mencoba membiarkan anak saya berkembang sesuai kemampuannya. Dengan perasaan, saya siap-siap jika ternyata harus mengambil keputusan untuk mengajar sendiri di rumah. Homeschooling.
Hal ini menjadi beban pikiran yang sangat besar. Rasa bersalah, bingung, campur aduk. Terlebih ketika saya browsing, seperti ada kaitannya antara pengidap dysleksia dan kelahiran prematur. Lah, anak saya ini lahirnya dulu prematur.
Ketika saya kuliah lagi, konsentrasi saya ke anak sangat berkurang. Terlebih ke anak saya ini, Aji. Saya benar-benar menyerahkan kepada sekolahan. Waktu itu saya nggak ambil pusing tentang akademisnya. Yang penting kamu diajari ngaji, sholat dan berakhlak baik aja dah cukup nak. Nanti akademisnya saya permak setelah lulus kuliah. Hal ini juga berat sekali waktu menjalaninya. Mending drop out nggak pake nerusin kuliah S2 kok rasanya, tapi semua sudah dijalani, dan harus dilakoni dengan tanggung jawab.
Dalam masa itu, yang saya lakukan adalah seperti ibunya Edison diatas. Saya jadi garda paling depan anak saya untuk melindungi kepercayaan dirinya. Tentu dengan keterbatasan anak saya itu, dia jadi langganan remidi ujian. Anehnya, untuk bahasa Inggris, dia bisa memahami dengan natural.
Saya masih menyimpan pertanyaan, "apakah benar anak saya dysleksia?"
Dan apakah semua keterbatasannya dalam belajar di sekolah ini, dikarenakan dysleksia?
Jurnal pencarian ini, akan saya tulis di artikel selanjutnya...
Stay tune....:)
Apakah anak anda, mengalami hal serupa? lalu apa tindakannya?