Podcast Bu Heni

Nikah Dulu Baru S2

Tidak ada komentar

 Judulnya bukan untuk memprovokasi kalian untuk menikah muda. Nanti jadi korban Pernikahan Dini, bahaya. Halah. Yang tahu judul sinetron yang dimainkan Agnes Monica dan Syahrul Gunawan ini, fix, kita seumuran. 

Judulnya adalah cerita hidup saya. Yang nggak hebat-hebat amat, jadi ditulis bukan untuk ditiru atau dijadikan target hidup. Apalagi masuk dalam Vision Board kalian di rumah. Jangan. 

Ini adalah berbagi cerita, bahwa yang namanya Menikah Itu, memang beneran nggak mudah. Baik itu untuk perempuan Sarjana, Lulusan SMA, tidak sempat sekolah atau tidak boleh ikut ujian SD seperti ibu saya. 

Baiklah, mari kita lanjutkan ceritanya. 

saya dan suami di usia 20 tahun pernikahan

Begini, sebenarnya rada enggan ngobrolin tentang rumah tangga dan cinta-cintaan di media sosial atau di blog. Bukannya apa, takut menyinggung perasaan kalian yang berbeda cerita. 

Tapi sepertinya udah di usia 42 tahun ini, ya saatnya mendongeng alias berbagi cerita. Siapa tahu ada yang mengena di hati kalian dan bisa nambah wawasan untuk berpikir jernih sebelum mengambil keputusan untuk menikah. 


NIKAH DULU BARU S2

Iya benar. Tiga bulan sebelum Sidang Sarjana di Kimia ITB, saya menikah. Lalu mengerjakan Skripsi, sidang, baru lulus kuliah. 

Singkat cerita, setelah lulus Sarjana di Bandung, saya dan suami memutuskan kembali ke kota kelahiran saya di Surabaya. Hampir selama 12 tahun saya menjadi Ibu Rumah Tangga, yang melanjutkan kuliah S2 dengan biaya sendiri, alias didanai oleh gaji dan tabungan suami. Saya, sama sekali tidak berpenghasilan pada saat itu. 

Kok keren mbak Hen?

Kelihatannya iya. Tapi bener-bener itu adalah sejarah yang berdarah-darah. 


Menjadi Ibu Rumah Tangga setelah lulus Sarjana, sama sekali bukan impian saya bahkan bukan target hidup saya. Saat itu seharusnya saya menjadi PENELITI BIOKIMIA MEDIS di LIPI Bandung. Tepatnya di Laboratorium Bio Molekuler, tempat saya menyelesaikan Tugas Akhir, membantu ibu Zalinar Udin, Kepala Balai Laboratorium itu, yang kebetulan satu grup dengan saya, satu Dosen Pembimbing, almarhum bapak Agus Noer. 

Tugas akhir saya membantu penelitian Disertasi bu Zalinar yang sedang mengambil S3. Judul Skripsi saya adalah penelitian tentang Interaksi DNA Bakteri Salmonella Typhi dengan Ekstrak Tanaman Obat Gardenia Tubifera WALL

Wuhuu, saya masih hafal judul skripsi ini di luar kepala.

Hebat?

Bukan itu. Tapi menjadi dosen atau peneliti memang target saya selama kuliah. Bahkan ketika masih SMP dan SMA, atau masih muda, saya sudah "didoktrin" oleh ibu saya untuk kelak menjadi WANITA KARIR dan jangan sampai seperti ibu saya, yang (hanya) menjadi ibu rumah tangga. 

Kebayang apa yang terjadi, ketika strategi pasca menikah saya meleset. Yang harusnya, berdua dengan suami berkarir di Bandung, sama-sama menjadi pegawai BUMN. Lalu melepaskan semuanya dan kembali ke titik nol lagi di Surabaya. 

Suami saya dulu bekerja di IPTN (Industri Pesawat Terbang Nasional) yang dibangun oleh bapak B.J. Habibie. Kelak berubah nama menjadi PT. Dirgantara Indonesia. 

Dengan dua posisi karir yang sama-sama keren dan matang ini, kami berdua berani melangkah untuk menikah bahkan sebelum saya lulus Sarjana. 


BULAN MADU = NGERJAKAN SKRIPSI

Menikah dengan hal yang manis-manis dan unyu-unyu itu, serius nih, hanya ada di media sosial. Atau di cerita-cerita buku roman. 

Mungkin bisa begitu, kalau pernikahan sudah dalam kondisi ekonomi mapan, berkecukupan bahkan berlebihan. 

Sementara kami, nekad menikah dalam kondisi MINUS alias di bawah titik nol. 

Setelah menikah, kami tak punya tabungan sama sekali. Sepertinya hanya beberapa ratus ribu rupiah saja. Dan itu harus dibagi dengan ongkos naik kereta api kembali ke Bandung, segera, karena saya harus menyelesaikan Seminar Tugas Akhir, lalu skripsi dan sidang. 

Sejenak saja menggelar resepsi pernikahan yang biayanya hasil patungan dari keluarga besar. Lalu beberapa hari saja menginap di rumah orang tua suami. Tidak sampai sepasar atau seminggu kemudian, kami sudah harus kembali ke Bandung. Karena jadwal Seminar Tugas Akhir saya sudah keluar. 

Tanpa pikir panjang untuk bersenang-senang dan bahkan mengecewakan keluarga besar karena tidak sempat banyak menemui tamu dah saudara, kami hanya berkomitmen untuk menyelesaikan kuliah secepat mungkin. Dan tidak menundanya karena akan berdampak pada biaya.


KAMAR KOS PENUH TIKUS

Tidak begitu kaget juga ketika sepasang pengantin baru ini masuk ke kamar kos yang diobrak-abrik tikus di dalam kamar. Yang namanya Mesin Ketik manual saya, habis sudah dengan air kencing dan kotoran tikus yang kecil-kecil. Buku-buku, modul kuliah dan isi rak buku yang terbuka, kena juga jadi tempat pesta pora mereka, si Mickey Mouse, begitu saya menyebut para tikus berkuping bulat, berbadan kecil dan ke sana ke mari suka berjalan sambil membuang kotorannya itu. 

Tanpa ada amarah, tangis, sesal atau jengkel, kami meletakkan tas ransel dan barang bawaan di lantai kamar kos. Lalu gerak cepat membersihkan ini itu. Kemudian mandi dan beristirahat. 

Bersih-bersihnya tidak mudah ya, karena kamar mandi dan akses air bersih hanya ada di lantai bawah ibu kos. Kami ada di kamar atas, lantai kayu sementara yang dirombak menjadi kamar semi permanen dan kemudian disewakan sebagai tempat kos. Sebuah tempat yang kurang layak sebenarnya, namun itulah yang cukup untuk kantong kami berdua. 

Tinggal sekitar beberapa bulan di situ, sampai akhirnya kami putuskan mencari tempat kos yang lebih bersih dan di lantai satu saja, sehingga tidak repot kalau harus ke kamar mandi. Syukurlah akhirnya nemu pas di belakang gedung LIPI Bandung. Jadi saya kalau harus ke laboratorium, lebih dekat. Walaupun sama juga hanya perlu jalan kaki saja seperti di tempat kos sebelumnya. 

Ketika saya di Bandung, suami saya harusnya masih kuliah lagi di ITS (Surabaya), namun tinggal menyelesaikan skripsi. Ya suami saya lulusan D3 Teknik Mesin ITS, lalu kerja di IPTN atau PT. DI yang mengambil cuti belajar untuk kuliah lagi melanjutkan ke jenjang S1. 

Sebenarnya, semuanya akan sempurna, jika itungan kami berdua tepat. 

Seharusnya jika sesuai jadwal, kami berdua akan lulus barengan jadi Sarjana. Beneran barengan. 

Akan tetapi, nasib berkata lain, tugas akhir suami saya rumit. Mungkin topiknya yang dikaitkan dengan industri pesawat terbang tempatnya bekerja ya, jadi untuk menemukan software yang pas aja butuh perjuangan. Apalagi kami berdua hanya punya satu unit laptop Celeron, yang sering ngadat ketika suami butuh mengerjakannya untuk skripsi. 

Jangan ditanya bagaimana kondisi pengantin baru yang sama-sama didera skripsi ini. 

Asyik-asyik saja?

Tentu tidak. 

Tegang. Kepikiran terus. Harus berhemat sangat, karena gaji suami kan jadi setengah doang karena cuti belajar. Kebayang kan, setengah gaji untuk biaya hidup sehari-hari, bayar SPP kuliah berdua, bayar kos, transportasi naik angkot sampai 6 kali pulang pergi. Berat banget. 

Dan, kami sama sekali tidak menelepon orang tua atau mertua dan menangis-nangis minta pertolongan. Semua kami ambil sebagai tanggung jawab yang harus dipikul oleh kedua pundak kami sendiri. 

Ketika saya sudah yakin akan bekerja menjadi PENELITI sesuai impian dan target selama kuliah, lalu tiba-tiba saya terlambat datang bulan dan positif hamil, maka melepaskan impian itu dan sepakat kembali ke Surabaya adalah bentuk tanggung jawab saya sebagai perempuan yang memutuskan untuk menikah. 


MENIKAH ADALAH PERKARA TANGGUNG JAWAB

Dan, ketika saya memutuskan untuk menjadi ibu rumah tangga saja selama belasan tahun, itu juga bentuk tanggung jawab.

Mungkin saja, kalian tidak mengalami hal yang sama dan masih bisa melakukan ini itu, bekerja, mencari penghasilan, bisnis dan lain sebagainya selama awal pernikahan. Namun, saya, tidak. 

Kondisi dan situasi saya, anak-anak dan suami yang masih merintis karir, membuat saya berpikir untuk mengalah lebih dulu. Menerima semua keterbatasan keuangan, aktivitas dan meredam ambisi pribadi, semata untuk membuat kondisi RUMAH TANGGA STABIL dulu. 

Baru ketika semua sudah kuat. Anak-anak sehat dan kuat dan mandiri. Suami sudah punya pekerjaan tetap yang bagus dengan posisi yang sangat kompeten di bidangnya. Barulah saya beranjak untuk kembali berkiprah. 

Bayangkan keputusan yang saya ambil ini membutuhkan waktu belasan tahun. Bukan sulap. Dan tidak instan sama sekali. 

Berusaha menahan diri atas nama tanggung jawab mengurus anak-anak, suami dan rumah tangga. Tanpa sama sekali merepotkan kedua belah orang tua. Adalah SENJATA UTAMA untuk laki-laki dan perempuan yang memutuskan untuk menikah. 

Tentu saja sangat tidak enak lebih banyak daripada enaknya. 

Konflik pun mudah terpicu. Karena saya dan suami sama-sama capek lahir batin. Sama-sama berusaha di sisi masing-masing. Dia bekerja sebagai Kepala Keluarga, walau harus lembur tiap hari bahkan sakit Typhus ketika anak-anak masih bayi. Saya pun harus menggedor pintu tetangga ketika tengah malam, meminta bantuan diantarkan ke rumah sakit. Karena saya ada bayi dan anak balita, tentu tidak bisa meninggalkan mereka berdua di rumah untuk membonceng suami saya ke dokter, kan?

Capek. Harus berhemat. Jarang piknik, karena harus berhemat pula. Menyimpan dalam-dalam semua kesusahan dari orang tua. Walau tak jarang, jadinya saudara dan orang tua menganggap kita sebagai orang yang pelit, tak peduli dan anti sosial, karena menarik diri dari beberapa hal dan kegiatan, serta tak mampu menceritakan kondisi keuangan yang sangat ketat dan harus super ngirit. 

Tak mudah menjalani ini semua. Bahkan ketika melanjutkan S2 juga entah komentar muncul dari kanan, kiri, atas dan bawah, masih terus saja ada. 

Kalau dipikir-pikir sekarang, kenapa saya dulu seberani itu melepaskan pekerjaan sebagai Peneliti. Padahal kuliah berdarah-darah selama 4 tahun demi menggapainya. 

Kenapa juga saya sukarela menjadi ibu rumah tangga saja, padahal bisa saja merepotkan orang tua, meminta bantuan ini itu supaya karir saya tetap jalan dan meningkat. 

Kenapa juga saya mau susah payah kuliah lagi S2, padahal pekerjaan suami sudah aman dan saya bisa duduk tenang menerima nafkahnya?

Ini semua adalah perkara TANGGUNG JAWAB. 

Saya menjadi ibu rumah tangga, karena merasa bahwa anak-anak yang saya lahirkan adalah tanggung jawab saya, bukan tugas kakek-neneknya. 

Bahwa saya kuliah lagi S2, itu adalah juga cara membuka pintu untuk kembali mengamalkan ilmu dan kemampuan diri, sebagai bentuk tanggung jawab saya diberikan titipan bakat sebagai pembelajar yang suka belajar dan mengajar. 

Nikah dulu baru S2. 

S2 dulu baru nikah. 

Menikah atau tidak menikah. Yang penting harus berani bertanggung jawab.














Tidak ada komentar

Terima kasih telah meninggalkan jejak dan memberikan komentar.
Pasti lebih menarik jika kita terus ngobrol. Bisa ke facebook: Heni Prasetyorini dan Twitter: @HeniPR. Sampai jumpa disana 😊