Education is a weapon to change the world (Nelson Mandela).
Tetap sekolah atau homeschooling? Apakah ini sudah saatnya memilih yang lebih baik dan terbaik untuk pendidikan anak-anak saya? Bagaimana sebaiknya? Saya mencoba menelusuri kegelisahan saya ini. Jika anda mengalami hal yang sama, marilah kita berbagi cerita.
Saya adalah saksi nyata betapa pendidikan bisa mengubah kehidupan. Keluarga kami dulu dalam kondisi ekonomi, sosial dan pendidikan yang di bawah rata-rata. Ibu tidak sempat ikut ujian kelulusan SD, bapak hanya mengenal calistung di Sekolah Angka Loro (2 SD). Yang mengagumkan adalah, ibu dan bapak kami mempunyai komitmen yang sama yaitu memperjuangkan pendidikan anak-anaknya. Ibarat kata, makan seadanya, baju ala kadarnya, asal bisa sekolah.
Dan alhamdulillah berkat kerjasama keluarga, pendidikan dari sekolah bisa meningkatkan kehidupan kami baik secara ekonomi, sosial maupun intelektual. Dalam keluarga kami yang terdiri dari 9 anak, sudah ada yang sampai menjadi professor, doktor, master, sarjana dan diploma. Sebuah pencapaian di luar batas imajinasi rakyat jelata biasa, dikarenakan pendidikan yang baik.
Sekolah, dalam hal ini sekolah formal, adalah institusi penting bagi keluarga kami. Tidak ada opsi lain mendapatkan pendidikan kecuali dari sana. Namun dalam perkembangan jaman, pandangan ini ternyata berubah. Di jaman kreatif ini, belajar atau mendapatkan pendidikan tidak lagi hanya bersandar pada sekolah formal. Belajar tidak hanya dicapai dengan berangkat pagi ke sekolah. Bahkan di rumah saja pun bisa. Seperti halnya konsep belajar di rumah atau di tempat non formal lainnya. Konsep ini dikenal dengan beberapa istilah: home based education, homeschooling, flexi school, mobile school, traveling school dan penamaan lainnya yang mengikuti cara para praktisi pendidikan di luar sekolah.
Saya sudah lama mengenal konsep homeschooling (HS) dan berinteraksi dengan beberapa ibu yang mempraktekkannya di rumah. Sungguh menarik konsep yang diusung, antara lain:
1. Belajar adalah hak anak, bukan sekedar kewajiban.
2. Setiap anak unik, tidak bisa belajar dengan cara yang harus sama dan kecepatan belajar yang sama.
3. Pentingnya kemerdekaan belajar.
4. Belajar dengan alam.
5. Mengarahkan anak sesuai minat, bakat, passion dan kompetensinya.
Walau sudah tertarik dengan konsep HS ini, saya masih mengirimkan anak-anak saya ke sekolah formal. Bukan karena tidak percaya kebaikan HS, melainkan belum punya nyali. Saya tidak punya nyali sebagai guru tunggal untuk anak-anak saya. Saya cemas tidak akan bisa konsisten atau istiqomah mengajari anak-anak belajar seperti di sekolah formal. Terlebih pelajaran agama islam. Saya yang berlatar belakang belajar di sekolah negeri sejak kecil sampai besar, sedikit sekali berkesempatan belajar ilmu agama. Mengirimkan anak ke sekolah swasta berbasis islam, adalah pilihan terbaik saya dan suami.
Kami mencoba bertahan dengan segala kekurangan dan ketidakcocokan yang terjadi di sekolah. Dan sebisa mungkin meng-cover-nya di rumah. Dengan tetap berpandangan seperti ini:
1. Tidak ada yang sempurna di dunia ini. Sebagus apapun sekolah, pasti ada kekurangannya.
2. Guru juga manusia, wajar jika ada yang salah.
3. Namanya sekolah ya begitu. Tertekan, di-bully teman, capek, bosan. Itulah fakta hidup. Nanti jika sudah bekerja ya begitu ritmenya sama. Capek, bosan, tertekan.
Akan tetapi semakin hari pandangan saya itu seperti bertanya pada diri saya sendiri. Benarkah begitu? Benarkah ketika kerja nanti kita bakal capek, bosan, tertekan? jadi harus dibiasakan sejak kecil. Sejak di jaman sekolah untuk bisa mengatasi dan bertahan pada keadaan capek, bosan, tertekan di sekolah?
Bisakah kita kelak bekerja dengan senang, bersemangat walau sedang capek dan menghadapi deadline? . Bisakah kita belajar dengan gembira, penuh rasa ingin tahu, ringan, terus menarik, terus menimbulkan rasa penasaran dan kemudian EUREKA!!! berteriak girang karena menemukan jawabannya dari belajar?
Bisakah saya mengubah pandangan ini demi anak-anak saya, supaya bisa hidup lebih baik, bahagia dan bermakna?
Ketika sekolah punya ritme : belajar di sekolah - pulang bebas main game - libur bebas menganggur.
Ketika bekerja punya ritme : bekerja di kantor - pulang nonton TV - liburan tidur sepuasnya.
apakah kedua ritme hidup seperti diatas, adalah yang terbaik?
Bagaimana jika dibalik?
Belajar dan bekerja sesuai minat dan bakat. Sehingga sepanjang hari seperti melakukan hobi?
Tidak ada hari libur, kurang tidur itu semuanya masih terasa menghibur.
Pertanyaan semakin banyak yang bermunculan, "benarkah yang kulakukan ini?".
Apakah mengirimkan (
Saya banyak merenung belakangan ini. Ada rasa cemas bahwa sistim belajar di sekolah anak saya sekarang malah kontraproduktif. Tanpa terasa memadamkan potensi dan passion mereka. Karena harus berjuang susah payah memenuhi nilai KKM hasil ujian sekolah. Walau saya berusaha menerapkan ke anak, " yang penting kamu suka belajar, ingin tahu, mencari tahu dan berbagi tahu. Tidak penting nilai berapa". Namun tuntutan sekolah dan respon guru terhadap nilai ujian anak saya, cukup menambah pikiran juga.
Apakah anda mengalami hal yang sama? Ataukah saya pribadi yang bergulat dengan pikiran ini sendiri? Ah entahlah. Saya sedang tidak bertujuan membandingkan Sekolah vs Homeschool secara umum. Lalu menganggap buruk salah satunya. Saya percaya Sekolah itu penting. Namun mungkin, dengan karakter anak-anak saya, dan bakatnya yang mulai terlihat, mereka kurang pas jika harus belajar secara klasikal dan seragam di sekolah formal.
Untuk mendapatkan jawaban dari kegelisahan ini, saya memilih untuk lebih aktif melakukan riset. Saya pun membuat status di facebook tentang hal tersebut, karena bertanya di sosial media masih menjadi cara paling efektif untuk mencari link networking. Dan itu benar.
Alhamdulillah respon cepat dari teman-teman saya di facebook. Beberapa teman menge-tag nama temannya yang mempraktekkan HS. Dalam hitungan jam, saya bisa berkomunikasi dengan mereka, praktisi HS di Surabaya. Saya bertanya dan meminta dimasukkan dalam grup di whastapp. Saya ingin berkumpul, bertemu, bicara dan melihat keseharian mereka. Saya ingin mengumpulkan data sebanyak mungkin dengan melibatkan anak dan suami juga. Untuk kemudian memutuskan mana yang terbaik untuk pendidikan anak-anak saya. Bagaimana dengan anda?
Hai Mba Heni.
BalasHapusHm... sayangnya, masa-masa pusing memikirkan sekolah yang bagaimana yang terbaik untuk anak sudah lewat nih. Intanku sudah di perguruan tinggi.
Menurutku sih, perkembangan jaman dalam segala lini bergerak cepat, melesat. Pola pikir, pola didik, pola asuh, juga semakin beragam. Begitu banyak pintu akses untuk pendidikan terbaik bagi putra putri kita kini terbuka lebar. Yang sayangnya, banyaknya opsi yang terbuka ini, justru membuat kita gamang, bingung, excited dan berbagai rasa lainnya, karena yang kita inginkan hanya satu. Bagaimana memberikan pendidikan terbaik bagi ananda terkasih.
Cara Mba Heni dengan melalukan riset kecil2an dan bergabung di grup tematik di atas tuh, udah bener banget. Semoga dari chitchat kece itu, dari survey itu, bisa membuahkan pencerahan untuk menentukan langkah bagi pendidikan anak2nya, ya, Mba. Wish you all the best! Maaf ga bisa ngasih masukan. :)
Bergabung dengan blogger lah yang membuka mata, bahwa segala sesuatu bisa dicari dengan "berbicara" di sosial media. Semoga banyak data yang kudapat mbak. Makasih dah mampir.
HapusMba Heni, anakku seeprtinya nggak aku taruh ikut HS. Lebih memilih sekolah formal dengan berbagai pertimbangan :)
BalasHapusSaya hormati pilihan semua orang mbak. Ini saya kepikiran, krn lama2 kok kasihan sama anak2. Pas kenalan sama grup HS, ternyata banyak yg anaknya juga sekolah formal kok mbak Alida. Hanya juga ditambah belajar di rumah. Semacam home based education gitu.
HapusHS memang bagus karena gurunya lebih fokus dalam mengajari anak2. Tapi sekolah umum juga sangat diperlukan sebagai media interaksi sosial buat anak2
BalasHapusUntuk interaksi sosial bagi praktsi HS ternyata sudah terbuka lebar pak. Bahkan bisa lintas negara. Itu saya dapat infonya :)
HapusMbak, saya yakin kalau kedua-duanya memiliki plus dan minus masing-masing, tinggal mbak sebagai mama yang harus memutuskan, mana yg lebih besar manfaatnya. Kalau saya jadi mbak, saya akan beranikan diri utk membuat keputusan HS, tapi saya jg yakin ya tantangannya berat. Saya sendiri berpikiran bahwa Dario kelak HS saja, tapi alasan saya sih agak beda mbak, krn alasan kesehatan, Dario memiliki kelainan genetik immunodeficiency yang pasti akan menjadi penghalang buat dia bersosialisasi spt anak normal, dan alasan lain adalah saya ingin anak saya belajar agama sedangkan sekolah formal di Italia yg ada sekuler atau katolik...Anyway mbak yu, HS kalau di Indonesia blm dapat dukungan penuh, ini patut mbak pertimbangkan.. saya berharap wacana HS ini bisa mengemuka dan pemerintah bisa ambil langkah agar output anak anak HS bisa imbang dgn sekolah formal, seperti di AS ya mbak.. Itu saja dari saya, hmm.. grogi nih komen di blog kerennya mbak heni :D
BalasHapusLak mesti mbarakno GR 😄.
HapusMbak di Italia, yo paling baik HS, demi kesehatan Dario juga. Anakku yang kedua kan dulu prematur. Walau skrg gede besar badannya, dia sering tampak kurang segar. Mgkn capek banget sekolah jam 7- jam 2 siang. Saya jadi kepikiran.
Maaf mbak. Sy jg gelisah skrg. Anak sy 4 sd bilang capek sekolah pulang jam 3. Dia pingin belajar dirumah sj katanya. Sedangkan sy merasa tidak mampu mengajarnya. Sy harus gimana kalau mau jadi guru homescholer mbak. Mohon pèncerahannya. Terimakasih
BalasHapus