sepenggal kisah dari buku yang akan kutulis berjudul Diary Inkubator.....
Siang
itu rasanya aneh, ada kontraksi di perutku walau prediksi lahir anakku masih
satu setengah bulan lagi. Aku pun memilih tiduran dan beristirahat saja.
Barusan tadi, aku kerja marathon; cuci baju, cuci piring, ngepel rumah, ngisi tandon
air dan bak kamar mandi. Rutinitas yang kulakoni ketika sedang membeli air
sumur di ibu warung kampung seberang. Karena sistim bayar air sumurnya Rp.6000,-/jam.
Supaya hemat sekalian saja ketika air sedang dipompakan ke rumahku, semua
pekerjaan yang membutuhkan air aku kerjakan secara paralel. Hasilnya ya sering
begini, kelelahan. Terutama ketika kehamilanku semakin besar.
Ketika
tiduran, aku merasakan kontraksi lagi beberapa kali. Sakit sekali, tapi jarang.
Belum waktunya lahir kok sudah kontraksi, aku cemas juga. Langsung kuhubungi
suamiku dan akhirnya nanti malam kami sepakat untuk pergi ke dokter kandungan.
“Sudah bukaan satu bu, tenang saja. Pulang saja ya, tunggu di rumah” begitu kata dokter di kamar periksa.
“Lho dok, kok sudah bukaan satu. Kan saya lahirannya nanti akhir bulan Oktober. Sekarang masih tanggal 5 September. Apa nggak prematur dok, anak saya nanti?” tanyaku cemas.
“Ah, enggak. Ini sudah gede anaknya. Udah 2,5 kg. Aman. Sudah di rumah saja, banyak jalan-jalan”. Kami pun pulang. Aku tenang-tenang saja sekaligus senang. Ibu hamil yang dikabari anaknya segera lahir, pasti akan senang. Setelah berbulan-bulan hamil, akhirnya bisa melihat wajah anaknya. Semoga anakku sehat dan organ tubuhnya sempurna, itu saja doaku.
“Sudah bukaan satu bu, tenang saja. Pulang saja ya, tunggu di rumah” begitu kata dokter di kamar periksa.
“Lho dok, kok sudah bukaan satu. Kan saya lahirannya nanti akhir bulan Oktober. Sekarang masih tanggal 5 September. Apa nggak prematur dok, anak saya nanti?” tanyaku cemas.
“Ah, enggak. Ini sudah gede anaknya. Udah 2,5 kg. Aman. Sudah di rumah saja, banyak jalan-jalan”. Kami pun pulang. Aku tenang-tenang saja sekaligus senang. Ibu hamil yang dikabari anaknya segera lahir, pasti akan senang. Setelah berbulan-bulan hamil, akhirnya bisa melihat wajah anaknya. Semoga anakku sehat dan organ tubuhnya sempurna, itu saja doaku.
Karena
disarankan untuk aktif, maka aku semakin giat jalan-jalan. Mengajak anak
sulungku yang berumur empat tahun, aku keliling kesana kemari berjalan kaki di
sekitar perumahan.
Dan dua hari kemudian, setelah hampir 21 jam di rumah sakit, anak keduaku lahir. Oeekkkk, suaranya yang keras membuatku lega sekali. Anakku bisa menangis, anakku sehat. Rasa sakit pasca melahirkan normal langsung hilang tanpa bekas. Selesai dibersihkan, suamiku berbisik perlahan padaku, “ma, bapak masuk rumah sakit lagi semalam, kena stroke. Ibu bilang, kalau mama sudah melahirkan saja dikasih tahu.” Aku menghela nafas panjang, “howala … semoga bapak sembuh ya. Sudah nasibnya bapak keluar masuk rumah sakit karena ada penyumbatan di jantung”.
Dan dua hari kemudian, setelah hampir 21 jam di rumah sakit, anak keduaku lahir. Oeekkkk, suaranya yang keras membuatku lega sekali. Anakku bisa menangis, anakku sehat. Rasa sakit pasca melahirkan normal langsung hilang tanpa bekas. Selesai dibersihkan, suamiku berbisik perlahan padaku, “ma, bapak masuk rumah sakit lagi semalam, kena stroke. Ibu bilang, kalau mama sudah melahirkan saja dikasih tahu.” Aku menghela nafas panjang, “howala … semoga bapak sembuh ya. Sudah nasibnya bapak keluar masuk rumah sakit karena ada penyumbatan di jantung”.
Karena
tensi darahku sudah normal dan tidak ada keluhan pusing, aku diijinkan keluar
dari ruang bersalin. Sampai di sal tempat tidurku di ruangan kelas tiga, aku
langsung jatuh tertidur. Lelah sekali, menahan kontraksi dan proses pembukaan
jalan lahir mulai jam dua siang sampai lima pagi.
Aku sempat menggerutu sendiri, “kata ibu melahirkan anak kedua lebih enak, lebih cepat, lebih nggak sakit. Ah..ibu bohong nih”. Hanya satu jam aku tertidur, lalu aku segera mandi dan membersihkan diri dengan lebih maksimal. Aku ingin segera ke ruangan bayi, melihat wajah anak lelaki keduaku dengan lebih teliti.
Aku sempat menggerutu sendiri, “kata ibu melahirkan anak kedua lebih enak, lebih cepat, lebih nggak sakit. Ah..ibu bohong nih”. Hanya satu jam aku tertidur, lalu aku segera mandi dan membersihkan diri dengan lebih maksimal. Aku ingin segera ke ruangan bayi, melihat wajah anak lelaki keduaku dengan lebih teliti.
Sampai
di ruangan bayi, suster ada yang bertanya, “lho bu, kok sudah bisa jalan-jalan.
Nggak pusing?”. Aku tersenyum dan menjawab tidak. “anak saya mana ya, Sus?”,
tanyaku celingukan dari depan pintu ruang bayi. “Di sebelah sana bu, yang
dipasangi oksigen,” jawab susternya singkat.
“Oksigen?”, tanyaku dalam hati.
Aku pun menuju ke seorang bayi kecil yang sedang tidur, terbalut selimut putih dengan selang oksigen yang dipasang di hidungnya. Dadanya turun naik dengan cepat, seperti anak yang tersengal-sengal setelah lomba lari dengan temannya. Aku lirik bayi lain di sebelahnya, dadanya tidak bergerak naik turun secepat anakku, lebih tenang. Hatiku tersentak, ada apa ini?
“Oksigen?”, tanyaku dalam hati.
Aku pun menuju ke seorang bayi kecil yang sedang tidur, terbalut selimut putih dengan selang oksigen yang dipasang di hidungnya. Dadanya turun naik dengan cepat, seperti anak yang tersengal-sengal setelah lomba lari dengan temannya. Aku lirik bayi lain di sebelahnya, dadanya tidak bergerak naik turun secepat anakku, lebih tenang. Hatiku tersentak, ada apa ini?
Lalu
aku menghampiri dokter kandungan yang menolong kelahiranku tadi dan menanyakan,
“Pak dokter, kenapa anak saya dipasangi oksigen?”. Dokter itu berhenti menulis,
menatapku lalu menatap kearah anakku berbaring. “ah itu biasa, seperti kita
kalau memakai kacamata baru. Butuh adaptasi. Nah anak ibu sedang beradaptasi
bernafas langsung. Paling cuma dua jam dioksigennya. Nggak pa pa, ibu istirahat
saja ya.” Hatiku lebih lega, kemudian mencari suami dan ibu mertuaku yang
berpamitan ingin pulang ke rumah. Membersihkan ari-ari dan bajuku yang kotor
terkena darah persalinan. Aku mengiyakan dan menunggu di sal.
Ketika
asik mengobrol dengan teman di kamar sebelah, seorang suster tiba-tiba masuk.
Masih berdiri di depan pintu, suster itu berteriak, “bu Heni? Bu Heni mana ya?
Bu Heni, anaknya mau diinfus nih.” Aku terkejut mendengar namaku disebut.
Langsung kuhampiri suster itu, “ya saya bu Heni. Kenapa anak saya diinfus, Sus?”.
Suster itu masih sibuk dengan kertas-kertas yang dia bawa, lalu menjawab, “
kata dokter anak disuruhnya begitu bu, anak ibu prematur katanya.”.
Hah? Premature?
Jantungku
serasa berhenti berdetak. “saya mau ketemu dokternya dulu. Saya ingin tahu
penjelasannya. Saya ingin tahu infus itu untuk apa dan isinya apa.” Suster itu
baru menatapku, lalu menjawab “saya telponkan dokternya ya bu.”
Aku
jatuh terduduk di dalam ruanganku yang hanya dipisahkan oleh kelambu dengan
pasien bersalin lainnya. Airmataku jatuh. Sendirian aku menata hati, suamiku
belum juga datang. Pikiran macam-macam mulai muncul, sampai yang terburuk
sekalipun. Bahwa aku akan pulang dengan menggendong jenazah bayiku, dan ada
pengajian tahlilan di rumahku. “
makanan datang bu, silahkan makan,”seorang petugas dapur memberikan senampan makanan di mejaku.
Hatiku masih berdebat sendiri. “Heni, kamu mau pingsan atau bertahan? Anakmu ada dua. Kalau sekarang kamu pingsan, sedih dan jatuh sakit maka anak-anakmu bagaimana? Siapa yang menunggu dan menguatkan anakmu yang baru lahir itu kalau ibunya yang menyerah duluan? Dan anakmu yang sulung juga bagaimana? Suamimu?” begitulah aku bicara sendiri dalam hati dan banyak sekali percakapan yang muncul tapi harus kujawab sendiri.
makanan datang bu, silahkan makan,”seorang petugas dapur memberikan senampan makanan di mejaku.
Hatiku masih berdebat sendiri. “Heni, kamu mau pingsan atau bertahan? Anakmu ada dua. Kalau sekarang kamu pingsan, sedih dan jatuh sakit maka anak-anakmu bagaimana? Siapa yang menunggu dan menguatkan anakmu yang baru lahir itu kalau ibunya yang menyerah duluan? Dan anakmu yang sulung juga bagaimana? Suamimu?” begitulah aku bicara sendiri dalam hati dan banyak sekali percakapan yang muncul tapi harus kujawab sendiri.
Akhirnya
aku memilih untuk kuat dan bertahan. Aku tidak boleh pingsan. Aku tidak boleh
sakit. Aku harus makan. Dengan sekuat tenaga aku berusaha memasukkan sesendok
demi sesendok makanan ke dalam perutku. Tiap sendoknya bercampur dengan
linangan air mata yang jatuh sangat deras dan tak bisa kubendung. Makanan ini
tidak ada rasanya. Aku makan sambil menangis. Satu jam kemudian, suamiku baru
datang. Rupanya dia sekalian mengubur ari-ari (plasenta bayiku) di pekarangan
rumah kami, membersihkan diri dan sarapan. Kukatakan padanya sambil
terbata-bata, “mas, anak kita harus diinfus. Dia premature kata dokter.”
Suamiku diam saja dan hanya menggenggam tanganku lebih erat. Tidak ada air mata
yang jatuh di wajah suamiku. Kami sepakat untuk kuat dalam diamnya.
“Ibu, anaknya premature ya. Anak premature itu ada masa kritisnya, namanya Golden Age. Sejak lahirnya dihitung tiga hari. Jika tiga hari hidup, tunggu sampai tujuh hari. Jika lewat tujuh hari hidup, maka akan hidup selamanya. Sudah ya, ada pertanyaan lagi?”.
Itulah percakapan pertama aku dan suamiku dengan dokter anak utama yang baru pulang dari Umroh. Dua hari sebelumnya, anakku dirawat oleh dokter pengganti yang tidak menerangkan apa-apa kecuali anakku didiagnosa lahir premature dan perlu diinfus karena harus puasa tidak minum ASI dulu. Jika diberi ASI, dikhawatirkan anakku nanti tersedak dan ASI masuk paru-paru karena dia tersengal-sengal. Kami diam saja dan menggeleng perlahan tanpa pertanyaan lagi. Dalam kondisi seperti ini, selain memikirkan kesembuhan juga tentang dana perawatan yang pasti sangat besar.
Setelah
sedikit berdiskusi, aku dan suami sepakat untuk berjuang tanpa merepotkan
keluarga. Aku persilahkan ibu dan bapak mertuaku kembali ke desa dan
beristirahat. Aku kabarkan keadaan anakku pada saudara di rumah dengan syarat
harus merahasiakannya dari ibu dan bapak yang sedang stroke di rumah sakit. Aku
tidak mau bapak nanti semakin sedih dan drop mendengar cucunya harus di
incubator karena premature dan paru-paru
kiri cucunya belum matang. Hanya saja aku meminta bantuan pinjaman dana dari
saudaraku, karena tabungan kami sudah habis untuk biaya persalinanku.
Kami tak
punya cadangan dana medis, karena dari awal anakku diprediksi oleh dokter
kandunganku, akan lahir normal, sehat dan tidak premature.
Dengan pertimbangan untuk menghemat biaya
medis juga, aku menguatkan hati untuk pulang lebih dulu dan meninggalkan anakku
di incubator sendirian. Aku dan suami total pasrah kepada Alloh SWT. Berulang
kali aku dan suami meminta doa kepada keluarga mertuaku, karena aku
merahasiakan hal ini kepada orangtuaku sendiri.
Sakit pasca persalinan tidak begitu kurasakan. Menggunakan kain stagen tradisional, aku kencangkan perutku supaya bisa beraktivitas seperti biasa.
Membersihkan rumah, masak dan mengurus anak sulungku yang sudah masuk sekolah TK. Pagi hari, anakku diantar sekolah oleh suamiku. Lalu siangnya, aku sudah siap dengan bekal makanan dan baju ganti anakku di teras rumah. Pintu rumah sudah kukunci dari tadi. Ketika tukang becak datang mengantar anakku pulang, segera aku mengganti baju seragam anakku lalu bersama kami diantar ke RSAB tempat anak keduaku di incubator.
Aku menyuapi anak sulungku di depan inkubator adiknya yang lebih sering tidur merem. Jarang sekali membuka matanya. Mungkin karena belum waktunya lahir, jadi dia harus lebih banyak tidur. Aku mengganti popok bayiku itu jika dia ngompol. Terkadang stok selimut pelapis di ruangan habis, jadi anakku berbaring dilapisi perlak plastic saja. Melihat tubuhnya yang kecil dengan selang sonde lambung di hidungnya, infus di kaki atau tangannya dan selang oksigen di hidungnya membuat hatiku teriris. Rasa bersalah tak terkira terus membayangi, bahkan sampai hari ini.
Pagi
mengurus rumah. Siang hari menjenguk anakku dengan si sulung. Malam hari
menjenguk anakku lagi segera setelah bapaknya pulang dari kerja. Lalu pulang
dan tidur di rumah. Begitu terus ritme hidupku selama anakku dirawat. Sebisa
mungkin aku berusaha suasana di rumah biasa saja, walau hatiku sebenarnya
begitu sedih karena tidak bisa terus mendampingi bayiku selama 24 jam. Setiap
detik aku terus berdzikir dan berdoa. Tak banyak ibadah yang bisa kulakukan
karena aku masih dalam keadaan nifas. Ada yang bilang, bersedekahlah dan
sebutkan niat kesembuhan, maka berusaha kulakukan. Karena dana minim, aku
serahkan uang Rp.20.000,-kepada bapak pengangkut sampah di perumahanku dan
kukatakan, “pak, saya sedekah. Mohon doanya untuk kesembuhan anak saya yang
baru lahir”.
Begitulah
dalam segala keterbatasan, aku menggantungkan harapanku hanya kepada Ke-Maha
Besaran Alloh SWT. Mungkin juga niat kami untuk tidak merepotkan keluarga
walaupun begitu sulitnya, rupanya menjadi nilai tambah juga di hadapan-Nya.
Tepat hari ke-14, bayiku dinyatakan sembuh dan bisa dirawat dirumah. Di hari
itu, aku sudah mandi jam 3 pagi, dan ada di RSAB jam 5 pagi. Padahal dokter
visite baru jam 9 pagi.
“ibuk rajin banget siih,”ledek para Suster kala itu.
Aku hanya senyum saja menanggapinya. Karena suamiku harus kerja, tinggal aku dan si sulung yang menunggui adiknya siap pulang. Tepat jam 10 pagi, kami bertiga pun sampai di rumah kami yang sepi. Setelah bayiku kubaringkan di kasur kecilnya, dengan gemetar kuhubungi keluargaku, “bu, pak, anakku sudah pulang.”
“ibuk rajin banget siih,”ledek para Suster kala itu.
Aku hanya senyum saja menanggapinya. Karena suamiku harus kerja, tinggal aku dan si sulung yang menunggui adiknya siap pulang. Tepat jam 10 pagi, kami bertiga pun sampai di rumah kami yang sepi. Setelah bayiku kubaringkan di kasur kecilnya, dengan gemetar kuhubungi keluargaku, “bu, pak, anakku sudah pulang.”
Itulah
ceritaku di bulan September 2006. Sekarang sudah tahun 2014, aku menuliskan ini
sambil ditemani bayiku yang sudah
berumur delapan tahun. Dia sehat, normal, tinggi besar, begitu ceria dan sudah
naik kelas 2 SD. Kuucapkan terima kasih tiada terkira kepada orang tua dan
keluarga kami yang mendoakan tak henti-henti. Pasti, doa merekalah yang sampai
ke langit dan dikabulkan-Nya. Tentu saja jika hanya mengandalkan doa dan amal
ibadahku dan suami, pasti sangat minim karena banyak tersita energy dan fisik
di masa pengobatan anak kami itu.
Benarlah kiranya janji Alloh SWT kepada umat-Nya, “berdoalah, maka akan Ku-kabulkan.” Seberapapun terbatasnya kondisi kita, berdoalah dan mintalah doa terutama kepada orang tua. Yakinlah Tuhan takkan pernah mengingkari janjinya.
*note: kisah ini kutulis 2 tahun yang lalu. Sekarang tanggal 6 September 2016. Besok, anakku itu akan genap berumur 10 tahun. Dan kondisinya sehat, tinggi besar dan selalu ceria. Alhamdulillah.
Menuliskan kembali kisah tentang lahir dan merawat anak kedua saya yang lahir prematur tanpa sebab pasti, ini sungguh berat sekali. Beberapa kali saya mencoba menulis. Lalu menangis. Dan berhenti. Saya coba lagi, begitu lagi. Menulis. Menangis. Berhenti.
Jadi, saya putuskan untuk menunda rencana menulis buku Diary Inkubator ini, walau sudah siap berkolaborasi dengan 2 ibu hebat yang punya pengalaman sama. Keinginan untuk menulis masih sangat kuat, mungkin bisa menjadi self healing therapy juga buat saya. Supaya ketika kenangan ini muncul lagi, dada saya tak perlu nyeri lagi karena menahan air mata yang masih datang tanpa henti. Dan semoga sedikit trik dan teknik saya merawat anak saya ini, bisa jadi bahan rujukan untuk ibu yang mengalami hal sama. Juga menjadi bahan peringatan agar ibu yang sedang mengandung buah hatinya, lebih waspada menjaga diri. Coming soon, bismillah, setelah beberapa hal tertata dengan rapi, saya akan mulai menulis buku ini. Doakeun yeeess... :)
Salam
Heni Prasetyorini
Mbak Heni, akhirnya aku tau juga kelanjutan ceritamu, yg sempet tak tuntas di rumpibayi.
BalasHapusDitunggu kelahiran bukunya, moga menginspirasi ibu2 yg lain :)
amin amin, makasih ya April :)
Hapus