Pulang tarawih, ngaso sambil nonton TV. Kebetulan mencet channel TVRI Nasional. Ada film berlatar masyarakat pedalaman Indonesia di Sumba. Berlian Merah ternyata diperankan oleh Nurul Arifin. Semula kupikir ini film dokumenter. Karena menyajikan beberapa macam upacara adat. Ternyata ada alur cerita fiksinya.
Sebenarnya aku hanya sempat melihat separuh film saja. judulnya pun tidak tahu. Kutunggu di akhir acara, tidak muncul juga. Jadi judul yang kutulis ini rekaanku sendiri. Walaupun hanya setengah, film ini sangat menarik dan bermutu tinggi. Coba saja ditayangkan di bioskop Indonesia-nya Trans TV. Pasti bisa meningkatkan mutu stasiun itu di mataku.
Begini ceritanya,
ada anak lelaki kecil bernama Lewa. Di desa sedang ada upacara adat pensucian hewan, entah untuk apa. Beberapa kambing dan babi disembelih. Ngiris melihatnya. Karena leher kambing dipotong dengan santai pelan-pelan. Pisaunya tak terlalu tajam, sehingga leher kambing tidak terpotong dengan sekali tebas. Lalu babi besar sepertinya babi celeng, yang sudah diikat di sebatang kayu/bambu, ditusuk dibagian lehernya, dengan bambu runcing, dua kali.
Ketika para tetua menyelenggarkan upacara itu, Lewa diam-diam menarik sesuatu di gerobaknya dengan berkuda. Sesuatu itu dibungkus kain tenun adat Sumba. Di suatu tempat tersembunyi, di balik semak-semak, Lewa membuka penutup kain dari benda yang dibawanya itu. Dan tampak wajah seorang lelaki. Lelaki itu matanya tertutup, di mulutnya seperti mengigit semacam daun kering, telapak tangan menyangga kedua pipinya. Lewa kemudian memotret lelaki yang ternyata mayat itu, dengan kamera instan. Kemudian menutupnya kembali dan berkuda menuju tempat 'sekolah'. Di depan sekolah itu Lewa berteriak, "Bu Guru, ini wajah bapakku," sambil mengacungkan foto bapaknya yang baru saja dia ambil.
Sementara di desa gempar, seorang lelaki tua berlari keliling kampung sambil berteriak, "ada mayat hilang....ada mayat hilang". Tentu dengan bahasa adat Sumba. Berlarilah beberapa lelaki menyambut pemberitahuan itu. Dan dua orang lelaki menyerbu Lewa di depan sekolah. Lewa tak sempat berkelit. Dengan foto bapaknya yang masih di tangan, Lewa dilemparkan ke sungai, dari ketinggian kira-kira 3 meter. Selanjutnya dilakukan upacara minta maaf kepada jenazah. Beberapa lelaki tua berkumpul di dalam rumah. Lewa duduk di antara mereka, tepat di depan jenazah bapaknya yang terbungkus kain tenun. Beberapa mangkok sesaji dan dupa, ditambah dengan penyembelihan seekor ayam, yang sekali lagi dilakukan dengan perlahan-lahan, sampai darahnya mengucur di dalam mangkok itu. Mungkin darah itu yang digunakan sebagai tanda persembahan.
Lewa kecewa, keinginannya menunjukkan wajah asli bapaknya ditentang banyak orang. Dia pun menulis surat kepada bidadari. Untuk bertanya kenapa dia salah. Dan surat dalam amplop putih itu diserahkannya kepada petugas pos yang datang ke rumah bu Guru. Lewa menyerahkan beberapa ekor ikan kepada bu Guru, sebelum bertemu dengan pak Pos itu.
Selain cerita Lewa, ada seorang lelaki muda, adik ipar dari Berlian Merah. Yang marah besar ketika ada Kuda Liar, lelaki kaya yang ingin melamar Berlian Merah, ketika kakaknya dibunuhnya dulu. Berlian Merah marah kepada lelaki itu dan akhirnya dilanjutkan dengan adegan pernikahan Kuda Liar dan Berlian Merah. Sepasang pengantin duduk di atas kepala truk besar. Di belakangnya, berdirilah beberapa pengiring pengantin. Truk itu dan sebuah truk lainnya yang lebih kecil, melaju kencang menyusuri petak jalan. Kencang sekali, sampai-sampai aku berpikir, apa pengantinnya tidak takut jatuh kebawah ya.
Dan adik ipar si Berlian Merah itu akhirnya bersahabat dengan Lewa. Mereka mempunyai tempat spesial, yaitu bangkai pesawat besar. Lelaki itu berkata, "aku sekarang tidak punya rumah. Kuda Liar membunuh kakakku, lalu menikahi iparku. Sekarang dia tidak bisa mengejarku karena aku tinggal di awang-awang. Ayo Lewa kuajak kau terbang. Menemui bidadari yang sering kau bicarakan itu."
Lelaki muda ini akhirnya mati bunuh diri. Karena tidak bisa menahan amarah ketika Kuda Liar menuduh Lewa adalah anak yang berbahaya. Karena Lewa beberapa kali menyeberang ke kampung seberang sungai. Lalu memotret seorang gadis kecil yang bertelanjang dada, sambil bertanya,"kenapa kau tidak punya buah dada?". Mengakibatkan perang antar kampung yang merasa tersinggung oleh perbuatan Lewa itu. Perang itu menyebabkan beberapa orang tewas tertusuk tombak dan pedang, dan mayatnya dibiarkan di sungai bersama kuda-kuda milik mereka yang tewas.
Lewa nampaknya terobsesi dengan buah dada. Karena sempat dia dikejar seorang ibu yang sedang menyusui anaknya. "Kurang ajar kamu, berulang kali memotret susu ibu,". Mungkin karena Lewa juga ditinggal mati ibunya. Semula kukira Berlian Merah adalah ibunya Lewa. Karena dalam suatu waktu, Lewa tidur di ranjang kamar Berlian Merah, dan perempuan itu bersenandung lagu untuk meninabobokan anaknya. Sekali lagi Lewa bangun dari tidurnya dan memotret Berlian Merah tepat di bagian buah dadanya. Berlian Merah bangun dan kaget. Setelah melihat hasil foto Lewa, dia pun mengatakan," Kemarilah Lewa, kau ingin air susu ibu? kesinilah ciumlah mendekatlah tidak apa-apa."
Adegan ini fatal. Karena di malam harinya, ketika ada upacara injak padi [panen raya mungkin], Lewa menodongkan panah ke Kuda Liar. Dan pencegahan oleh Berlian Merah malah membuat anak panahnya meluncur terlepas dan menancap tepat di dada Kuda Liar. Terbunuhnya lelaki penjual ternak itu, menyebabkan Berlian Merah menghadapi persidangan. Foto buah dadanya yang sedang dicium Lewa membuatnya disangka bersekongkol untuk membunuh Kuda Liar. Namun dia berkelit, itu terjadi semata karena menganggap Lewa adalah anaknya sendiri. Dan dia sudah lama ingin punya anak. Sementara dia pernah hamil namun keguguran.
Saksi kedua adalah bu Guru. Yang menangis tak henti-henti. Mengingat perbuatan biadab Kuda Liar padanya dalam mobil metro miliknya di suatu malam. Ketika dia sedang mencari Lewa yang marah besar, setelah tahu bahwa bidadari yang membalas suratnya selama ini adalah bu Guru. Bu Guru sempat pergi meninggalkan sekolah dan berpamitan pada Lewa. Karena tak sanggup menanggung kepedihan hati. namun di persidangan itu dia dihadirkan juga. Dan perkataan jaksa yang diperankan oleh Jajang C. Noer, malah membuatnya menangis dan menutup mukanya dengan rambutnya yang panjang. Berlian Merah pun marah besar. "Kalian orang pintar hanya bisa berkata-kata, tidak bisa mengerti hati kami." Sidang gaduh.
Endingnya adalah, Berlian Merah dan Lewa di dalam satu kamar bertuliskan panti rehabilitasi. Mungkin mereka berdua dianggap sakit jiwa.
Latar, setting, originalitas adat yang ditampakkan, akting Nurul Arifin [muda], sungguh mempesona. Pasti film ini laris manis di luar negeri atau sudah memenangkan macam-macam festival. Namun hanya tayang di TVRI pada jam malam. Sayang sekali.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar
Terima kasih telah meninggalkan jejak dan memberikan komentar.
Pasti lebih menarik jika kita terus ngobrol. Bisa ke facebook: Heni Prasetyorini dan Twitter: @HeniPR. Sampai jumpa disana 😊