Cantik menjadi bukan aku, malah ketika aku sudah dewasa.
Di masa remaja, aku panas dingin dan marah ketika ada mata lelaki yang memandangku tanpa berkedip. Apalgi sampai SKSD, Sok Kenal Sok Dekat.
Dan karena aku ingin pintar. Dan pintar tidak perlu cantik. Atau kalau perempuan sudah pintar, otomatis akan terlihat cantik. Maka aku mengtasbihkan diri sebagai perempuan pintar yang tidak peduli dengan kecantikannya.
Alhasil, aku tidak peduli juga dengan ini itu yang harus dilakukan setiap orang agar tampil cantik. Make up, facial, creambath, dll yang menguras uang dan tenaga.
Efek buruknya, aku keterusan merasa tidak cantik. Dan ketika menikah, tanpa kusadari aku ingin disebut cantik. Dan mereka, kaum perempuan yang merasa dirinya lebih cantik dari aku, juga sudah terbiasa menertawakanku ketidakcantikanku itu. Akhirnya aku sedih, kok aku tidak cantik.
Maka aku berusaha untuk memperbaiki diri. Aku beli alat make up yang praktis, karena aku masih tidak suka repot. Aku mencoba merawat sendiri kulit wajahku, karena aku juga masih pelit untuk mengeluarkan aneka rupiah untuk hal-hal selain buku bagus. Aku tidak malu dengan bajuku yang jadul alias nggak ganti-ganti, itu-itu juga. Yang penting bersih dan halal, itu prinsipku.
Karena aku tidak terbiasa berdandan, maka acara menjadi cantik pun hanya berjalan sebentar. Gerah. Sumuk. Tidak nyaman. Aku tidak suka cantik. Kalau itu merepotkan. Tapi suamiku bersiul-siul dan matanya berbinar ketika aku berdandan. Yah,terpaksa aku harus kembali cantik.
Tapi, mereka, burung kutilang yang suka mematukkan pelatuknya pada hati perempuan sepertiku, masih enggan berhenti. Mereka masih suka mencerca. Menertawakan pilihan warna bajuku, warna lipstick dan bedakku. Dan menjulukiku seperti topeng yang baru saja makan singa hidup-hidup. Ah, kenapa aku tidak jua cantik ya? Aku kembali sedih karena tidak cantik.
Dan kesedihan itu membuatku malas bertemu para burung kutilang pesolek itu. Aku sempat memperhatikan mereka. Rasanya, aku jauh lebih cantik daripada mereka. Bahkan ketika aku tidak bersolek. Namun suara ejekan mereka lebih riang daripada suara batinku. Dan aku semakin yakin bahwa aku tidak cantik. Aku jelek.
Lalu, datanglah seekor burung gagak. Dia tentu tidak cantik. Tapi anaknya mirip sekali burung Nuri. Anaknya cantik. Ibu Gagak dan Anak Nuri ini memujiku dengan tulus. Bahwa dari sejak dulu, mereka memuji kecantikanku. Dan malah menyebarkannya ke seantero hutan, bahwa akulah yang paling cantik dalam trah keburungan. Aku cantik dari lahir. Tanpa perlu bersolek.
Untuk pertama kalinya aku tersenyum. Lalu menerima pantulan wajahku di cermin dengan lebih senang hati. Eh iya, benar, aku memang cantik.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar
Terima kasih telah meninggalkan jejak dan memberikan komentar.
Pasti lebih menarik jika kita terus ngobrol. Bisa ke facebook: Heni Prasetyorini dan Twitter: @HeniPR. Sampai jumpa disana 😊