Podcast Bu Heni

Ketika Bayimu Dibilang Prematur

Tidak ada komentar
Merawat bayi prematur tidak mudah. Banyak hal yang perlu dipersiapkan. Biasanya calon ibu sudah mendapatkan gambaran bahwa bayinya akan lahir prematur karena sebab tertentu, misalnya pendarahan berlebihan sejak hamil muda atau bayi kembar. Untuk menyelamatkan bayi, akan dilakukan berbagai jenis persiapan.
Tapi bagaimana jika tiba-tiba bayi yang baru saja anda lahirkan secara normal, di vonis sebagai bayi lahir prematur?
HPL seharusnya 25 Oktober 2006, namun di tanggal 5 September 2006 sudah keluar segumpal lemak berwarna putih dengan segaris darah merah, tanda lahir?. Tanpa menunggu lama, saya memeriksakan diri ke dokter kandungan. Dan hasilnya sudah ada bukaan 1 tipis di jalan lahir. Saya disarankan pulang ke rumah, jika ada sakit kontraksi yang tak tertahankan baru kembali ke rumah sakit, langsung opname. Di sepanjang malam saya merasakan beberapa kali rasa sakit kontraksi. Esok paginya kami putuskan masuk lagi ke rumah sakit, dan benar langsung disuruh rawat inap. Setelah dicek, ada peningkatan bukaan 2. Saya diminta tiduran saja di tempat tidur, di ruang melahirkan. Benar-benar harus hanya tiduran. Ketika saya duduk untuk membaca buletin yang dibawakan oleh suami, saya ditegur oleh suster. “tidur saja bu,”. Hanya itu, tanpa penjelasan panjang.
Ini adalah anak keduasaya sudah pengalaman melahirkan secara normal. Terakhir periksa di tanggal 5 September itu, dokter mengatakan anak saya sehat dan siap dilahirkan. Atau tidak masalah jika dilahirkan dalam waktu dekat. “Bukankah jauh dari HPL ya dok? Apakah nanti dia tidak prematur?”itu sempat saya tanyakan pada dokter. Yang kemudian dijawab,”tidak. Anaknya udah gede. Udah 2,5 kg. Sehat.” Dokter menjawab menentramkan hatiku.
Maka, ketika dua malam merasakan kontraksi, hatiku bahagia. Segera melahirkan. Segera bisa bertemu dengan anak yang sudah kukandung selama berbulan-bulan. Sebelum berangkat ke RS pun, aku banyak berjalan-jalan di perumahan bersama anak sulungku yang berumur 4 tahun. Segala tetek bengek urusan rumah juga kubereskan. Mengisi air tandon dengan menarik selang dari warung di kampung sebelah, sekaligus mencuci piring, mencuci baju dan mengepel, semua kulakukan secara paralel seperti biasa.
Kata orang Jawa, semakin giat bekerja, semakin mudah melahirkan normal, tambah gangsar. Aku tak menghiraukan rasa lelah. Yang penting ketika aku melahirkan, rumah bisa ditinggal dalam keadaan bersih.
Proses melahirkan anak kedua ini berjalan cukup lama. Saya masuk kamar bersalin tanggal 6 September 2006, disuruh bedrest disana sekitar pukul 8 pagi. Masuk pukul 2 siang, kontraksi mulai kuat. Sempat keluar darah menetes ketika aku berjalan ke kamar mandi untuk buang air. Suster dan dokter menyarankan untuk banyak berjalan di sekitar bed. Saya turuti juga walau sakitnya luar biasa. Sampai menjelang malam, sudah sampai bukaan 7 belum ada perubahan berarti. Kebetulan, ada calon ibu yang sama dengan saya kasusnya, sudah bukaan 7. Ibaratnya sparring patner, siapa yang duluan melahirkan?
Celakanya, calon ibu muda itu teriak-teriak sepanjang kontraksi terjadi. "Ambilkan pisau, bunuh aku saja!" Begitu katanya. Gimana kita nggak keder ya? Sama-sama kontraksi, sakit, denger ancaman serem gitu pula. Ya itulah resiko melahirkan di rumah sakit umum. Saya malah merasakan melahirkan normal lebih private di bilik kecil seorang bidan, waktu melahirkan anak pertama.
Perjuangan menembus malam kala itu sungguh luar biasa. Aku nyaris putus asa, menangis, namun suami menguatkan. Akhirnya sekitar pukul 5 pagi, setelah shubuh, anak keduaku lahir dengan cara normal. Suara tangisnya pecah keras sekali, aku menarik nafas bahagia. Rasa sakit sehari semalam kemarin, langsung hilang musnah. "Laki-laki bu, sehat" kata suster. Alhamdulillah.
Prosedur pasca melahirkan kemudian berjalan lebih lambat. Dokter break untuk solat subuh,mandi dan sarapan. Semuanya berjalan normal sampai saya bisa mandi keramas dan istirahat di ruangan lain. Karena tak sabar, saya pun berjalan ke ruangan bayi. Dan tertegun melihat anak saya dipasang selang oksigen di hidungnya. Kulitnya coklat matang cenderung gelap. Di pipinya ada tompel biru tua besar. Dadanya bergerak naik turun dengan cepat. Matanya terpejam.
Oh, anakku berkulit gelap dan bertompel tanda lahir di pipi, gumamku sendirian. Eh, tapi kenapa dia memakai selang oksigen? Kutanyakan hal itunpada dokter, jawabannya ringan saja. "Biasalah bu, kayak kita pakai kacamata baru. Belum terbiasa. Anakmu kan belum biasa hirup oksigen campur di udara bebas ini. Makanya dikasih selang. Paling cuma 2 jam." 
Aku manggut-manggut, memutuskan kembali ke ruangan untuk beristirahat. Hampir satu jam kemudian, datanglah suster keruanganku. Di depan pintu dia berteriak, "ada yang namanya bu Heni?"
Aku tersentak kaget, "ya saya", jawabku dari balik korden. Perlahan aku turun dari kasur. Belum juga sampai menyibak korden, suster itu berteriak lagi, "anaknya mau diinfus bu, ini harus ada yang ditandatangani!".
Hah, diinfus?
Anakku yang baru berumur 2 jam, akan diinfus? Ada apa?
Singkat cerita, dokter spesialis anak pun datang dan menjelaskan bahwa bayi yang baru saya lahirkan itu prematur. Nafasnya tersengal-sengal. Jika nanti diberi minum lewat ASI ataupun dot susu, dikhawatirkan akan kesedak dan cairan masuk ke paru-paru, lebih berbahaya. Maka diinfus untuk pengganti ASI serta obat untuk pertahanan tubuh, sampai masa kritisnya berlalu.


Sungguh aku tak percaya dengan penjelasan dokter spesialis anak ini. Aku menentangnya, " dokter kandungan bilang anaka saya normal saja kok dok!", kilahku. Namun dokter menunjukkan telapak tangan anakku. "Lihat bu, tipis sekali kulitnya, juga berkerut. Anak ibu prematur."
Allahu Akbar. Aku pun diam saja mendengar penjelasan dokter. Walaupun jam kehidupan rasanya berhenti berdetak, aku memilih untuk tetap berkepala dingin. Jika bisa pingsan, mending pingsan sampai bayiku sehat dan aku baru siuman. Namun aku ingat suamiku dan anak pertamaku, mereka jelas membutuhkanku. Apalagi ingat bayi yang baru saja kulahirkan. Jika ibunya tumbang, dari siapa lagi dia bisa mendapatkan perhatian. Maka, aku memilih tegak berdiri walau air mata ini mengalir tiada henti.

***
tulisan ini dimuat di http://rumpibayi.com/posts/ketika-bayimu-divonis-lahir-prematur

Apakah ada teman yang mengalami?
Apakah ingin tahu kelanjutan kisahnya?
Jika iya silahkan tulis komentar di bawah postingan ini, atau langsung email ke saya: heni.prasetyorini@gmail.com

Tidak ada komentar

Terima kasih telah meninggalkan jejak dan memberikan komentar.
Pasti lebih menarik jika kita terus ngobrol. Bisa ke facebook: Heni Prasetyorini dan Twitter: @HeniPR. Sampai jumpa disana 😊